Manisnya
Memelihara Sengkarut Beras
Enny Sri Hartati ; Direktur Eksekutif Institute for
Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS,
11 Desember
2017
Di zaman now, ketika pasar global semakin
terbuka, hampir seluruh penjuru dunia telah memasuki kompetisi era milenial
dengan memanfaatkan teknologi digital. Mereka berlomba menciptakan berbagai
kreativitas dan mengadu inovasi agar menciptakan efisiensi. Setiap negara
menyusun berbagai regulasi agar tidak tersisih dari pertarungan global yang
sengit. Berbagai upaya perlindungan kepentingan dalam negeri pasti tetap
menjadi tujuan utama.
Insentif dan fasilitas diberikan untuk
memaksimalkan ketahanan produk dalam negeri. Ini masih dibarengi upaya
menghadang serbuan produk impor dengan menerapkan dan mencari berbagai celah
agar menjadi hambatan perdagangan. Sebaliknya, apa yang terjadi dengan
regulasi di Indonesia? Para pelaku ekonomi di dalam negeri justru dihadang
berbagai aturan dan kebijakan yang rumit sehingga mengikat ruang gerak,
sementara barang-barang impor bebas melenggang hampir tanpa hambatan.
Dengan dalih menstabilkan harga beras,
pemerintah menetapkan berbagai aturan, mulai dari harga pembelian pemerintah
(HPP) hingga harga eceran tertinggi (HET). HPP dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan petani agar harga tidak jatuh ketika panen. Pemerintah menugaskan
Perum Bulog untuk mengawal kebijakan itu melalui Inpres 5/2015 dengan
menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) Rp 3.700 per kilogram. Ironisnya,
sekalipun HPP dinaikkan, harga gabah di pasar selalu lebih tinggi daripada
HPP. Celakanya, tidak banyak petani yang mampu memenuhi standar yang
ditetapkan Bulog. Akibatnya, Bulog tetap tidak mampu menyerap gabah petani
dan harga yang diterima petani tetap dibawah HPP.
Artinya, kebijakan perlindungan yang
berbaju HPP itu bisa jadi justru menimbulkan distorsi pasar. HPP menjadi
senjata untuk menekan harga di level petani. Dengan posisi tawar petani yang
lemah, jaringan pemilik modal besar menjadi pemenang persaingan. Apalagi,
dengan penetapan HET oleh pemerintah, penggilingan kecil dengan mudah akan
dilibas karena skala ekonominya pasti tidak akan mampu bersaing dengan
penggilingan besar. Para pedagang pengepul pun hanya akan menjadi perpanjangan
tangan para pemain besar. Tidak mengherankan jika pasokan beras dikuasai oleh
pedagang besar. Akibatnya, pedagang besar mampu mengendalikan harga (price
maker) sehingga terjadi disparitas harga yang tinggi antara harga gabah yang
diterima petani dan harga beras yang harus dibayar konsumen.
Melihat fenomena tersebut, pemerintah per
September 2017 menetapkan HET beras medium dan premium. HET juga dibedakan
berdasarkan wilayah edar, yaitu sentra konsumsi dan sentra produksi. HET
beras medium di sentra produksi sebesar Rp 9.450 per kg, dan di sentra
konsumsi Rp 9.950- Rp 10.250 per kg. Sementara HET beras premium di sentra
produksi Rp 12.800 per kg.
Sekalipun pemerintah telah menetapkan HET,
harga beras justru merangkak naik. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan
rata-rata harga beras medium nasional naik. Selama tiga bulan berturut-turut,
harga naik dari Rp 10.635 per kg pada September menjadi Rp 10.704 per kg pada
Oktober, dan Rp 10.794 per kg pada November.
Pasokan
dan kebutuhan
Padahal, di dalam teori maupun dan kondisi
pasar mana pun, harga itu kuncinya sederhana, yaitu keseimbangan pasokan dan
kebutuhan. Artinya, jika harga ingin stabil, upaya meningkatkan produktivitas
agar pasokan cukup menjadi faktor penentu. Kebijakan yang memberikan insentif
ekonomi terhadap petani akan menjadi rangsangan petani tertarik memberdayakan
sektor pertanian. Jika kemampuan fiskal pemerintah terbatas, minimal tidak
ada kebijakan yang mendistrorsi dan mengganggu petani. Pemerintah cukup
membuat regulasi agar terjadi persaingan yang sehat dengan tidak mematikan
usaha kecil menengah.
Sekalipun Kementerian Pertanian mengklaim
telah menambah luas tanam padi hingga 1 juta hektar selama Juli-September
2017, itu tidak mampu langsung menggaransi terjadi peningkatan 6 juta ton
padi per bulan. Proyek pembukaan lahan secara besar-besaran yang pernah
dilakukan ternyata tidak efektif. Lahan bekas hutan belum tentu cocok untuk
ditanami padi. Pembabatan hutan menghilangkan predator alami hama sehingga
risiko padi terserang hama juga lebih besar. Belum lagi, ada risiko gagal
panen akibat bencana di sejumlah daerah.
Kemampuan pemerintah memiliki cadangan
beras juga sangat terbatas. Idealnya, pemerintah memiliki cadangan minimal 2
juta ton, sementara kemampuan Bulog menyerap beras sebagai cadangan
pemerintah hanya sekitar 1 juta ton. Pendek kata, dengan terbatasnya
instrumen dan kemampuan fiskal pemerintah, efektivitas kebijakan komando
melalui HPP dan HET justru berpotensi mendistorsi keseimbangan pasar.
Karena itu, setiap kementerian sebaiknya
membuat kebijakan agar fungsi dan tugas utamanya tercapai. Kementerian
Pertanian seharusnya berkonsentrasi meningkatkan produktivitas yang konkret
dengan akurasi data, bukan berdasarkan data yang semu. Kementerian
Perdagangan fokus memperbaiki rantai pasok yang panjang agar jalur
perdagangan lebih efisien. Membangun dan memperkuat kelembagaan pertanian
justru memiliki kontribusi yang lebih konkret dalam meningkatkan
kesejahteraan petani.
Jika tidak, sengkarut beras akan tetap
abadi dan hanya dinikmati para pemburu rente ekonomi, sementara melambungnya
harga beras jelas akan semakin memperlemah daya beli masyarakat. Di samping
sebagai produsen beras, petani juga net konsumen beras. Alih-alih bisa
berdampak pada stabilitas harga beras, bisa jadi justru masalah gizi buruk
yang semakin meningkat. Perlu diingat, kini persoalan gizi buruk telah
meningkat dari 17,9 persen (2010) menjadi 19,6 persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar