Pertemuan
Jokowi dan Tokoh Agama :
Silaturahim
Politik yang Saling Untung?
Idris Thaha ; Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP UIN
Jakarta;
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 April 2018
SEJUMLAH pertemuan Joko Widodo
(Jokowi) sebagai kepala negara/pemerintahan dengan para tokoh agama sebagai
pemimpin masyarakat yang berlangsung belakangan ini, menjadi bukti tak
terbantah terbangunnya komunikasi positif--yang dalam bahasa agama disebut
silaturahim.
Komunikasi itu penting untuk
menciptakan saling mengerti, memahami, menghargai, dan menghormati di antara
kedua belah pihak.
Oleh kalangan masyarakat tertentu,
pertemuan itu memang dianggap saling menguntungkan kedua belah pihak.
Silaturahim semacam itu bisa jadi
berimplikasi pada semakin eratnya relasi simbiosis mutualisme. Presiden
(Jokowi) dan para tokoh agama (baik ulama, kiai, cendekiawan, maupun
intelektual) bekerja sama dan berjalan beriringan, yang tentu saja akan
berdampak positif bagi keteduhan dan kenyaman masyarakat.
Dengan relasi semacam itu,
Presiden Jokowi dan para tokoh agama (civil society) berada dalam posisi
sejajar, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Di dalam pertemuan-pertemuan itu,
Jokowi dan para tokoh agama membahas berbagai persoalan kekinian yang terkait
dengan kebangsaan, keumatan, dan keagamaan.
Mulai masalah-masalah aktual
kontemporer seperti maraknya dan tak terkendalinya penyebaran hoaks, konsep
full day school, pencegahan, peredaran dan penggunaan narkoba, kriminalisasi
ulama, hingga persoalan penyelenggaraan pesta demokrasi yang melibatkan
rakyat yang terselenggara secara rutin lima tahunan.
Jokowi dan para tokoh agama tukar
pikiran dan informasi mengenai apa yang telah dikerjakan untuk umat. Jokowi,
misalnya, menjelaskan progres pembangunan yang dikerjakan pemerintahan.
Begitu pun para tokoh agama
memaparkan apa yang telah mereka hasilkan sebagai wujud kontribusi positif
bagi masa depan umat.
Jokowi yakin, kerja sama umara dan
ulama dapat menjamin keamanan dan ketenteraman NKRI.
Persoalan
umat
Jokowi bahkan tidak segan-segan
meminta kritik membangun sebagai modal perbaikan kebijakan-kebijakan di
masa-masa mendatang.
Ia mengakomodasinya melalui
kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. Misalnya, ditetapkannya Hari Santri.
Jokowi tampaknya menyadari betul
bahwa masukan-masukan itu sangat penting artinya bagi pemerintah.
Ia mendengar langsung inspirasi
dan kebutuhan umat melalui para ulama/kiai, yang tentu saja sangat dekat dan
mengetahui serta bersentuhan langsung dengan persoalan umat.
Khusus bila bertemu kiai-kiai di
pondok pesantren, Jokowi menekankan pentingnya kehadiran lembaga pendidikan
khas Indonesia itu dalam konteks peningkatan mutu kualitas sumber daya
manusia di kalangan umat Islam yang mayoritas secara demografis.
Untuk itu, Jokowi mendorong
perbaikan pondok pesantren, terutama terkait dengan ekonomi umat dan
lingkungan pesantren, yang tampak terabaikan selama ini.
Misalnya peningkatan kualitas
infrastruktur--mulai jalan-jalan menuju dan di pesantren hingga
bangunan-bangunan lainnya yang tidak baik.
Setiap kunjungan kerja ke daerah,
Jokowi dapat dipastikan menyempatkan diri menemui mereka.
Intensitas pertemuannya semakin
meningkat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 dan
pemilu legislatif (pileg) serta Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
Jokowi kian mendekati mereka--baik
mengundang langsung mereka datang ke Istana maupun 'menjemput bola' dengan
menghadari acara-acara mereka di sejumlah daerah di Indonesia.
Gonjang-ganjing pertemuan Jokowi
dan para tokoh agama telah menjadi komoditas politik dan publisitas media
massa dan media sosial.
Teranyar, Jokowi bertemu Tim 11
Ulama Persaudaraan Alumni 212 di Istana Bogor.
Selain itu, ia mengundang
tokoh-tokoh dari organisasi keagamaan mainstream seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (NU).
Namun, sebagian masyarakat
tertentu merasa perlu 'mewaspadai' pertemuan-pertemuan Jokowi dan para tokoh
agama itu, khususnya dengan Tim 11 Ulama Persaudaraan Alumni 212.
Bisa jadi, pertemuan itu
dimanfaatkan Jokowi untuk kepentingan politik pada pilpres yang tinggal
setahun lagi.
Bagi mereka, Jokowi perlu dukungan
para tokoh agama yang memang memiliki basis pemilih fanatik dan militan, yang
tersebar di seluruh penjuru pelosok di Tanah Air.
Pertemuan-pertemuan itu dianggap
sebagai wujud 'kepanikan' Jokowi dalam menghadapi pilpres mendatang. Hal itu
disebabkan elektabilitas Jokowi terus menurun, sebagaimana dikatakan Amien
Rais, beberapa politikus, dan lembaga survei.
Dalam catatan Media Survei
Nasional (Median), misalnya, disebutkan elektabilitas Jokowi secara konsisten
mengalami penurunan tipis sejak April tahun lalu.
Hasil survei yang dirilis pada
Februari 2018 disebutkan, Jokowi menerima dukungan 35%.
Angka itu turun bila dibandingkan
dengan hasil survei Median pada Oktober 2017 (36,2%) dan April 2017 (36,9%).
Hasil survei Median ini bertolak
belakangan dengan beberapa lembaga survei lain yang membuktikan temuan yang
berbeda.
Menurut beberapa lembaga survei,
elektabilitas Jokowi cenderung terus naik meski angka peningkatannya tidak
begitu signifikan.
Hasil survei yang dilakukan pada
Maret 2018 oleh beberapa lembaga survei menunjukkan angka yang berbeda-beda.
Elektabilitas Jokowi berada pada kisaran di atas 40%-50%, yaitu 58,5% (Cyrus
Network), kemudian 55,9% (Litbang Kompas), berikutnya 48,3% (Kedaikopi), dan
49,08% (Political Communication Polcomm Institute).
Belum
aman
Sekalipun demikian, angka-angka
itu jelas belum aman bagi Jokowi bila ingin bertahan menduduki kursi
kepresidenan.
Ia akan aman bila elektabilitasnya
mencapai angka di atas 60%.
Karena itu, Jokowi perlu kerja
keras untuk menaikkan dan mencapai angka aman itu.
Salah satunya harus rajin bertemu
dengan para tokoh agama yang kemudian 'dicurigai' dimanfaatkan Jokowi demi
meningkatkan elektabilitasnya.
Jokowi tentunya tidak ingin
pengalaman Pilpres 2014 terulang.
Elektabilitas yang fluktualitf
ketika itu menjadi pengalaman berharga bagi Jokowi dalam menghadapi Pilpres
2019.
Sejak ditetapkan pencapresannya
pada Pilpres 2014--meski menimbulkan pro dan kontrak di kalangan internal
partai dan kalangan eksternal, Jokowi mendapat kepercayaan positif dari
masyarakat.
Hasil survei beberapa lembaga
menyebutkan tingkat keterpilihan Jokowi terus meningkat sejak menjadi
Gubernur DKI Jakarta pada pertengahan Oktober 2012.
Jokowi selalu paling unggul dan
merajai hasil jajak pendapat, dan konsisten di atas 20%.
Popularitas Jokowi terus membubung
dan meluas berkat penggunaan media sosial.
Popularitas Jokowi tidak bisa
dibendung dan ditandingi capres lainnya di dalam pelbagai survei dengan rasio
keterpilihan 30%.
Dukungan pemilih semakin
inklusif--melampaui sekat-sekat demografis, sosial-ekonomi, budaya, politik,
dan bahkan agama. Surplus dukungan pemilih pun tak terkendalikan.
Namun, dua bulan menjelang hari H
pencoblosan/pencentangan, laju elektabiltas Jokowi mengalami hambatan dan
ganjalan.
Isu miring, tuduhan negatif, dan
bahkan fitnah--khususnya terkait dengan latar belakang ideologi dan kehidupan
keagamaannya--menyebar masif dan meluas di berbagai media; baik media massa
(cetak dan elektronik) maupun media sosial (Facebook, Twitter, Youtube, dan
Linkedin).
Salah satu contohnya penerbitan
tabloid Obor Rakyat yang memuat berbagai isu yang tidak menguntungkan Jokowi,
termasuk partai-partai pengusungnya, khususnya PDI Perjuangan.
Tabloid itu diterima kalangan
pondok pesantren, khususnya di Pulau Jawa.
Kampanye hitam itu betul-betul
menurunkan elektabilitas Jokowi.
Untuk menaikkan kembali dukungan
pemilih, Jokowi semakin memaksimalkan media sosial di kalangan pesohor,
khususnya di kalangan selebritas dan artis.
Keriuhan kampanye di media sosial
betul-betul berimbas kepada tingkat keterpilihan Jokowi. Jokowi pun akhirnya
terpilih menjadi presiden.
Jokowi--dan partai-partai
pendukungnya--memikul tugas yang tidak ringan bila ingin tetap menjadi
presiden.
Pertemuan-pertemuan dengan
tokoh-tokoh agama itu harus lebih ditingkatkan frekuensinya, dan semakin luas
jangkauan daerahnya.
Jangan
seremonial
Selama ini, Jokowi telah bertemu
dengan tokoh-tokoh agama dari Aceh (11/7/2017), Sumatra Selatan (18/7/2017),
Kepulauan Riau, (27/2/2018), Kalimantan Selatan (13/3/2018), Banten
(21/3/2018), dan Jawa Barat (3/4/2018)--semuanya diselenggarakan di Istana
Negara.
Jokowi juga mengajak ulama Sumatra
Barat (9/2/2018) makan siang seusai salat Jumat di Masjid Raya Sumatra Barat,
dan bertemu dengan ulama NTB (23/11/2017) saat membuka Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Masjid Raya Hubbul Wathan, Kota
Mataram.
Langkah itu tepat karena di
provinsi-provinsi tersebut Jokowi kalah bersaing dengan pasangan Prabowo
Subianto-M Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Jokowi kiranya juga perlu bertemu
dengan ulama asal Gorontalo dan Maluku utama--sekali lagi--karena di kedua
provinsi ini Jokowi tidak meraih suara signifikan pada Pilpres 2014.
Di luar ke-10 provinsip itu,
Jokowi tampaknya perlu lebih intensif lagi bertemu dengan tokoh agama bila
ingin mempertahankan kemenangannya pada Pilpres 2019, seperti pada Pilpres
2014.
Ke depan, pertemuan-pertemuan
Presiden Jokowi dan pemimpin masyarakat tidak sekadar seremonial, yang
diselenggarakan setiap menjelang pemilu (pilpres).
Jokowi dan tokoh agama perlu
bertemu berdialog kapan saja sehingga relasi simbiosis mutualisme di antara
mereka semakin menemukan maknanya secara substantif. Keduanya saling
memerlukan kerja sama bila ingin umat Islam di Indonesia semakin maju dan
beradab.
Jokowo dan tokoh agama perlu duduk
sejajar. Keduanya harus semakin mempererat hubungan yang simbiosis
mutualisme, bukan hubungan simbiosis komensalisme--salah satu pihak meraung
keuntungan dan pihak lain tidak diuntungkan tetapi tidak dirugikan. Apalagi
hubungan simbiosis parasitisme--satu pihak untung dan pihak lain rugi.
Itulah silaturahim politik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar