Kamis, 03 Mei 2018

Politik Disrupsi

Politik Disrupsi
Tulus Sudarto  ;  Rohaniwan;
Bekerja di Paroki St Maria Lourdes, Sumber, Magelang
                                                          KOMPAS, 03 Mei 2018



                                                           
Bahwa masyarakat oral merupakan habitat alami dari perkembangan teknologi, itulah yang secara frontal menerjemahkan stagnasi keberlangsungan Indonesia dalam cangkang kultur nir-aksaranya.

Fakta sebanyak 120 juta penduduk menggunakan internet sehingga menempati urutan ke-6 di seluruh dunia tidak otomatis paralel sebagai kemajuan signifikan dalam budaya digital. Alih-alih sebagai titik balik (turning point), justru sebaliknya, ibarat tumbu ketemu tutup, budaya oral masyarakat Indonesia ditelan bulat-bulat oleh perkembangan teknologi.

Simton utama adalah betapa perangkat gawai mendominasi keseharian masyarakat Indonesia, bukan hanya soal kebutuhan, melainkan sudah menjadi habit mutlak dalam cakupan arti seutuh-utuhnya. Apa yang tersaji dalam pesan singkat lewat genggaman ponsel merupakan traktat kebenaran tanpa perlu cek dobel.

Frasa ”dunia dalam genggaman” menjadi ungkapan harfiah yang sekaligus hurufiah. Tsunami informasi dalam segenggam gawai yang berpadu padan dengan akar pragmatisme merupakan perkawinan surgawi (heavenly marriage) dalam masyarakat Indonesia yang total oral. Nyaris tak ada satu kekuatan apa pun yang sebanding untuk melawannya.

Kematian episteme

Secara brutal, pola komunikasi dalam masyarakat oral sangat tergantung pada kuantitas dan tidak pernah kualitas. Semakin banyak suatu informasi dilancarkan, semakin informasi tersebut tidak lagi terhadang sebagai lajur pengetahuan.

Apa yang formatif adalah seberapa besar informasi itu dilesakkan. Tiga kategori Aristoteles, yaitu baik, benar, dan berguna, sama sekali tidak berlaku.

Pada mulanya adalah desepsi. Masih asli dalam kondisi awal, desepsi ini digelondong  oleh pragmatisme masyarakat oral yang membawa dalam dirinya kemudahan berkomunikasi. Hasilnya adalah disrupsi.

Disrupsi yang dibawa oleh media sosial dengan sendirinya mengubah apa yang semula merupakan desepsi menjadi sebentuk persepsi. Sekumpulan persepsi yang tidak pernah mendapatkan pendekatan diskursif dalam level apa pun tinggal menunggu tikungan terakhir berubah sebagai konsepsi.

Sifat dasar pragmatis dalam masyarakat oral (baca: kemalasan) menjadikan pengetahuan bentukan konsepsi-konsepsi tidak pernah otentik. Sebagaimana kita mafhum, mayoritas masyarakat Indonesia begitu mudah membuat excuse kultural untuk tidak terlalu serius dalam membangun pengetahuan.

Segala potensi peradaban bisa mandek dalam segenggam ponsel. Minat pada buku tebal, apalagi tradisi berpikir kritis, dengan sendirinya justru dianggap sebagai olah kesadaran yang keliru. Apa yang sebelumnya normatif dan baku dalam memproduksi pengetahuan kini berubah menjadi sekadar ongkang-ongkang yang tidak formatif.

Konteks politik

Pihak mana yang paling diuntungkan dari situasi khaotik karena pengaruh perkembangan teknologi tersebut? Tentu saja politik. Politiklah yang panen besar-besaran dari tipe pragmatisme masyarakat oral serta gencarnya distribusi segala informasi dalam genggaman tangan ini.

Masyarakat begitu gampang untuk menyimpulkan (to conceive) lewat satu-dua judul (to perceive), tanpa peduli kalau informasi tersebut menipu (to deceive). Bawaan dasar politik yang selalu kotor memang tidak pernah bisa diantisipasi oleh nalar sejernih apa pun. Bahkan, yang disebut pemikiran wajar (common sense) berdasar patokan standar pun tidak bisa diandalkan.

Politik senyatanya menjadi monster pengetahuan melalui disrupsi yang diciptakan secara massal dan spartan. Para elite politik yang keblinger oleh kekuasaan sebagai kekuasaan per se begitu lihai dalam mengelola pelbagai isu untuk menggiring pada ketunggalan kebenaran menurut versi mereka sendiri.

Pemelintiran data dibuat sehebat-hebatnya, seolah negara ini dalam emergensi akut sebagai bangsa yang gagal. Pemutarbalikan fakta kemajuan sebagai keterpurukan digelontorkan pada akar rumput yang dianggap tidak lagi bernalar.

Satu judul bombastis melalui running text di televisi ataupun sebaran ujaran kebencian lewat Whatsapp sudah terlalu cukup untuk menggariskan sebentuk opini publik. Tipe masyarakat oral yang gemar bergosip dimanfaatkan sebagai domain untuk penyebaran disrupsi tersebut. Atas nama perebutan kekuasaan politik, berita-berita picisan (hoaks) digelontorkan tanpa tedeng aling-aling.

Satu-satunya senjata yang paling efektif sekaligus efisien dalam mengacaukan model tafsir masyarakat oral adalah isu primordial. Lewat isu paling sensitif itu, kepentingan politik jangka pendek gampang diraih.

Tersajilah secara vulgar betapa kematian epistemologis elite politik yang begitu haus kekuasaan merupakan sumber disrupsi terbesar dalam episteme khalayak oral. Pertanyaan sosiologis terbaik yang begitu urgen, apakah ada secercah harapan dari buldoser pengetahuan disrupsi itu untuk suatu kebaikan bersama (common good).

Satu hal yang bersifat natural adalah apa yang menjadi tesis dari Marquis de Sade (1740-1814). Penelitiannya membuktikan bahwa apa yang kuantifikasional bisa berbalik dengan cara alami tanpa ada suatu ekuilibrium apa pun. Dari filsuf Perancis inilah muncul istilah sadisme. Cara tutur sadisme menunjuk pada titik kemuakan tertentu yang justru muncul setelah segala bentuk kekerasan dalam level apa pun digelontorkan tanpa memberi kesempatan untuk distansiasi.

Dalam bingkai De Sade, masyarakat oral yang dipersepsi terus-menerus tanpa kesediaan untuk bernalar secara kritis dan mendalam secara natural akan memproduksi suatu antitesis bawaan di dalam dirinya sendiri, bukan oleh suatu kekuatan atau kekuasaan epistemologis dari luar, tetapi oleh karena kemuakan terhadap remeh-temeh isu-isu primordial itu.

Wallahu’allam. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar