HOTS
yang sedang Hot
Indra Charismiadji ; Pengamat dan Praktisi Pendidikan dengan spesialisasi
|
MEDIA
INDONESIA, 28 April 2018
TOPIK soal ujian higher order
thinking skills (HOTS) atau soal dengan daya nalar tingkat tinggi jadi
perbincangan hangat, tepatnya ketika peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer
(UNBK) 2018 meluapkan keluhan di media sosial. Mereka mengeluh soal ujiannya
sulit. Keluhan ini lantas menjadi sorotan praktisi pendidikan, orangtua,
hingga guru.
Keluhan itu muncul karena
Kemendikbud menyisipkan soal HOTS di UNBK mata pelajaran matematika jenjang
sekolah menengah atas (SMA). Alasannya soal itu mengikuti standar Programme
for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD). Peserta ujian yang baru
pertama kali menjumpai soal seperti itu, apalagi di ujian akhir, jadi
terkaget-kaget.
PISA adalah survei tiga tahunan
yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan
sains. Pada survei terbaru (survei periode 2015) posisi Indonesia kurang
baik. Kemampuan literasi ada di urutan ke-66 dari 72 negara. Sementara itu,
kemampuan matematika di peringkat ke-65 dan kemampuan sains di peringkat
ke-64.
Apakah
HOTS?
HOTS merupakan konsep reformasi
pendidikan yang dimulai pada awal abad ke-21. Tujuannya menyiapkan sumber
daya manusia (SDM) menghadapi Revolusi Industri 4.0. Pada era revolusi
industri ini manusia tidak hanya menjadi pekerja yang mengikuti perintah,
tetapi juga memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik, mampu
berkolaborasi, berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah, lalu kreatif
serta mampu berinovasi.
HOTS dilandasi taksonomi
pembelajaran yang dicetuskan Benjamin S Bloom pada 1956. Dia psikolog
pendidikan asal Amerika Serikat. Taksonomi tersebut kemudian direvisi murid
Benjamin S Bloom, yakni Lorin Anderson di 2001. Lorin mengelompokkan
keterampilan atau kemampuan berpikir manusia dari tingkatan paling rendah ke
paling tinggi.
Kemampuan kognitif itu ada enam
tingkatan. Paling rendah ialah menghafal (remembering), memahami
(understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), menilai
(evaluating), dan yang tertinggi ialah mencipta (creating).
Kemampuan berpikir menghafal,
memahami, dan menerapkan disebut dengan keterampilan berpikir tingkat rendah,
sedangkan untuk kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan ialah
kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Pada konteks ujian nasional, jika soalnya
pada keterampilan berpikir tingkat rendah, tentu anak-anak kita diajari bisa
menghafal, tapi tidak bisa bertindak. Jika ini diteruskan, saya khawatir
cita-cita kehidupan bangsa sebagai bangsa yang maju sulit tercapai.
Dengan demikian, hasil kajian PISA
yang menyebutkan peringkat pendidikan di Tanah Air masih tertinggal jika
dibandingkan dengan negara lain tidak bisa dibantah. Begitu pun dengan kajian
Bank Dunia yang menyebut pendidikan kita masih tertinggal 75 tahun jika
dibandingkan dengan negara lain, juga tak bisa dipungkiri.
Sederhanakan
kurikulum
Saya mengapresiasi langkah
Kemendikbud menaikkan tingkat kesulitan soal ujian nasional. Dari tingkat
hafalan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni HOTS. Ini suatu langkah yang
berani. Republik ini merdeka dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sayangnya hampir 73 tahun kemerdekaan, cita-cita itu belum tercapai.
Apa yang bisa dilakukan
pemerintah? Salah satunya membuat cetak biru (blue print) rancangan induk
untuk mengembangkan SDM Indonesia. Tentunya SDM yang sesuai dengan kebutuhan
Revolusi Industri 4.0.
Revolusi Industri 4.0 membutuhkan
SDM yang inovatif, kreatif, mampu menciptakan hal yang baru, serta
menciptakan solusi meskipun tidak harus orisinal. Contoh nyatanya bisnis
taksi. Taksi sejatinya bukan bisnis baru. Namun, taksi daring merupakan
bisnis baru yang berkembang pesat. Menariknya, pebisnis taksi daring, seperti
Go-Jek, Grab, atau Uber, tidak memiliki satu unit taksi pun dan tanpa
merekrut satu pun sopir.
Pun dengan perusahaan perhotelan
terbesar di dunia, Airbnb, tidak memiliki satu pun unit properti. Facebook
sebagai perusahaan media sosial terbesar di dunia justru tidak memiliki
konten dan penulis. Revolusi Industri 4.0 isinya disrupsi, yang membutuhkan
SDM dengan tingkat berpikir HOTS.
Langkah lainnya menyederhanakan
kurikulum. Kurikulum sekarang terlampau banyak materi untuk siswa. Siswa tak
ada kesempatan untuk memperdalam materi melalui cara berpikir HOTS. Baru pada
tingkat cara berpikir rendah. Semakin banyak informasi yang diberikan kepada
siswa, kian rendah cara berpikirnya.
Pengalaman pribadi saya kuliah di
Amerika Serikat, materi matematikanya sama dengan materi matematika sekolah
menengah pertama (SMP) di Indonesia. Jadi, terlampau jauh materi yang
diberikan kepada anak-anak kita.
Langkah berikutnya menyiapkan guru
untuk menerapkan HOTS dalam pembelajaran sehari-hari. Guru dilatih bagaimana
menyiapkan soal HOTS. Kian tinggi levelnya, semakin tidak ada kunci
jawabannya. Sebabnya, level tertinggi dari HOTS menciptakan sesuatu yang
baru. Guru harus siap tidak hanya berpegangan pada kunci jawaban.
Orangtua dan masyarakat saatnya
mengubah pola pikir. Nilai 100 yang diraih anak bukanlah suatu prestasi jika
tingkat berpikir anak itu rendah. Jangan bangga anak dapat nilai 100, tapi
soalnya hanya hafalan. Sebabnya, itu tingkatan berpikir paling rendah.
Saya sepakat dengan Mendikbud
Muhadjir Effendy yang menyampaikan anak kita jangan cengeng. Ujian nasional
tidak menentukan kelulusan. Hanya memetakan pendidikan. Ujian kehidupan justru
lebih berat.
Kita harus terbiasa masuk ke zona
tidak nyaman untuk mencoba sesuatu yang baru sehingga apa yang dicita-citakan
di awal kemerdekaan bangsa ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat
tercapai. Bangsa Indonesia yang merdeka, tidak bergantung pada bangsa asing
serta mampu mengelola kekayaan alamnya sendiri. Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar