Tantangan
Pendidikan Kita
Agus Suwignyo ; Pedagog cum Sejarawan, Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
02 Mei
2018
Dua dekade Reformasi dan hampir
tiga perempat abad sudah usia republik ini. Namun, dunia pendidikan Indonesia
masih menghadapi persoalan-persoalan dasar yang klasik, yaitu rendahnya mutu
dan terbatasnya akses pendidikan.
Harian Kompas (27-28 dan
30/4/2018) memberitakan mutu dan daya saing pendidikan Indonesia sangat
rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Salah satu indikatornya adalah
hasil tes Program for International Student Assessment (PISA), yang
menempatkan kemampuan anak-anak Indonesia dalam bidang sains, membaca, dan
matematika jauh di bawah anak-anak Singapura, Vietnam, Malaysia, dan
Thailand.
Kehilangan
daya tarik
Pangkal persoalan adalah rendahnya
kompetensi guru. Sekalipun secara formal telah memiliki sertifikat pendidik,
banyak guru yang kompetensi pedagogik dan profesionalnya tidak memadai.
Kompetensi mereka hanya sedikit di atas skor minimal kelulusan Ujian
Kompetensi Guru (Kompas, 30/4/2018).
Sementara itu, data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berbanding lurus
dengan tingkat keterserapan ke dunia kerja. Pada tahun 2015 pengangguran
lulusan sekolah menengah atas (SMA) sebesar 21,88% menempati posisi tertinggi
kedua setelah lulusan sekolah dasar (SD, 24,15%) dari total 17.300.019
penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menganggur. Di sisi lain angka
pertumbuhan pengangguran lulusan perguruan tinggi (PT; diploma dan sarjana)
mencapai 1.619.329 orang (9,36%), dan cenderung melaju lebih cepat daripada
lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Secara keseluruhan, sampai tahun
2017 sekitar sepertiga penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun hanya
mengenyam pendidikan SD. Di antara lulusan SD yang melanjutkan hingga tamat
sekolah menengah pertama (SMP), sekitar 75 persennya meneruskan ke sekolah
lanjutan atas (SLA; SMA/SMK), tetapi hanya sekitar 80 persen dari 75 persen
itu yang bertahan sampai tamat SLA. Postur tenaga kerja Indonesia saat ini
terbesar berpendidikan SD (28,03%) dan SLA (25,1%). Postur ini tidak jauh
berbeda dengan data tahun 1996.
Banyaknya tenaga kerja pada
kelompok (cohort) lulusan SD dan lulusan SLA mungkin menjadi faktor mengapa
pengangguran tertinggi berasal dari kelompok penduduk dengan dua kategori
pendidikan tersebut. Artinya, bukan hanya mutu, melainkan juga keterbatasan
akses pendidikan dan keberlanjutan sekolah menjadi faktor penyumbang bagi
rendahnya daya saing bangsa ini. Di satu sisi, pendidikan belum menjadi daya
tarik bagi warga negara. Kesadaran warga tentang pentingnya pendidikan belum
merata. Akan tetapi, di sisi lain upaya pemerintah juga harus ditingkatkan.
Harus diakui bahwa—jika ditarik
mundur—perbedaan paling mencolok dalam hal capaian pendidikan periode
sekarang dengan periode akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda terutama
terletak pada besaran angka penduduk melek huruf. Tahun 1942 hanya sekitar 2
persen penduduk Hindia Belanda dapat membaca huruf Latin. Saat ini, setelah
76 tahun Indonesia merdeka, sekitar 99,66% penduduk Indonesia telah mampu
membaca dan menulis. Namun, di luar angka melek huruf, akses terhadap layanan
pendidikan masih belum merata dan secara proporsi masih menjadi tantangan
besar sebagaimana 76 tahun yang lalu.
Hingga akhir 2017, Angka
Partisipasi Kasar (APK) pendidikan kita masih jauh di bawah target yang telah
ditetapkan sendiri oleh pemerintah, yaitu APK SD tercatat 108,50 (dari target
114,1); SMP ada di angka 90,23 (dari target 106,9); SLA masih 82,84 (dari
target 91,6), dan perguruan tinggi baru di angka 25,00 (dari target 36,7).
Di samping itu, sistem penggajian
pada sektor pekerjaan formal tidak menunjukkan perbedaan rentang pendapatan
yang signifikan antar-jenjang pendidikan. Gaji pegawai tidak lulus SD dan
lulus SD hanya terpaut Rp 41.620, antara lulusan SD dan lulusan SMP terpaut
Rp 294.368, antara lulusan SMP dan lulusan SLA terpaut Rp 676.948, antara
lulusan SLA dan diploma terpaut Rp 1.174.800, dan antara diploma dan sarjana
terpaut Rp 1.036.420 (sumber: ”Keadaan Pekerja di Indonesia”, BPS 2015).
Dengan harga kebutuhan pokok yang
berlaku sama bagi semua penduduk, tanpa memandang tingkat pendidikan,
ketimpangan sistem pendapatan antar-jenjang pendidikan pekerja membuat orang
secara pragmatis mempertanyakan manfaat bersekolah. Tanpa upaya yang sistemik
dan terprogram dari pemerintah, baik dengan meningkatkan mutu dan akses
pendidikan maupun dengan memperbaiki sistem penggajian pekerja, dunia
pendidikan kita dapat betul-betul kehilangan daya tarik bagi generasi muda.
Arus disrupsi teknologi yang
mengabaikan sentralitas pendidikan formal semakin berpotensi mempercepat
terempasnya makna penting dunia pendidikan di dalam tatanan baru masyarakat.
Sebagai dampaknya, kemiskinan struktural berpotensi menguat dan kesenjangan
sosial ekonomi antarwarga akan semakin besar.
Hibridasi
ideologi
Meskipun demikian, persoalan
pemerataan dan peningkatan mutu bukanlah satu-satunya tantangan dunia
pendidikan Indonesia saat ini. Ada tantangan lain yang menggoyah dan
membelokkan arah pendidikan nasional, yaitu terjadinya hibridasi ideologi
sektarian dan antipluralisme di dunia pendidikan.
”Hibridasi ideologi” artinya
proses setengah matang penanaman ideologi tertentu secara eksklusif. Sekitar
15 tahun lalu, gejala pengerasan ideologis sejumlah institusi pendidikan
telah teramati. Studi sejumlah pihak menunjukkan, sebagai contoh, di
Yogyakarta banyak sekolah negeri ”berpenampilan” dan ”bernuansa” agama
tertentu saja.
Hari ini, proses hibridasi telah
merasuk bukan hanya pada ”penampilan”, melainkan justru pada substansi
pendidikan. Bahkan seorang anak usia kelompok bermain (playgroup) akan
pertama-tama menanyakan agama yang dianut lawan bicaranya ketika berkenalan.
Sebagian pejabat pemerintah pun
mengakui bahwa banyak kampus telah menjadi sarang penyebaran ajaran radikal
kelompok-kelompok tertentu. Sebagai konsekuensinya, pemerintah menempatkan
kampus sebagai sasaran beberapa program, antara lain deradikalisasi melalui
internalisasi Pancasila (Kompas, 30/4/2018).
Akar persoalan kiranya terletak
pada instrumentasi institusi pendidikan untuk penyebaran ideologi. Gejala
radikalisasi agama di sekolah dan di kampus merupakan titik balik terhadap ideologisasi
Pancasila di sekolah dan di kampus pada masa Orde Baru. Pendulum
pendekatannya berayun dari satu ekstremitas ke ekstremitas yang lain.
Sekarang upaya menderadikalisasi
sekolah dan kampus dari unsur-unsur sektarian keagamaan, melalui program internalisasi
Pancasila, mencerminkan pendekatan ekstremitas yang sama. Pendekatan yang
berpola ekstremitas ini merupakan akar rusaknya pendidikan Indonesia selama
ini.
Oleh karena itu, tantangan
terbesar pendidikan kita saat ini adalah mengembalikan arah pendidikan
nasional pada marwahnya yang hakiki, yaitu ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.
”Titipan-titipan” pesan ideologis (dan politis) harus diminimalkan dari
praktik pendidikan. Proses pendidikan perlu dikembalikan kepada landasan
nilai dasarnya, yaitu kemanusiaan universal.
Sayangnya, selama 3,5 tahun
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, aspek-aspek filosofis pendidikan
lenyap total dari aneka kebijakan strategis sekalipun banyak cerdik cendekia
kampus duduk di sana. Secara khusus, Jusuf Kalla yang ketika menjadi wakil
bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat gencar berbicara tentang
persoalan-persoalan pendidikan nasional dan upaya penyelesaiannya, sekarang
sebagai wakil bagi Presiden Joko Widodo hampir tak terdengar ide-idenya yang
menggebrak dalam hal itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar