Daya
Lenting Demokrasi
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
03 Mei
2018
Dalam perspektif politik, bulan
Mei, persisnya 21 Mei 1998, adalah tonggak sejarah yang monumental. Hampir
seluruh komponen bangsa bergandengan tangan menggalang kekuatan menggulingkan
kekuasaan yang bengis dan berkelindan dengan politik dinasti. Memori tersebut
terpatri dalam sanubari aktivis masyarakat madani yang gagah berani melawan
kelaliman penguasa tirani.
Semangat mahasiswa dan mahasiswi
tidak takut mati, apalagi hanya sengatan matahari. Menggulingkan penguasa
tirani adalah tuntutan hati nurani. Puncaknya, sosok penguasa yang membangun
kroni berbasis korupsi bertekuk lutut dan mengundurkan diri. Ia mencoba
mempertahankan harga diri dengan berhenti berdasarkan konstitusi. Opsi sangat
tepat dan mulia untuk menghindari anarki.
Trajektori dinamika, romantika,
serta euforia reformasi melambungkan mimpi indah untuk segera menikmati
”lampu Aladin” dan keajaiban mantra demokrasi. Masyarakat sipil dengan
semangat tinggi mengompilasi gagasan mulia menjadi landasan bongkar pasang
konstitusi sampai empat kali.
Defisit
niat suci
Para politisi berlomba-lomba
membangun institusi politik dan negara dengan penuh ambisi, tetapi defisit
niat suci dan imajinasi. Akibatnya, tumpang tindih regulasi yang amat sulit
diatasi dengan akal budi karena sumbernya adalah transaksi kepentingan
organisasi dan pribadi. Berbagai lembaga politik dan negara tidak mampu
menjalankan secara maksimal tugas dan fungsi institusi.
Dua dekade reformasi, praktik
liturgi demokrasi telah diuji berkali-kali. Hasilnya, demokrasi di Indonesia
menunjukkan daya lentingnya yang mampu bertahan terhadap suhu politik tinggi
dalam perebutan kekuasaan berseri-seri yang sarat dengan kepentingan golongan
dan pribadi serta dibumbui semangat bernuansa perbedaan kodrati.
Daya pegas praktik demokrasi diuji
lagi dengan kompetisi Pilkada 2018 dan Pemilu Presiden 2019 bertegangan
tinggi. Romantika dan euforia pesta demokrasi semakin dirasakan sebagai
disforia (dysphoria) demokrasi. Kontestasi politik sekadar perang siasat;
spektrumnya mulai dari adu cerdik menawarkan gagasan dengan niat
menyejahterakan rakyat sampai dengan tipu muslihat yang didorong hasrat kecanduan
rasa nikmat sehingga tega menyebarkan berita sesat yang berakibat
menyengsarakan rakyat. Medan politik banjir kosakata yang mengobarkan
persekongkolan, permusuhan, serta kebencian yang dilubrikasi dengan politik
uang dan kepentingan pribadi.
Kebebasan dan kesetaraan serta
merebaknya masyarakat sipil ternyata tidak selalu berkorelasi dengan kualitas
demokrasi. Masyarakat madani yang bertebaran di seantero negeri tampaknya
bergerak tidak fokus kepada visi, bahkan sebagian mempunyai ideologi
antidemokrasi. Oleh karena itu, dikhawatirkan pesta demokrasi diancam anarki
oleh masyarakat antimadani (Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani
di Indonesia, Husni Mubarok dan Irsyad Rafsadi [ed], Pusat Studi Agama dan
Demokrasi Yayasan Paramadina Jakarta, 2015). Acara ramai-ramai jalan kaki
menjadi ajang persekusi dan intimidasi (Kompas.com, 30/4/2018). Nilai-nilai
mulia religi dipelintir menjadi ujaran saling membenci sesama anak bangsa
yang hakikatnya adalah saudara sendiri.
Kegamangan juga merasuki para politisi
dalam membangun koalisi untuk menjadi peserta kompetisi. Partai politik tidak
mempunyai kader andal sendiri untuk meraih prestasi tinggi yang pantas
menjadi presiden RI sehingga harus wira-wiri bertransaksi atau jual aksi
mencari simpati, siapa tahu ada partai lain yang simpati dan berbelas hati.
Maka tidak mustahil dan membuat geli ”rumah kesepakatan” disepakati, tetapi
belum resmi sebagai koalisi; mungkin menunggu tarik-menarik transaksi yang
lebih seksi atau karena koalisi bukan atas dasar panggilan nurani (CNN
Indonesia, 1/5/2018).
Urus
kursi
Sebenarnya banyak kalangan,
termasuk politisi, mengharapkan partai politik berbenah diri melakukan
reformasi sehingga tidak selalu terjebak pada praktik kolusi dan korupsi.
Namun, niat dan harapan tersebut mati suri karena para politisi lebih sibuk
mengurus kursi daripada melaksanakan dengan sungguh-sungguh visi dan misi.
Maka, demokrasi menjadi mati suri.
Namun, kegalauan matinya demokrasi
tidak hanya merebak di negeri ini. Nun jauh di seberang negeri, negara yang
konon dianggap biang danembahnya demokrasi (Amerika Serikat) beberapa tahun
terakhir ini gelisah menghadapi penggerogotan demokrasi di negara sendiri.
Mereka menjerit, apakah demokrasi sudah mati? Presidennya yang sejak kampanye
mengobarkan intoleransi juga membangun Partai Republik sebagai institusi
milik pribadi (The Economist, April 2018). Fenomena regresi demokrasi juga
terjadi di banyak negeri, misalnya Amerika Latin, antara lain pemusatan
kekuasaan eksekutif, politisasi lembaga peradilan, menyerang habis-habisan
independensi media, pejabat publik memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan
pribadi (Foreign Affairs, ”Is Democracy Dying?”, Mei/Juni 2018).
Daya kenyal demokrasi di Indonesia
terbukti mampu membangun bodi institusi, memperluas masyarakat madani dan
liturgi demokrasi. Namun, tantangan berat masih menghadang, terutama absennya
niat politik terpuji serta jurus politik yang mengandalkan sentimen ras,
golongan, dan religi. Tantangan berat tersebut hanya dapat diatasi jika
seluruh energi negeri ini mampu menghadirkan elite politik dan politisi yang
selalu mengasah hati nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar