Beban
Demokrasi Kita
Max Regus ; Lulusan Program Doktoral Graduate
School of Humanities,
University of Tilburg, Belanda
|
KOMPAS,
02 Mei
2018
Kita, pada
hari-hari ini, di mana praktik demokrasi juga meninggalkan kebisingan,
penting menoleh pada peringatan Larry Diamond, Guru Besar Ilmu Politik di
Stanford University, USA. Dalam artikel di The Journal of Democracy, dengan
judul Facing up to the Democratic Recesion (2015), dia mendedahkan ‘resesi’
yang mengiringi gelombang demokrasi.
Profesor
Diamond menyimpulkan, sejak tahun 2006, demokrasi sudah terjebak dalam
‘resesi ringan’ yang sedemikian berlarut-larut. Di luar kurangnya perbaikan
atas erosi sederhana ini pada tingkat global, ada beberapa hal lain ikut
menyebabkan kekhawatiran pada prospek demokrasi dan kebebasan.
Dia
mengemukakan empat (4) titik krusial. Dalam pengalaman, keempat isu ini
sedang menghadirkan beban bagi demokrasi kita. Dua yang pertama berhubungan
dengan ‘landskap’ demokrasi di level global.
Dua yang
berikut berkaitan dengan arah demokrasi kita. Pertama, negara-negara
demokratis mapan tampaknya semakin berkinerja buruk. Mereka seolah tidak
memiliki kemauan dan kepercayaan diri dalam mempromosikan demokrasi. Kedua,
kualitas dan stabilitas demokrasi telah menurun di sejumlah besar
negara-negara yang strategis dan penting.
Ketiga, ada
percepatan signifikan pada tingkat kerusakan demokratis pada ranah politik
dan sosial. Keempat, otoritarianisme ternyata telah menancap begitu
dalam, bukan hanya dalam struktur politik, tetapi juga pada konstruksi
berpikir publik.
Keempat soal
ini bisa dipandang sebagai beban dalam proses pematangan demokrasi kita.
Dua arah
Pematangan
juga pembusukan demokrasi setidaknya bisa datang dari dua arah. Jacqueline
Wasilewski, Guru Besar Emeritus di International Christian University, Tokyo,
dalam pengantar untuk buku karya Geneveive Souillae, The Burden of Democracy:
The Claims of Cultures, Public Culture, and Democratic Memory, menghubungkan
keduanya dengan ‘kapasitas politik’ dan ‘budaya publik’.
Untuk
situasi kita, dari dua arah ini, demokrasi kita menghadapi keterancaman
serius.
Pertama,
kapasitas politik. Ada tiga elemen pada soal ini. Ketiganya termasuk aktor,
perilaku, dan budaya. Kekosongan sinergitas konstruktif tiga elemen ini
memengaruhi proses pematangan (maturasi) demokrasi. Dalam terang gagasan ini,
tidak mengherankan bagaimana demokrasi berubah jadi horor yang begitu
menakutkan.
Kedua,
budaya publik. Ruang publik mengerut, hubungan antar kelompok sosial menjadi
begitu tertutup. Ini merangsang pembelahan sosial secara cepat dan brutal.
Bagi kita, gejala ini menyulitkan terbentuknya apa yang bisa kita sebut
sebagai ‘ingatan bersama’ (common memory). Sebuah fundasi ‘psiko-politik’ yang
merujuk pada luka-luka masa lalu akibat kebiadaban kekuasan, kemenangan yang
mesti diraih di kekinian, dan sejumput harapan di masa depan.
Tiga poros
Bagaimana
pun, kita kemudian membutuhkan, apa yang dianjurkan Francis Fukuyama, penulis
The End of History and the Last Man (1992), dengan ‘demokrasi yang layak’ (a
viable democracy). Pada satu edisi khusus The Journal of Democracy (2015),
dia menggugat komunitas internasional tentang ‘karut-marutnya’ kinerja
demokrasi dua dekade sesudah apa yang Samuel P Huntington sebut dengan
‘gelombang ketiga demokrasi (the third wave of democracy).
Dia menarik
kita pada tiga poros dan dua jalan bagi pematangan demokrasi. Keduanya
menjadi beban dan tantangan bagi demokrasi.
Pertama,
tiga poros itu termasuk negara, penegakan hukum, dan akuntabilitas
demokratis. Negara, secara konseptual dan etis, harus memeragakan kekuasaan
bagi aktualisasi kepentingan warga. Dalam pandangan ini, hukum mesti menjadi
titik ‘pengendali’ negara agar bergerak pada batas-batas etis-politis. Kemudian,
akuntabilitas demokratik menggaransi elite politik agar tidak menjadikan
kekuasaan sebagai ‘properti’ pribadi, keluarga, dan kroni.
Kedua,
demokrasi yang layak semestinya menjadi rujukan kerja-kerja politik. Dua
langkah dapat diambil untuk meringankan beban demokrasi.
Pertama,
pelembagaan (institusionalisasi) gerakan sosial ke dalam kerja lembaga
politik. Masuknya tokoh-tokoh gerakan sosial (politik) ke dalam segenap
lembaga politik bisa dianggap penting untuk mematangkan demokrasi.
Kedua, isu
di atas, pada gilirannya, mampu membenahi kapasitas negara (state capacity)
dalam memimpin proses demokratisasi yang efektif dan beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar