Era
Pasca-kebenaran di Indonesia
Johan Hasan ; Dosen di Universitas Ciputra, Surabaya;
Mahasiswa Program Doktor Filsafat
di STF Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
28 April
2018
Dengan tumbangnya pelbagai rezim
di dunia Arab yang dikenal sebagai Kebangkitan Dunia Arab (Arab Springs),
media sosial sering dianggap sebagai alat positif demokrasi.
Filsuf Jerman, Jurgen Habermas,
walau mengakui internet mengaktifkan para pembaca dan penulis dari akar
rumput secara bebas dan egaliter, pesimistis karena internet hanya membawa
diskusi yang terfragmentasi dan tidak berakhir pada satu ruang publik.
Menurut Habermas, dengan meningkatnya opini oleh massa, meningkat pula
kebutuhan dan peran pers berkualitas, baik majalah politik maupun surat kabar
nasional.
Namun, filsuf Søren Kierkegaard
(1813-1855) dari awal sudah melihat cacat ruang publik pada media massa saat
itu karena: (1) setiap orang dapat beropini, padahal tidak memiliki
pengalaman langsung atau bukan ahli dalam hal tersebut, serta (2) orang yang
beropini tidak diwajibkan atau memiliki tanggung jawab atas pendapat
tersebut.
Kondisi
dan ciri era pasca-kebenaran
Setidaknya ada tiga kondisi yang
mendukung tumbuhnya era pasca-kebenaran saat ini. Pertama, pada level
filosofis, berkembangnya pemikiran-pemikiran pascamodern yang menggugat
obyektivitas, universalitas kebenaran, kemapanan konsep kebenaran klasik
sebagai kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan. Manusia seolah-olah
dihadapkan pada banyak jenis kebenaran sehingga berkata benar, benar versi
siapa?
Kedua, dukungan keberadaan
teknologi yang mempermudah penciptaan teks/gambar/video, menggandakan,
memanipulasi, menyunting, dan menyebarkan secara masif melalui internet.
Setiap orang dapat menjadi pembuat dan penyebar berita saat ini.
Terakhir, ketiga, pola pikir
masyarakat pelaku sendiri yang ditandai budaya instan: ingin berhasil,
sukses, terkenal, tampil secara mudah/cepat atau ingin segera menyelesaikan
masalah yang kompleks atas perasaannya yang tidak aman, terancam, teraniaya
sehingga sering kali jalan yang ditempuh adalah cara instan dengan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini proses
berpikir yang ketat dan sulit pun sering diabaikan.
Indonesia pun tidak terkecuali
memasuki era pasca-kebenaran. English Oxford Dictionary mendefinisikan
pasca-kebenaran (post-truth) sebagai ”berkaitan atau menunjukkan keadaan saat
fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan
dengan emosi dan kepercayaan pribadi”.
Ralph Keyes dalam buku The Post
Truth Era, Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004) menyatakan
era ini ditandai dengan kebenaran diganti dengan yang sekadar dapat
dipercayai. Manipulasi kreatif dalam kebohongan dilakukan, termasuk
penggunaan eufimisme (misalnya kata ”gusur” diganti dengan ”geser”). Data
yang diinginkan dipotong, dipilih, disunting untuk suatu kesimpulan yang
diinginkan pelaku bagi pendengarnya. Dusta pun berganti dengan istilah yang
indah: ”kebenaran alternatif” atau ”fakta alternatif”.
Istilah fakta alternatif digunakan
konselor Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Kellyanne Conway, ketika
membela penyebutan jumlah hadirin inaugurasi Trump oleh Sean Spicer yang
diklaim melebihi jumlah hadirin inaugurasi pada waktu Barack Obama, tanpa
sumber yang jelas ataupun komparasi waktu yang tepat. Padahal, data penumpang angkutan dan bukti
perhitungan fotografis menyatakan klaim Spicer tersebut salah.
Berbohong karena banyak yang
percaya sudah tak lagi dianggap berbohong dan tidak lagi menimbulkan rasa
malu/berdosa, bahkan jika itu digunakan atas nama agama. Segenap
kesalahan/keburukan tertutupi dengan emosi dan kepercayaan massa sehingga
fakta obyektif menjadi kurang memiliki pengaruh.
Masyarakat ataupun hukum
sepertinya tidak dapat berbuat apa-apa dan menelan itu semua karena massa
yang percaya padanya juga banyak jumlahnya. Sesat pikir ini dalam logika
disebut sebagai argumentum ad populum, ”dianggap benar” karena yang percaya
banyak, dengan didukung penyebaran masif oleh industri hoaks seperti sindikat
Saracen.
Filsuf seperti Immanuel Kant sudah
menyatakan bohong adalah tetap bohong dan pada dirinya adalah jahat. Entah
dibilang dengan niat baik atau buruk, karena pertama-tama kebohongan
menghancurkan martabatnya sebagai manusia, merugikan orang lain, dan
masyarakat dengan merusak tatanan hukum.
Sementara Francis Fukuyama dalam
bukunya, Trust, sudah menunjukkan bahwa dengan adanya tingkat kepercayaan
yang tinggi, yang ditandai dengan kejujuran, masyarakat memperoleh keuntungan
stabilitas politik dan ekonomi yang kuat. Tanpa adanya kepercayaan, biaya
melakukan bisnis akan naik banyak karena pelbagai kecurigaan masyarakat.
Bahkan, Fukuyama tidak segan- segan menggariskan bahwa di setiap masyarakat
yang berhasil secara ekonomi mereka dipersatukan oleh kepercayaan, nilai yang
lebih besar daripada kepentingan diri atau golongan saja. Era pasca-kebenaran
justru menggantikan dasar peradaban dan negara yang sehat, yakni kepercayaan
dengan dasar yang rapuh yang dipenuhi kecemasan dan kecurigaan. Ketika
Indonesia terus dihadapkan dengan fantasi sebagai fakta, masyarakat akan
kehilangan landasannya dalam kenyataan, saling curiga serta terpecah belah
yang akan merugikan secara politik dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Menghadapi
era pasca-kebenaran
Bagaimana kita harus menghadapi
bahaya era pasca-kebenaran ini? Pertama, walau terdengar klise, angkat
kembali soal kejujuran sebagai syarat penting dalam berkata dan bertindak.
Nilai yang diakui bersama semua agama dan kepercayaan ini harus jadi titik
tolak dalam menolak pelbagai kebohongan yang ada.
Segenap kebohongan menggunakan
internet perlu ditanggapi dan dikoreksi secara bersama-sama menggunakan
teknologi internet pula. Masyarakat harus memilih dan menilai kejujuran
seorang calon pejabat berdasarkan karakter yang dapat dilihat dari rekam
jejak yang panjang, bukan ucapan saat menjelang pemilihan umum. Media
internet dapat menolong mengangkat rekam jejak para pejabat/ calon pejabat
ini juga. Sementara janji yang sudah diucapkan wajib ditagih dan jangan
didiamkan, untuk melawan kebohongan.
Kedua, hukum harus berpihak pada
kejujuran dan harus dapat menghukum setiap kebohongan dan jangan biarkan yang
jujur terhukum atau tidak mendapatkan penghargaan. Setiap opini harus
disertai tanggung jawab si pembawa berita. Ia tidak boleh berlindung atas
nama massa/masyarakat/agama ataupun anonim dan tidak bisa dikenai tanggung
jawab atas kebohongan atau fitnah yang dilakukan. Negara harus meniadakan
impunitas terhadap kesalahan yang diperbuat. Dalam hal ini, pendaftaran KTP
untuk setiap nomor telepon seluler memang perlu untuk menghindari anonim dan
pertanggungjawaban bilamana diperlukan. Setiap kebijakan dari pemerintah
pusat atau daerah yang menguntungkan kebohongan atau ketidaktransparanan
wajib digugat/dikoreksi.
Ketiga, peranan pers yang
berkualitas dibutuhkan untuk mengimbangi hoaks atau berita yang tidak benar.
Masyarakat dituntut untuk merujuk pada media tepercaya yang dapat diuji
secara waktu.
Keempat, dengan informasi
berlimpah, justru pendidikan yang wajib dikuatkan adalah kemampuan berpikir
logis dan kritis serta pendidikan Pancasila. Pendidikan berpikir logis dan
kritis agar generasi muda mampu membedakan informasi benar atau sampah,
menghindari pelbagai sesat pikir ataupun bias, serta mampu mengambil
kesimpulan secara benar. Pendidikan Pancasila agar mampu merekatkan segenap
golongan di Indonesia dengan dasar nilai-nilai bersama dan untuk kepentingan
seluruh bangsa, bukan pada satu golongan semata.
Kelima, sesungguhnya internet
hanya menciptakan koneksi, bukan relasi. Kesetiakawanan sosial, kerja sama
riil, serta komunikasi antar-golongan ataupun antaragama tetap perlu
ditingkatkan dalam praktik hidup sehari-hari dan dalam dunia nyata. Soekarno
menyebutnya sebagai gotong royong. Jika itu dilakukan, empati dan relasi riil
sebagai satu warga negara Indonesia dapat mengikis banyak prasangka dan
kecurigaan di masyarakat. Demokrasi, apalagi yang bermusyawarah dan
bermufakat, tidak bisa diciptakan hanya melalui internet, tetapi membutuhkan
juga interaksi nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh para pelakunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar