Efek
Disrupsi, Mungkinkah Kembali ke Desa?
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
30 April
2018
Saya baru saja meninggalkan
kawasan pedesaan yang dipenuhi kebun-kebun anggur yang indah di Tuscany,
Italia. Kawasan seperti ini tiba-tiba menjadi lapangan kerja baru, menyusul
upaya Uni Eropa untuk kembali ke desa.
Menyeberang ke Porto, guide saya,
calon dokter dari Lisbon bercerita tentang mundurnya perekonomian dan
lapangan pekerjaan di Portugal. Sambil menarik nafas dalam, ia menyampaikan,
kekasihnya harus pindah ke Brazil untuk mendapatkan pekerjaan.
“Di Portugal..” ujarnya. “Lebih
dari 40 persen kaum muda sudah pindah untuk bekerja ke luar negeri,”
tambahnya. Itu sebabnya, Uni Eropa sudah berkomitmen menyalurkan 100 miliar
Euro dana desa selama 6 tahun (2014-2020) untuk membangun pertanian dan
ekologi.
Kembali
ke Desa
Tetapi Indonesia lebih serius.
Memang bukan karena ancaman disrupsi, tapi hampir pasti disruption akan
memasuki tahap transisi sehingga ada banyak pekerjaan di kota yang hilang.
Bila EU hanya fokus pada 118 titik, Indonesia membidik 77.000 desa.
Tetapi eforia terhadap kota memang
tak dapat dihindari. Sebanyak tiga perempat penduduk Asia diketahui akan
berpindah ke kota. Dan sebanyak 8 dari 10 kota yang berpenduduk diatas 23
juta orang berada di Asia. Dua teratasnya adalah Tokyo dan Jakarta.
China memiliki lima belas dari
total 46 megacity di dunia sedangkan Amerika Serikat hanya 2, yaitu New York
dan Los Angeles.
Tetapi kini dunia sepertinya
tengah disadarkan untuk kembali ke desa, sebab hanya di sanalah ada pangan
dan udara segar. Dan Indonesia, dengan dana desa dan BUMDES-nya berada di garis
depan. Tidak mengherankan bila saat ini sejumlah negara sudah disarankan
badan-badan dunia melakukan studi banding ke sini.
Walaupun kita sendiri masih merasa
banyak yang belum. Masih banyak jalan di desa yang belum terhubung meski
sudah 121.000 kilometer yang dibangun. Lalu 82.000 lebih MCK dan 5.000
tambatan perahu.
Indonesia konsisten membangun desa
dan membawa kaum muda yang masih produktif untuk berkarya di desa.
Berkarya apa? Bisnis online yang
kini jadi andalan kaum muda perkotaan itu tentu ada batasnya. Ketika internet
memotret gaya hidup baru dan mendekatkan manusia, maka ribuan produk konsumsi
yang kita kenal pun akan menjadi barang inferior. Artinya, peningkatan
pendapatan justru bisa membuat permintaan produk-produk tertentu menjadi barang
inferior dan turun.
Artinya terjadi shifting
besar-besaran yang berakibat banyak pekerjaan hilang. Tak pernah terbayangkan
cokelat buatan Mayora bisa menjadi inferior goods karena konsumen yang
pendapatannya naik malah memilih menabung lebih banyak supaya bisa berkunjung
ke Umbul Ponggok di Klaten, menjalankan ibadah umroh atau melihat tembok
raksaksa di Tiongkok.
Bisa dibayangkan bila
pekerjaan-pekerjaan yang biasa “menarik” kaum muda itu terdisrupsi.
Beruntung di sini, semenjak
Undang-Undang Desa disahkan pada (2014), pemerintah Indonesia menggenjot
pembangunan di desa. Lihat saja, dana desa yang didistribusikan sejak 2015
sudah mencapai sekitar Rp 120 triliun. Memang sampai tahun lalu dana desa itu
sulit dipakai untuk pengentasan kemiskinan karena ada ketentuan pengadaan
yang melaras swakelola.
Tetapi, saya senang bahwa Presiden
dan menterinya bekerja cepat. Melalui SKB 4 menteri, 30 persen dari dana desa
itu kini bisa dipakai untuk program padat karya tunai. Jadi kini tak perlu
lagi menggunakan kontraktor dari luar desa. Artinya dana dipakai oleh orang
desa dengan tenaga masyarakat desa. Artinya perputaran uang akan lebih banyak
lagi terjadi di desa.
Peran
Offtaker
Beberapa waktu yang lalu saya
diundang Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi juga untuk melihat desa-desa di Sumba Timur.
Dari bandara Halim Perdana Kusuma,
saya ditemui oleh CEO PT Muria Sumber Manis, Iwan Suhardjo yang menjadi
lokomotifnya
Kebetulan Sdr. Iwan pernah menjadi
mahasiswa saya. “Dari akuntansi ke marketing lalu ke pertanian” ujarnya.
Iwan bukanlah orang pertama yang
saya temui dan bisa belajar hal-hal baru. Makanya para pendidik perlu
melakukan shifting, dari mengajar “what to learn” menjadi “how to learn”. Dan
itulah yang dari dulu saya lakukan.
“Saya belajar kembali dari nol,
dan kami berkesimpulan tanah-tanah tandus di Sumba Timur bisa kembali
disuburkan.” Iwan mengakui belajar dari Google dan Youtube. Ia mengajukan
pertanyaan kritis: “Bagaimana mungkin Israel yang tanahnya tandus bisa
menghasilkan jeruk dan anggur yang manis-manis?”
Setelah melihat topografi dan
curah hujan, dipilihlah desa Wanga di Sumba Timur. Mulanya mereka membuat 18
buah embung sedalam 6 meter ke bawah dengan sistem membran untuk menampung
sekitar 200.000 meter kubik air hujan.
Gayung pun bersambut. Menteri Desa
mempercepat kemajuan desa dan mengentaskan desa tertinggal dengan melibatkan
CEO perusahan-perusahaan besar. Bulan lalu, sekitar 200 orang CEO
menandatangani kesepakatan dengan 102 Bupati di Jakarta.
Tiba-tiba saja banyak CEO
terhentak. Jambu klutuk yang diimpor dari India untuk bahan baku jus seperti
Buavita, ternyata ada di desa Sukorejo Kabupaten Kendal (791 hektar). Jadi
buat apa harus impor?
Di Sumba Timur, Menteri Desa
membagikan tanah negara seluas 10.000 hektar kepada rakyat untuk menanam tebu
dengan teknologi yang saya sebutkan tadi. Masing-masing petani mendapat 3
hektar. Dengan model ini, kalau tak ada aral melintang, setiap kepala
keluarga bisa mendapatkan penghasilan baru sebesar Rp 85 juta.
Dengan modal sosial masyarakat
yang bagus, PT Muria Sumba Manis (Kelompok usaha Djarum), minggu lalu
melakukan peletakkan pertama bangunan pabrik gula dengan kapasitas 12.000 tcd
(ton of cane per day). Artinya, Indonesia bisa segera nengurangi impor gula
(saat ini 4 juta ton).
Diperkirakan akan ada 3.000-4.000
orang bekerja di pabrik, ribuan lainnya akan menjadi petani plasma. Bisa saya
bayangkan bagaimana perputaran uang di desa Wanga dan desa-desa sekitarnya di
Kabupaten Sumba Timur menyusul terbentuknya infrastruktur perdesaan yang jauh
lebih baik.
Apa yang saya ceritakan ini
sesungguhnya masih baru pada tahap awal dari ribuan inisiatif pembangunan
desa yang mulai berbuah lainnya. Bersiap-siaplah kembali ke desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar