Revitalisasi
Pancasila
Satya Arinanto ; Guru Besar dan Mantan Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
28 Mei
2018
Dalam rangka Hari Lahir Pancasila 1 Juni
2018, sangat relevan untuk merenungkan kembali berbagai aspek yang terkait
dengan tantangan revitalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam era globalisasi pada saat ini.
Sebagaimana diketahui, tantangan kehidupan
kebangsaan kita ke depan sangatlah kompleks. Menurut Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, ada dua jenis tantangan yang
kita hadapi, yaitu internal dan eksternal. Yang merupakan tantangan internal
antara lain meliputi: (1) masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama
serta munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit; (2)
pengabaian terhadap kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan;
(3) kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan
kemajemukan; (4) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian
pemimpin dan tokoh bangsa; dan (5) tidak berjalannya penegakan hukum secara
optimal.
Adapun yang merupakan tantangan eksternal
meliputi: (1) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dan
persaingan antarbangsa yang semakin tajam; dan (2) makin kuatnya intensitas
kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.
Meski demikian, pada era Reformasi sekitar
20 tahun yang lalu, terjadi semacam gerakan de-Pancasila-isasi. Pada saat itu
MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Kebijakan tersebut tertuang
dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai
Dasar Negara.
Sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPR
Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut, salah satu alasan pencabutan Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1978 adalah karena materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai
dengan perkembangan kehidupan bernegara. Di samping itu, Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 tersebut juga menegaskan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI yang harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Akhir
ideologi
Berdasarkan Catatan Risalah/Penjelasan yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan tersebut, makna frasa
dasar negara di sini adalah ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan
negara.
Pemberlakuan Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 tersebut diikuti dengan pembubaran Badan Pembinaan Pendidikan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Keputusan
Presiden Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 10
Tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila yang
ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 31 Maret 1999. Dengan terpengaruh
oleh pemikiran salah satu intelektual publik Amerika Serikat (AS) yang
termasyhur, Daniel Bell, pada saat Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998
ditetapkan, dan kemudian diikuti dengan pembubaran BP7 tersebut, penulis
merasa bahwa momen itu sebagai semacam periode ”akhir ideologi” dari
Pancasila.
Sebagaimana diketahui, sekitar 58 tahun
lalu, Daniel Bell menerbitkan bukunya yang terkenal, The End of Ideology: On
the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Dalam bukunya itu, Bell
antara lain berpendapat bahwa ideologi-ideologi besar yang telah mendominasi
kehidupan intelektual sejak era Victoria—Marxisme, liberalisme, dan
konservatisme—telah kehilangan kekuatannya untuk menjaga tingkat kecerdasan
masyarakat dan mengendalikan emosinya.
Sebagian kecil kalangan liberal tak percaya
lagi terhadap kegiatan-kegiatan rekayasa sosial yang bersifat besar; dan
sebagian kecil kalangan konservatif percaya bahwa konsep negara kesejahteraan
merupakan semacam perhentian kedua hingga terakhir dari ”jalan menuju
perbudakan”. Masa depan terletak pada para teknokrat daripada pada
ideologi-ideologi, dengan kelompok pragmatis yang lebih cenderung kepada
gagasan-gagasan sangat kecil hingga cetak biru yang tebal.
Dalam tinjauannya terhadap buku tersebut,
majalah The Economist melihat bahwa Bell mungkin tidak teruntungkan dengan
waktunya. Jika tahun 1950-an dipandang sebagai semacam kuburan bagi
ideologi-ideologi, maka tahun 1960-an terbukti sebagai suatu masa pembibitan.
Presiden John F Kennedy dan khususnya Lyndon B Johnson membangkitkan kembali
”big-government liberalism” (liberalisme pemerintahan yang besar). Jika
gerakan New Left memasukkan kritik-kritik yang tidak mendukung dari Karl Marx
terhadap kapitalisme (walaupun dengan penekanan yang lebih pada aspek konter-kulturalisme
yang eksentris daripada revolusi kaum proletar); sementara gerakan New Right
meninggalkan ruang bagi kapitalisme koboi dan suatu gerakan kembali kepada
nilai-nilai moral.
Tahun-tahun yang kita lalui setelah
terbitnya buku Bell (1960) telah membentuk suatu interplay dari tiga ideologi
tersebut: kelompok pemerintahan-besar yang bersifat liberal (big-government
liberals) telah memperkenalkan suatu versi AS konsepsi negara kesejahteraan
dan langkah-langkah afirmatif. Para aktivis New Left kemudian mengambil alih
universitas-universitas—pertama-tama melalui cara-cara protes di mana para
demonstran melakukan pendudukan dan kemudian melalui penguasaan suatu kantor.
Namun, hal ini tetap memunculkan pertanyaan: apakah rakyat AS pada akhirnya
telah mendapatkan ideologi-ideologi yang cukup?
Pada tahun yang bersamaan dengan terbitnya
buku Bell itu, Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya yang berjudul ”To
Build the World Anew” di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) ke-15, pada 30 September 1960. Dalam pidatonya, Bung Karno antara lain
menyatakan bahwa bilamana dunia ingin damai, hanya Pancasila yang dapat
dijadikan konsepsi; bukan konsepsi yang lain seperti kolonialisme dan
imperialisme beserta turunannya yang sudah usang; serta terus membuat
kerusakan di muka bumi selama berabad-abad.
Oleh karena itu, Pancasila menjadi suatu
sumber kebenaran universal yang dapat diterima setiap bangsa. Pernyataan Bung
Karno yang menegaskan peranan Pancasila sebagai ideologi di tengah-tengah
hancurnya ideologi-ideologi besar sebagaimana disinyalir oleh Bell dalam
bukunya, dan munculnya pertanyaan apakah rakyat AS pada akhirnya telah
mendapatkan ideologi-ideologi yang cukup, merupakan suatu upaya yang sangat
strategis untuk menonjolkan kedudukan Pancasila sebagai suatu ideologi besar
yang bisa menjadi ideologi alternatif di level dunia.
Upaya
revitalisasi
Kini, 58 tahun setelah terbitnya buku Bell
dan pidato Presiden Soekarno tersebut, bagaimana upaya-upaya yang dilakukan
untuk merevitalisasi dan bisa menjadikan Pancasila sebagai ideologi besar
dunia sebagaimana pernah dikemukakan Presiden Soekarno?
Pada level pemerintah, dengan pertimbangan
bahwa Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang selama
ini melakukan pembinaan ideologi Pancasila perlu disempurnakan dan
direvitalisasi tugas dan fungsinya, pada 28 Februari 2018 Presiden Joko
Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018
tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP ini merupakan lembaga
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Untuk merevitalisasi Pancasila, menurut
penulis, salah satu fokus utama kegiatan yang harus mendapatkan penekanan
oleh BPIP adalah bagaimana untuk selalu menggaungkan Pancasila dan menanamkannya
ke dalam hati sanubari setiap masyarakat Indonesia.
Berbagai gerakan radikal yang terjadi
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ada semacam ”kekosongan ideologi” yang
dialami para pelakunya. Penggaungan tersebut juga bisa dilakukan melalui
jalur peningkatan pendidikan karakter, antara lain melalui revitalisasi
kegiatan-kegiatan Gerakan Pramuka yang dulu pernah bisa menjadi semacam
penangkal radikalisme dan menjadi sarana penyaluran nilai-nilai kebangsaan
yang cukup efektif.
Melalui aktivitas-aktivitas BPIP ini
diharapkan berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, yang pernah
disebut oleh Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa sebagaimana disebutkan di muka, bisa diselesaikan pada masa-masa
yang akan datang. Jika hal ini tak dilakukan, kedudukan Pancasila bisa
semakin tergeser dan tergusur, dan nilai-nilai dasar yang telah dimiliki dan
digali dari bumi Indonesia itu pun akan lenyap secara perlahan-lahan;
digantikan ideologi-ideologi lain yang mungkin akan lebih memberikan pilihan
yang lebih menarik di masa depan.
Semoga di masa depan tidak terjadi semacam
”akhir ideologi” terhadap Pancasila sebagaimana pernah ditulis Daniel Bell
dalam bukunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar