Perihal
Perpres Tenaga Kerja Asing
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Pengampu Bidang Pengawasan Sumberdaya
Alam, Ketenagakerjaan dan Kepegawaian
|
KOMPAS,
28 April
2018
Keluarnya Peraturan Presiden
(Perpres) No 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA)
diharapkan bisa menjadi instrumen sekaligus momentum untuk kembali melakukan
penataan terhadap tenaga kerja asing, yang dalam beberapa tahun terakhir
boleh dikatakan ‘mengalir deras’ masuk ke Indonesia.
Sebagian di antara kita niscaya
mudah memahami bahwa kehadiran TKA itu bersamaan dengan masuk atau
meningkatnya investasi asing dalam beberapa tahun terakhir. Khususnya yang
bergerak dalam (percepatan) pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber
daya alam (SDA), utamanya dalam bidang pertambangan dan energi.
Keberadaan para TKA berikut
investasi asing memang telah dan sedang jadi perbincangan hangat nan
kontroversial dalam negeri. Bahkan isunya berkembang jadi sangat politis,
spekulatif nan liar. Sebutlah seperti kekhawatiran akan adanya bentuk
kolonialisme baru yang dimulai dari penguasaan ekonomi oleh pemodal asing,
yang mana pengaruhnya dianggap ampuh melalui jalur kekuasaan. Apalagi data
statistis pinjaman luar negeri melonjak tajam selama pemerintahan Presiden
Jokowi-Jusuf Kalla. Tepatnya, eksistensi TKA dan investasi asing selama ini
menjadikan banyak pihak berprasangka buruk terhadap pemerintahan Jokowi, yang
kian menambah tinggi tensi politik dalam menghadapi Pilpres 2019.
Tafsir
subjektif
Kecurigaan bernuansa politik
seperti itu tentu wajar-wajar saja, apalagi di tahun politik seperti sekarang
ini. Namun di era sekarang, diakui atau tidak, kehadiran ‘insvetasi asing’,
‘utang’ dan ‘sekaligus TKA’ niscaya tak bisa dihindari. Apalagi dalam kondisi
negara seperti Indonesia yang menghendaki adanya akselerasi pembangunan,
eksistensi dari ketiganya itu mustahil untuk ditiadakan.
Singkat kata, investasi dari luar
di mana modal dan teknologinya juga adalah produk luar negeri, sudah pasti
memerlukan TKA. Sebab, baik teknologi maupun panduan penggunaannya yang
berbahasa asing sudah lebih dulu familier dengan para TKA tersebut.
Namun demikian, sebenarnya Perpres
No 20/2018 itu memiliki dampak positif bagi iklim investasi dan
ketenagakerjaan kita. Mengapa?
Pertama, dapat menjadi contoh
pelayanan publik (investasi dan ketenagakerjaan) yang berkepastian dan prima.
Pada Pasal 8, 12 dan 13, misalnya, dinyatakan secara tegas jangka waktu
(maksimal dua hari kerja) untuk melayani atau memberi kepastian tentang
keabsahan urusan TKA (setelah lengkap seluruh administrasi yang disyaratkan).
Hal ini seharusnya dijadikan tradisi pelayanan publik yang prima di
sektor-sektor lainnya di negara ini, sehingga tidak mengesankan adanya ‘pengutamaan’
pelayanan TKA yang dapat menimbulkan tafsir subjektif yang liar di dalam
masyarakat kita.
Kedua, adanya peluang transfer
pengetahuan dan keterampilan dari TKA ke TKI (tenaga kerja Indonesia). Pada
Pasal 26 Perpres No 20/2018, secara tegas mewajibkan pengguna TKA untuk
menyertakan tenaga kerja pendamping (yang notabene adalah TKI), serta
pendidikan dan latihan bagi TKI untuk bisa menangani pekerjaan yang ditangani
oleh TKA. Jika ini dilakukan, maka niscaya suatu waktu TKA akan kian berkurang
di Indonesia karena sudah banyak orang Indonesia yang terlatih dan atau
terampil bekerja pada bidang-bidang pekerjaan yang ditangani oleh TKA.
Ketiga, adanya kepastian
pemasukkan negara jenis pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari keberadaan
TKA. Pada Pasal 24 Perpres No 20/2018 dinyatakan secara tegas kewajiban
pengguna TKA untuk membayar dana kompensasi. Pembagian dana kompensasi ini
selain akan masuk sebagai bagian dari pendapatan negara, juga akan masuk ke
kas daerah di mana TKA itu bekerja.Berprasangka buruk
Gambaran di atas bahwa keberadaan
TKA sebenarnya dalam jangka pendek bisa dikatakan (akan) cukup berkontribusi
dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi
Indonesia, dan sekaligus jadi wahana training by doing (berlatih sambal
bekerja) bagi para angkatan kerja produktif bangsa ini.
Yang tak kalah penting, jika skema
‘kewajiban TKI pendamping’ bagi pengguna TKA sebagaimana secara eksplisit
terdapat pada Pasal 26, maka TKA akan berangsur-angsur kembali ke negara
masing-masing atau ke negara lain yang membutuhkan mereka. Setidaknya, pada suatu waktu nanti yang
akan tersisa hanya TKA bidang-bidang spesifik saja, termasuk para pemilik
modal asing dan keluarga yang secara langsung mengawal investasi
mereka—seperti halnya PT Freeport Indonesia, PT Valle, dan sejumlah
perusahaan PMA lainnya—di mana sebagian besar dari pekerjanya adalah TKI.
Beberapa
catatan
Pertanyaannya, apakah skenarionya
akan semulus seperti yang diharapkan tersebut? Tentu bergantung pada kehendak
politik yang akan terlihat dalam aturan turunannya (peraturan menteri) atau
petunjuk operasionalnya.
Mengapa? Pertama, masih adanya wilayah abu-abu
tentang jabatan yang boleh diisi dan atau diperpanjang oleh TKA. Tidak ada
satu klausul pun yang menjelaskan tentang hal itu. Ini yang kemudian
menimbulkan pertanyaan: apakah pekerja kasar (unskilled labours) juga bisa
jadi TKA? Kalau jabatan sebagai pekerja kasar, lalu pengetahuan dan
keterampilan seperti apa yang akan ditransfer oleh TKA kepada TKI pendamping?
Menurut hasil investigasi Ombudsman RI (2018), para pekerja di sejumlah
perusahaan penanaman modal asing (PMA), utamanya yang bergerak di bidang
pertambangan dan energi, masih banyak pekerjaan di level terbawah (lowest
level jobs) ditangani oleh TKA.
Kedua, jangka waktu TKA bisa
ditolerir untuk bekerja di Indonesia juga masih belum jelas. Sebab, peluang
untuk terus bertahannya seorang atau sekelompok TKA justru dibuka sesuai
ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2). Padahal seharusnya ini dibatasi,
disesuaikan dengan skema teknis tentang berapa lama proses alih pengetahuan
dan keterampilan dari TKA ke TKI pendamping. Setelah TKI pendamping
‘menguasai’ bidang TKA yang didampinginya, maka semestinya ada kewajiban
untuk menggunakan TKI, sebagaimana juga jadi misi mulia pemerintah yang
terdapat pada Pasal 4 ayat (1).
Ketiga, dan ini juga tak kalah
memprihatinkan, Perpres No 20/2018 ini bukan mustahil akan disalahgunakan
untuk melegalkan TKA ilegal yang selama ini bekerja di perusahaan PMA di
sejumlah daerah di Indonesia. Soalnya, dengan alasan ‘harus menjalankan
kewajiban memberikan pelayanan prima dalam tempo singkat’, boleh jadi akan
dimanfaatkan oleh pihak pengguna TKA ilegal tersebut.
Ini semua tentu menjadi ‘pekerjaan
rumah’ dari Presiden Jokowi, khususnya Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri,
setelah keluarnya Perpres No 20/2018. ●
|
Prediksi Bola Sevilla vs Inter 22 Agustus 2020 yang akan diselenggarakan langsung tanpa penonton di Rhein Energie Stadion.
BalasHapusDalam pertemuan kedua tim di Liga Europa kali ini. Akan di Jadwal Bola Malam Ini pertandingan ini tentunya akan sangat seru untuk di tonton pada Siaran Bola Live Streaming