Rabu, 02 Mei 2018

Pertemuan Jokowi dan Tokoh Agama : Silaturahim Politik yang Saling Untung?

Pertemuan Jokowi dan Tokoh Agama :
Silaturahim Politik yang Saling Untung?
Idris Thaha  ;  Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta;
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 30 April 2018



                                                           
SEJUMLAH pertemuan Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara/pemerintahan dengan para tokoh agama sebagai pemimpin masyarakat yang berlangsung belakangan ini, menjadi bukti tak terbantah terbangunnya komunikasi positif--yang dalam bahasa agama disebut silaturahim.

Komunikasi itu penting untuk menciptakan saling mengerti, memahami, menghargai, dan menghormati di antara kedua belah pihak.

Oleh kalangan masyarakat tertentu, pertemuan itu memang dianggap saling menguntungkan kedua belah pihak.

Silaturahim semacam itu bisa jadi berimplikasi pada semakin eratnya relasi simbiosis mutualisme. Presiden (Jokowi) dan para tokoh agama (baik ulama, kiai, cendekiawan, maupun intelektual) bekerja sama dan berjalan beriringan, yang tentu saja akan berdampak positif bagi keteduhan dan kenyaman masyarakat.

Dengan relasi semacam itu, Presiden Jokowi dan para tokoh agama (civil society) berada dalam posisi sejajar, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Di dalam pertemuan-pertemuan itu, Jokowi dan para tokoh agama membahas berbagai persoalan kekinian yang terkait dengan kebangsaan, keumatan, dan keagamaan.

Mulai masalah-masalah aktual kontemporer seperti maraknya dan tak terkendalinya penyebaran hoaks, konsep full day school, pencegahan, peredaran dan penggunaan narkoba, kriminalisasi ulama, hingga persoalan penyelenggaraan pesta demokrasi yang melibatkan rakyat yang terselenggara secara rutin lima tahunan.

Jokowi dan para tokoh agama tukar pikiran dan informasi mengenai apa yang telah dikerjakan untuk umat. Jokowi, misalnya, menjelaskan progres pembangunan yang dikerjakan pemerintahan.

Begitu pun para tokoh agama memaparkan apa yang telah mereka hasilkan sebagai wujud kontribusi positif bagi masa depan umat.

Jokowi yakin, kerja sama umara dan ulama dapat menjamin keamanan dan ketenteraman NKRI.

Persoalan umat

Jokowi bahkan tidak segan-segan meminta kritik membangun sebagai modal perbaikan kebijakan-kebijakan di masa-masa mendatang.

Ia mengakomodasinya melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. Misalnya, ditetapkannya Hari Santri.

Jokowi tampaknya menyadari betul bahwa masukan-masukan itu sangat penting artinya bagi pemerintah.

Ia mendengar langsung inspirasi dan kebutuhan umat melalui para ulama/kiai, yang tentu saja sangat dekat dan mengetahui serta bersentuhan langsung dengan persoalan umat.

Khusus bila bertemu kiai-kiai di pondok pesantren, Jokowi menekankan pentingnya kehadiran lembaga pendidikan khas Indonesia itu dalam konteks peningkatan mutu kualitas sumber daya manusia di kalangan umat Islam yang mayoritas secara demografis.

Untuk itu, Jokowi mendorong perbaikan pondok pesantren, terutama terkait dengan ekonomi umat dan lingkungan pesantren, yang tampak terabaikan selama ini.

Misalnya peningkatan kualitas infrastruktur--mulai jalan-jalan menuju dan di pesantren hingga bangunan-bangunan lainnya yang tidak baik.

Setiap kunjungan kerja ke daerah, Jokowi dapat dipastikan menyempatkan diri menemui mereka.

Intensitas pertemuannya semakin meningkat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 dan pemilu legislatif (pileg) serta Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.

Jokowi kian mendekati mereka--baik mengundang langsung mereka datang ke Istana maupun 'menjemput bola' dengan menghadari acara-acara mereka di sejumlah daerah di Indonesia.

Gonjang-ganjing pertemuan Jokowi dan para tokoh agama telah menjadi komoditas politik dan publisitas media massa dan media sosial.

Teranyar, Jokowi bertemu Tim 11 Ulama Persaudaraan Alumni 212 di Istana Bogor.

Selain itu, ia mengundang tokoh-tokoh dari organisasi keagamaan mainstream seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Namun, sebagian masyarakat tertentu merasa perlu 'mewaspadai' pertemuan-pertemuan Jokowi dan para tokoh agama itu, khususnya dengan Tim 11 Ulama Persaudaraan Alumni 212.

Bisa jadi, pertemuan itu dimanfaatkan Jokowi untuk kepentingan politik pada pilpres yang tinggal setahun lagi.

Bagi mereka, Jokowi perlu dukungan para tokoh agama yang memang memiliki basis pemilih fanatik dan militan, yang tersebar di seluruh penjuru pelosok di Tanah Air.

Pertemuan-pertemuan itu dianggap sebagai wujud 'kepanikan' Jokowi dalam menghadapi pilpres mendatang. Hal itu disebabkan elektabilitas Jokowi terus menurun, sebagaimana dikatakan Amien Rais, beberapa politikus, dan lembaga survei.

Dalam catatan Media Survei Nasional (Median), misalnya, disebutkan elektabilitas Jokowi secara konsisten mengalami penurunan tipis sejak April tahun lalu.

Hasil survei yang dirilis pada Februari 2018 disebutkan, Jokowi menerima dukungan 35%.

Angka itu turun bila dibandingkan dengan hasil survei Median pada Oktober 2017 (36,2%) dan April 2017 (36,9%).

Hasil survei Median ini bertolak belakangan dengan beberapa lembaga survei lain yang membuktikan temuan yang berbeda.

Menurut beberapa lembaga survei, elektabilitas Jokowi cenderung terus naik meski angka peningkatannya tidak begitu signifikan.

Hasil survei yang dilakukan pada Maret 2018 oleh beberapa lembaga survei menunjukkan angka yang berbeda-beda. Elektabilitas Jokowi berada pada kisaran di atas 40%-50%, yaitu 58,5% (Cyrus Network), kemudian 55,9% (Litbang Kompas), berikutnya 48,3% (Kedaikopi), dan 49,08% (Political Communication Polcomm Institute).

Belum aman

Sekalipun demikian, angka-angka itu jelas belum aman bagi Jokowi bila ingin bertahan menduduki kursi kepresidenan.

Ia akan aman bila elektabilitasnya mencapai angka di atas 60%.

Karena itu, Jokowi perlu kerja keras untuk menaikkan dan mencapai angka aman itu.

Salah satunya harus rajin bertemu dengan para tokoh agama yang kemudian 'dicurigai' dimanfaatkan Jokowi demi meningkatkan elektabilitasnya.

Jokowi tentunya tidak ingin pengalaman Pilpres 2014 terulang.

Elektabilitas yang fluktualitf ketika itu menjadi pengalaman berharga bagi Jokowi dalam menghadapi Pilpres 2019.

Sejak ditetapkan pencapresannya pada Pilpres 2014--meski menimbulkan pro dan kontrak di kalangan internal partai dan kalangan eksternal, Jokowi mendapat kepercayaan positif dari masyarakat.

Hasil survei beberapa lembaga menyebutkan tingkat keterpilihan Jokowi terus meningkat sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta pada pertengahan Oktober 2012.

Jokowi selalu paling unggul dan merajai hasil jajak pendapat, dan konsisten di atas 20%.

Popularitas Jokowi terus membubung dan meluas berkat penggunaan media sosial.

Popularitas Jokowi tidak bisa dibendung dan ditandingi capres lainnya di dalam pelbagai survei dengan rasio keterpilihan 30%.

Dukungan pemilih semakin inklusif--melampaui sekat-sekat demografis, sosial-ekonomi, budaya, politik, dan bahkan agama. Surplus dukungan pemilih pun tak terkendalikan.

Namun, dua bulan menjelang hari H pencoblosan/pencentangan, laju elektabiltas Jokowi mengalami hambatan dan ganjalan.

Isu miring, tuduhan negatif, dan bahkan fitnah--khususnya terkait dengan latar belakang ideologi dan kehidupan keagamaannya--menyebar masif dan meluas di berbagai media; baik media massa (cetak dan elektronik) maupun media sosial (Facebook, Twitter, Youtube, dan Linkedin).

Salah satu contohnya penerbitan tabloid Obor Rakyat yang memuat berbagai isu yang tidak menguntungkan Jokowi, termasuk partai-partai pengusungnya, khususnya PDI Perjuangan.

Tabloid itu diterima kalangan pondok pesantren, khususnya di Pulau Jawa.

Kampanye hitam itu betul-betul menurunkan elektabilitas Jokowi.

Untuk menaikkan kembali dukungan pemilih, Jokowi semakin memaksimalkan media sosial di kalangan pesohor, khususnya di kalangan selebritas dan artis.

Keriuhan kampanye di media sosial betul-betul berimbas kepada tingkat keterpilihan Jokowi. Jokowi pun akhirnya terpilih menjadi presiden.

Jokowi--dan partai-partai pendukungnya--memikul tugas yang tidak ringan bila ingin tetap menjadi presiden.

Pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh agama itu harus lebih ditingkatkan frekuensinya, dan semakin luas jangkauan daerahnya.

Jangan seremonial

Selama ini, Jokowi telah bertemu dengan tokoh-tokoh agama dari Aceh (11/7/2017), Sumatra Selatan (18/7/2017), Kepulauan Riau, (27/2/2018), Kalimantan Selatan (13/3/2018), Banten (21/3/2018), dan Jawa Barat (3/4/2018)--semuanya diselenggarakan di Istana Negara.

Jokowi juga mengajak ulama Sumatra Barat (9/2/2018) makan siang seusai salat Jumat di Masjid Raya Sumatra Barat, dan bertemu dengan ulama NTB (23/11/2017) saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Masjid Raya Hubbul Wathan, Kota Mataram.

Langkah itu tepat karena di provinsi-provinsi tersebut Jokowi kalah bersaing dengan pasangan Prabowo Subianto-M Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Jokowi kiranya juga perlu bertemu dengan ulama asal Gorontalo dan Maluku utama--sekali lagi--karena di kedua provinsi ini Jokowi tidak meraih suara signifikan pada Pilpres 2014.

Di luar ke-10 provinsip itu, Jokowi tampaknya perlu lebih intensif lagi bertemu dengan tokoh agama bila ingin mempertahankan kemenangannya pada Pilpres 2019, seperti pada Pilpres 2014.

Ke depan, pertemuan-pertemuan Presiden Jokowi dan pemimpin masyarakat tidak sekadar seremonial, yang diselenggarakan setiap menjelang pemilu (pilpres).

Jokowi dan tokoh agama perlu bertemu berdialog kapan saja sehingga relasi simbiosis mutualisme di antara mereka semakin menemukan maknanya secara substantif. Keduanya saling memerlukan kerja sama bila ingin umat Islam di Indonesia semakin maju dan beradab.

Jokowo dan tokoh agama perlu duduk sejajar. Keduanya harus semakin mempererat hubungan yang simbiosis mutualisme, bukan hubungan simbiosis komensalisme--salah satu pihak meraung keuntungan dan pihak lain tidak diuntungkan tetapi tidak dirugikan. Apalagi hubungan simbiosis parasitisme--satu pihak untung dan pihak lain rugi.

Itulah silaturahim politik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar