Jurnalisme
dalam Sinema Politis 357 Menit
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KOMPAS,
28 April
2018
Setidaknya tiga film Hollywood
terhubungkan dalam satu loop (apabila ujung awal dan akhir, setelah
diurutkan, saling disambungkan, sehingga bisa berputar tanpa henti), yakni
All The President’s Men (Alan J Pakula, 1976), Mark Felt (Peter Landesman,
2017), dan The Post (Steven Spielberg, 2017). Ketiga film ini alurnya
berkaitan, merupakan integrasi wacana sinema, jurnalisme, dan politik.
Pers
dan kekuasaan
Dari ketiga film ini, All The
President’s Men dibuat paling awal, empat tahun setelah skandal Watergate
mulai dilacak The Washington Post, dan Presiden AS Richard Nixon mengundurkan
diri sebagai akibat pengungkapan keterlibatannya dalam usaha penyadapan
markas Partai Demokrat. Dua wartawan koran itu, Bob Woodward dan Carl
Bernstein, pun ”mendadak selebritas”. Star reporter sendiri memang
terminologi tak resmi jurnalistik.
Dalam investigasinya, mereka
mengalami kesulitan dengan tabir yang dipasang Gedung Putih, tetapi atas
bantuan sumber rahasia, yang disebut ”Deep Throat” (mengacu film Swedia tahun
1973 yang menggemparkan), keduanya terarahkan dengan tepat. Terlacak, dana
dan peralatan lima penyusup itu berasal dari tim sukses Nixon dalam Pilpres
AS 1972, yang sebagian besar dananya ilegal.
Baru 35 tahun kemudian, Deep
Throat mengungkapkan siapa dirinya. Riwayatnya ditulis Woodward dalam The
Washington Post tanggal 20 Juni 2005. Deep Throat adalah Mark Felt
(1913-2008), yang pada saat peristiwa Watergate menjabat Wakil Ketua Biro
Investigasi Federal AS (FBI). Kebijakannya untuk mengarahkan kedua wartawan
itu berdasarkan situasi: FBI terancam kehilangan independensi. Penjabat
direktur L Patrick Gray, pengganti Edgar J Hoover yang meninggal, tidak
dipercayainya dalam sikap terhadap skandal Watergate.
Berdasarkan buku Mark Felt: The Man Who Brought Down the
White House (2006), film Mark Felt dibuat tahun 2017. Jika dibandingkan
All The President’s Men, kedua film bagaikan pasangan berpadan karena bermain
lebih kurang pada masa yang sama, pertengahan 1972 dan seterusnya, tentang
kasus yang sama. Khususnya scene pertemuan Bob Woodward dan Deep Throat/Mark
Felt bagaikan saling meniru, dialognya pun mirip (semestinya bahkan sama).
Namun, dalam perbandingan total,
pengertian berpadanan bukan karena sama, melainkan saling melengkapi sebagai
dua film tentang Watergate dari sudut pandang berbeda: yang satu jurnalistik,
yang lain intelijen. Jika The Washington Post mesti obyektif, FBI mesti
netral. Ditambah The Post, terdapat satu lagi sequence, yang paralel dalam
ketiga film, yakni penyusupan ke markas Partai Demokrat di Gedung Watergate,
meski pada film terakhir hanya sebagai audio berita di akhir film.
Ini berarti The Post bisa menjadi
prequel bagi kedua film lain, dan karena kedua film itu berpadanan, maka
akibat kronologi dari Deep Throat ke Mark Felt, urutannya tentu All The
President’s Men lantas Mark Felt. Dengan meletakkan The Post sebagai prequel,
film ini dipasang setelah Mark Felt karena akhir film The Post adalah awal
film All The President’s Men. Terjadi looping dengan sekali putaran 357
menit.
Adapun The Post tidak berkisah
tentang Watergate, tetapi peranan The Washington Post dalam memuat Dokumen
Pentagon yang dipasok analis militer Daniel Ellsberg pada 1971. Isi dokumen
adalah analisis tentang Perang Vietnam di bawah koordinasi Robert McNamara,
Menteri Pertahanan AS pada 1961-1968. Terungkap bahwa ternyata sudah
disimpulkan, AS tidak mungkin menang dalam perang itu, tetapi masih mengirim
pasukan, yang menjadi bulan-bulanan di hutan tropis negeri asing.
Sebetulnya, The Post adalah
tentang Katherine Graham (1917-2001), yang menerima The Washington Post
sebagai warisan keluarga, tetapi keawamannya dalam jurnalistik tidak
menghalangi kepemimpinan tegar, menghadapi musim politik tersulit. Dokumen
Pentagon dan skandal Watergate adalah di antaranya ketika jurnalisme The
Washington Post, yang saat itu dikelola Ben Bradlee (1921- 2014), mendapat
tekanan berat penguasa. Ketiga film berada dalam jenis political thriller,
yang meskipun mengikatkan diri kepada fakta historis, janganlah disamakan
dengan film dokumenter.
Bukan
heroisme wartawan
Ketiga thriller ini disebut
politis, bukan hanya karena situasi politik merupakan andalan dramatiknya,
melainkan karena pesan yang dibawanya pun politis. Kedua film terbaru
berjarak cukup lama dari sumber perkara, Mark Felt tak kurang 11 tahun dari
bukunya, The Post, bahkan 41 tahun dari All The President’s Men. Apa pasal?
Mingguan The Economist edisi akhir Februari 2018 melaporkan: bukan rahasia
lagi, Spielberg membuat The Post untuk melawan serangan Presiden AS Donald
Trump kepada pers. Namun, ini tidak berarti heroisme wartawan yang menjadi
daya tariknya karena Mark Felt pun bukan tentang wartawan.
Mengingat konteksnya, diperkirakan
The Post hanya akan laku di kota- kota besar sepanjang pantai dan di
kota-kota pelajar, tetapi persentasenya over-performing, bahkan di wilayah
basis Partai Republik. Di Myers, Florida, tiket terjual 87 persen di atas
perkiraan. Penerimaan The Post di daerah para pemilih Trump juga menunjukkan
film ini tidak eksklusif bagi khalayak kota besar.
Fenomena jurnalisme dalam film
itu, dalam analisis The Economist ditengok dengan metode pemeriksaan silang
atas empat konteks: politik, usia, pers, dan pasar film jurnalistik.
Dalam (1) konteks politik, orang
kiri, kaum hipster,dan pensiunan moderat menjadi pasar baru karena beroposisi
terhadap Trump. Dalam (2) konteks usia, meski dibuat untuk 13 tahun ke atas,
penonton The Post cenderung lebih tua; bukan nostalgia, tetapi keprihatinan
dari kaum Republik ataupun Demokrat. Dalam (3) konteks pers, menurut lembaga
riset Gallup, kepercayaan kepada pers meningkat, menjadi 27 persen pada 2017,
dibandingkan 20 persen pada 2016; meski hampir separuh Demokrat percaya,
hanya 13 persen dari kaum Republik—dukungannya miring.
Adapun dalam (4) konteks pasar
film jurnalistik, The Post ataupun Spotlight (Tom McCarthy, 2015), film
investigasi jurnalistik lain, menyedot lebih sedikit penonton dibandingkan
All The President’s Men yang pada masanya berekuivalensi 300 juta dollar AS.
Beredar tahun 1976, artinya hanya berjarak empat tahun dari megaskandal tahun
1972 itu. Perubahan iklim politik berkontribusi pada perbedaannya. Semua data
ini belum cukup untuk menyimpulkan faktor kewartawananlah yang ditanggapi
pasar.
Jurnalisme
dalam film
Sebagai teks, dari ketiga film
terlihat hubungan jurnalisme dan politik bahwa jurnalisme tampak heroik dalam
kebusukan politik. Dalam konteks ini, jurnalisme adalah politis tanpa menjadi
alat politik. Namun, jika Mark Felt melengkapi siapa Deep Throat dalam All
The President’s Men, jurnalisme klasik dalam The Post terhadirkan dalam
peleburan dua tanggapan: nostalgia sekaligus alternatif, akibat tenggelamnya
fakta teruji dalam tsunami post-truth yang mengacak peta orientasi.
Dalam makna film Hollywood sebagai
hiburan, pemahlawanan wartawan adalah suatu trik. Bukan berarti film itu
bohong, tetapi kontras yang dipertajam melalui alur konflik adalah
manipulasi, yang kepadanya bergantung pada berhasil tidaknya sebagai hiburan.
Apa yang menghibur? Ilusi bahwa ”kebenaran” akan selalu menang. Masalahnya,
ketika sebuah film menjadi politis, tujuan menghalalkan cara berbahasa film,
dan suatu ilusi tersahihkan menjadi kelinci idealis di depan moncong anjing
penjaga (watchdog = pers), yang kini berbalap melawan gerombolan dubuk di
luar track dalam rimba milenial.
Mungkinkah jurnalisme old school
kembali ketika bahkan pembocoran telah menjadi genre dominan di internet?
Kebusukan politik yang tertutup rapi tidak akan terbongkar oleh ”jurnalisme”
yang sama busuknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar