Peran
Ilmuwan Sosial Era Mahadata
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional;
Pengurus Pusat HIPIIS
|
KOMPAS,
30 April
2018
Di era data melimpah atau mahadata
(big data) dewasa ini, dalam banyak hal peran ilmuwan sosial tergusur oleh
siapa saja yang mampu menganalisis data melimpah untuk keperluan praktis
tertentu.
Kecenderungan elektabilitas tokoh
atau partai politik menjelang pemilu yang ditimba dari analisis mahadata,
misalnya, dewasa ini tengah menjadi kecenderungan. Mahadata sebagai himpunan
data (data set) yang luar biasa besar jumlahnya, sedemikian rumit dan tak
terstruktur dipakai sebagai basis analisis yang dengan aplikasi rumus
algoritma tertentu mampu menghasilkan data baru yang bahkan realtime.
Penggunaannya tak sekadar sebatas bidang ekonomi dan bisnis, tetapi juga
politik.
Kini masih hangat perbincangan
kasus kontroversial yang menyebabkan Mark Zuckerberg dimintai kesaksiannya
oleh Kongres Amerika Serikat terkait kebocoran data pengguna Facebook. Data
tersebut berikut jutaan data pengguna media sosial lainnya telah dimanfaatkan
Cambridge Analytica, perusahaan yang didirikan Steve Bannon, mantan ketua tim
strategi Gedung Putih, untuk kampanye Pilpres AS 2016 dalam rangka
memenangkan Trump.
Sebagai pemilik Facebook,
Zuckerberg mengaku tak dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik,
melakukan kesalahan besar, dan meminta maaf. Fenomena menghebohkan publik
internasional ini segera memicu kesadaran bersama tentang rentannya data
pribadi di media sosial untuk disalahgunakan dan perlindungannya.
Fenomena ilmu-ilmu sosial di era
mahadata telah menarik perhatian Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam
uraian orasinya pada pelantikan pengurus Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), di Jakarta, 17 April 2018.
Pratikno mengingatkan ragam
konsekuensi baru yang menyertai revolusi industri 4.0, terutama terkait
banyaknya jenis pekerjaan yang diambil alih mesin atau perangkat kecerdasan
artifisial. Namun, dia melihat ilmuwan sosial tetap memiliki peran penting
dalam mempertahankan tradisi berpikir mendalam (deep thinking) dalam bingkai
nilai-nilai kemanusiaan guna membangkitkan kreativitas manusia. Mereka
berperan membingkai makna, menganalisis mendalam potensi keuntungan dan
risiko hal-hal baru, di tengah era mahadata yang berkecenderungan
mengondisikan cara berpikir instan, artifisial, serba cepat, praktis, dan
pragmatis.
Masalah berpegang pada nilai,
digarisbawahi pula oleh Ketua HIPIIS Muhadjir Effendy, bahwa kendatipun arah
perkembangan ilmu sosial sangat lekat dengan teknologi, tetapi imajinasi,
kreativitas, empati, kemampuan berjejaring, negosiasi dan pengambilan
keputusan berdasarkan pertimbangan norma, tetap tak tergantikan (Kompas,
18/4/2018). Penegasan ini mengingatkan bahwa pada hakikatnya ilmu sosial
merupakan roh dari segala ilmu karena terdapat dimensi norma dan nilai-nilai
kemanusiaan yang dijadikan pegangan.
Berpikir
mendalam
Tradisi berpikir mendalam itulah yang
membuat ilmuwan sosial tetap penting dan diperlukan, walaupun terkesan
terpinggir. Banyak kajian tentang hakikat berpikir mendalam, tetapi yang
cukup populer merujuk Gary Kasparov, Deep Thinking: Where Machine
Intelligence Ends and Human Creativity Begins (2017).
Buku Kasparov, pemain catur
terbesar sepanjang masa yang pensiun pada 2005 ini, mengisahkan pengalamannya
kalah tipis dari superkomputer IBM Deep Blue pada 1997. Fenomena manusia
melawan mesin itu bagaimanapun mengingatkan bahwa kecerdasan buatan
(artificial intelligence) semakin menjadi lawan tanding kecerdasan alamiah
manusia yang tak dapat diremehkan.
Revolusi industri 4.0
merefleksikan pengalaman Kasparov itu ke konteks lebih luas. Keberlimpahan
data, kecerdasan buatan, dan hal-hal penting lainnya pasca-internet, semakin
menantang. Kendatipun demikian, Presiden Joko Widodo dan Menteri
Perindustrian Airlangga Hartarto dalam konteks ini mengingatkan untuk juga
melihat sisi peluang. Di ranah ilmu-ilmu sosial merujuk Mensesneg Pratikno,
peluangnya mengerucut penguatan tradisi berpikir dan pemberi makna mendalam
serta penumbuh kreativitas (human creativity).
Peran
ilmuwan sosial
Masalahnya, bagaimana ilmuwan
sosial mampu berkonsentrasi mempertahankan tradisi berpikir mendalam dan
kreatif, justru di tengah kompleksitas tantangan? Dalam konteks ini, ilmuwan
sosial harus tetap berikhtiar berpikir obyektif dan bersikap kritis dalam
bingkai nilai-nilai kemanusiaan, terlepas dari posisinya apakah di lingkaran
kekuasaan atau tidak.
Sebagai ilmuwan sosial yang
tersohor pada masanya, Soedjatmoko pernah mengingatkan pentingnya ”dimensi
manusia” dalam pembangunan. Ini artinya, ilmuwan sosial harus tetap berdiri
di barisan paling depan sebagai juru ingat, agar proses-proses pembangunan
tidak melupakan ”dimensi manusia”.
Ilmuwan sosial harus tetap bekerja
berbasis riset disertai kemampuan reflektif yang bertumpu nilai-nilai
kemanusiaan. Ilmuwan sosial tetap menjadikan perguruan tinggi dan
lembaga-lembaga riset akademis sebagai basis pengembangan keilmuan. Ilmuwan
sosial bukan entitas bebas nilai. Mereka bekerja dalam bingkai nilai-nilai
kemanusiaan dan peradaban.
Mereka punya tanggung jawab sosial
dan kemanusiaan kendatipun tetap bekerja secara obyektif dan akademis.
Kontribusi pemikirannya sangat diperlukan dalam merespons masalah-masalah
bangsa yang beragam, dari soal demokrasi hingga masa depan integrasi bangsa.
Ilmuwan sosial dapat mengedepankan pendekatan optimistis dalam memaknai
pembangunan di tengah ragam realitas obyektif permasalahan bangsa.
Peran ilmuwan sosial membentang
dari pemikiran dan perencanaan pembangunan, pembingkai makna berbagai
fenomena sosial kebangsaan, hingga sikap kritis dalam mengingatkan peran dan
tanggung jawab kelembagaan negara dan politik dalam tradisi demokrasi.
Ilmuwan sosial juga jembatan perkembangan teknologi dan realitas sosial ke
dalam pertimbangan cermat dan mendalam dalam proses pengambilan kebijakan,
pun pemberi alternatif solusi masalah krusial kebangsaan dan perawat akal
sehat kolektif. Yang terakhir ini penting tatkala dinamika komunikasi media
sosial sarat dengan propaganda kebohongan (hoaks). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar