Minoritas
dalam Pilkada
Abdul Mu'ti ; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
|
KOMPAS,
30 April
2018
Perhelatan pilkada sudah
menggeliat. Masa kampanye sudah berjalan separuh waktu. Pemungutan suara
tinggal menghitung hari. Meski tampak adem-ayem, pilkada tetap saja menyimpan
bara dalam sekam. Berbagai isu kampanye bisa menjelma prahara. Salah satu
yang akan mudah tersulut adalah masalah agama.
Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, bangsa Indonesia memandang agama sebagai hal yang utama.
Benar bahwa mayoritas umat beragama terdiri atas kelompok moderat. Tetapi,
dengan orientasi teologi dan ibadah yang begitu kuat, karakter keberagamaan
lebih cenderung eksklusif. Sentimen agama mudah tersulut.
Contoh aktual adalah aksi massa
411 dan 212 yang terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta. Aksi yang menaklukkan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tersebut didukung oleh hampir seluruh unsur
umat Islam termasuk dari kalangan moderat.
Kedua, bangsa Indonesia belum
memiliki fondasi multikulruralisme dan pluralisme yang otentik dan kokoh.
Prasyarat substantif bagi terbangunnya kondisi kebebasan
beragama/berkeyakinan yang ideal belum terbentuk (Setara, 2018). Oleh
karenanya, menurunnya angka kekerasan keagamaan tak linear dengan Indeks
Kerukunan Umat Beragama (IKUB).
Pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan tercatat 151 peristiwa dan 201 tindakan tahun 2017. Angka ini lebih rendah dibandingkan 2016
masing-masing 2.018 peristiwa dan 270 tindakan. IKUB turun dari 75,36 (2015), 75,47 (2016)
dan 72, 27 (2017). Menurunnya IKUB tahun 2017 dipengaruhi oleh pilkada yang
sudah memanas di beberapa daerah (Balitbang Kemenag, 2018).
Ketiga, sistem politik yang terbuka
dan relasi antara agama dengan negara. Sesuai dengan Dasar Negara Pancasila,
Indonesia adalah negara yang religius. Meskipun tidak berdasarkan atas agama
tertentu, negara menjamin kebebasan beragama. Menurut Davie (2016) sistem
politik Indonesia dapat menumbuhkembangkan iklim kebebasan berbicara,
beragama, dan berkeyakinan serta HAM. Akan tetapi, kurangnya koherensi
pemahaman atas HAM dapat mengancam kohesi sosial.
Rentan
politisasi
Sangat sulit memisahkan agama
dalam pilkada. Dalam beberapa bulan terakhir gejala politisasi agama kian
terlihat. Isu-isu seperti PKI, partai setan, dan aliran sesat mulai
mengemuka. Selain program-program populis seperti pendidikan dan kesehatan
gratis, populisme agama juga jadi tema primadona. Banyak calon gubernur/bupati/walikota
mengangkat program pembangunan tempat ibadah, santunan duafa (fakir, miskin,
yatim-piatu, janda, dan lain-lain), tunjangan guru agama, layanan kematian,
dan sejenisnya.
Beberapa kandidat bahkan secara
terbuka menyatakan dukungan kepada kelompok agama tertentu dan akan
meniadakan kelompok lainnya, khususnya kaum minoritas. Pengalaman pilkada di beberapa tempat
menunjukkan kaum minoritas agama menjadi kelompok yang sangat rentan dan
terancam. Karena berkaitan dengan keyakinan, eksistensi kaum minoritas agama
dianggap lebih “berbahaya” dibandingkan dengan minoritas etnis atau suku.
Kaum minoritas sering dianggap sebagai kelompok sesat, sinkretik, dan
“predator” yang mengganggu, mengancam dan mencemari keyakinan kaum mayoritas. Ibarat pelanduk, kaum minoritas terimpit di
tengah pertarungan para gajah.
Menurut penelitian Setara (2018),
terdapat 20 bentuk kekerasan keagamaan. Lebih dari 50 persen terkait dengan
kaum minoritas seperti intoleransi, penyesatan ajaran, pemaksaan keyakinan,
pengusiran, ancaman terhadap anak-anak, diskriminasi pelayanan publik,
intimidasi, penolakan pendirian tempat ibadah, pelarangan kegiatan ilmiah,
intimidasi, perusakan rumah.
Dalam sistem politik Indonesia
yang menganut demokrasi mayoritas, eksistensi kaum minoritas semakin tidak
diperhitungkan. Dengan jumlah yang sedikit, kaum minoritas dipandang tidak
memberikan dukungan signifikan. Demokrasi mayoritas (majoritarian democracy)
meniscayakan keberpihakan kepada kelompok mayoritas yang menentukan
kemenangan.
Kelompok mayoritas bahkan bisa
tampil menjadi kelompok yang menekan dan mendikte kekuasaan (Conversi, 2011).
Akibat dari sistem politik liberal, kaum minoritas menjadi nihil di tengah
mayoritas yang menggurita (the winners take all). Sistem politik yang demikian
itu tidak sehat bagi demokrasi dan persatuan bangsa.
Inklusi
dan integrasi
Bangsa Indonesia telah bersepakat
memilih demokrasi sebagai sistem seleksi kepemimpinan nasional dan lokal.
Spirit dan nilai demokrasi meniscayakan toleransi, akomodasi, dan integrasi
sosial atas dasar persamaan antar manusia. Makna fundamental Bhinneka Tunggal
Ika adalah inklusi bagi setiap warga negara apapun agamanya.
Keberagaman adalah semen yang
memperkokoh persatuan. Kemajemukan adalah modal sosial yang mengangkat marwah
bangsa. Integrasi dan inklusi adalah prasyarat persatuan yang merupakan
ajaran universal agama. Islam, misalnya, mengajarkan agar manusia saling
menghormati, menerima, dan bekerjasama dengan semua kelompok termasuk kaum
minoritas (Zanjani, 1997).
Sangat disayangkan, gegap-gempita
pilkada alpa dari isu perlindungan kaum minoritas. Nyaris tidak ada yang
berani menyuarakan hak-hak beragama, sebagai hak asasi manusia dan hak sipil
warga negara. Tak terdengar suara mereka yang melakukan advokasi atas kaum
minoritas yang terancam jiwanya dan terampas kebebasannya. Jika ambisi menang
dan berkuasa sudah meraja, membela kaum minoritas tak ubahnya hara-kiri.
Betapapun kecil, kaum minoritas
tetap merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Eksistensi mereka harus diakui dan
dilindungi. Diperlukan kesatria demokrasi yang berani memperjuangkan mereka.
Secara matematis, mereka akan kalah. Tetapi, dalam konteks kemanusiaan,
mereka adalah pemenang sejati.
Pilkada bukanlah sebatas
pertarungan menang atau kalah, tetapi idealisme dan jati diri. Indonesia
menanti para kesatria demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar