Senin, 18 Mei 2015

Tragedi Mei

Tragedi Mei

Tom Saptaatmaja   ;  Alumnus St Vincent de Paul
KORAN TEMPO, 18 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mencoba membuka misteri kerusuhan Mei 1998 memang sulit. Ada sejumlah pihak yang justru mencoba menutupi dengan rapat dan rapi. Kenyataan ini tentu sangat getir bagi para korban dan keluarganya. Simak saja ibu Ruyati Darwin, 67 tahun, yang masih terus mencari Teten Karyana, 32 tahun, yang ikut menjadi korban Tragedi Mei 1998. Teten meninggal saat terjebak dalam kebakaran Yogya Plaza, salah satu pusat belanja di Klender, Jakarta Timur.

Penderitaan Ruyati yang teramat pedih ternyata kerap hanya dianggap sebagai angin lalu. Rezim sebelum Jokowi dengan perangkat hukumnya yang seharusnya menegakkan keadilan bagi korban ternyata lebih suka melindungi kepentingan pelaku atau dalang dari peristiwa itu. Impunitas sungguh diberlakukan dalam Tragedi Mei.

Tim Pencari Fakta telah merekomendasikan cukup banyak bukti. Sayang banyak bukti yang diserahkan telah hilang atau sengaja dihilangkan. Yang sekarang tersisa hanya fotokopi dari dokumen itu.

Yang menjengkelkan, jasad korban Tragedi Mei pun dikecilkan keberadaannya. Misalnya, dengan menyebut potongan tubuh yang ditemukan hangus dalam peristiwa terbakarnya Plaza Sentral Klender, Jakarta Timur, bukan orang, melainkan manekin.

Upaya penggelapan semacam itu masih terus terjadi. Akibatnya peristiwa seperti Tragedi Mei hingga sekarang masih mandek menjadi misteri yang entah sampai kapan akan terungkap.

Padahal pengungkapan dan penegakan hukum bagi pelaku Tragedi Mei sangat penting. Bukan hanya sangat penting bagi upaya menegakkan keadilan dan tanggung jawab negara bagi para korban, tapi juga menjaga dan menyelamatkan citra negeri kita di mata masyarakat internasional. Kalau masyarakat internasional melihat ada penegakan hukum yang sungguh-sungguh di negeri kita, maka mereka, khususnya para investor, tidak akan sungkan lagi menanamkan modalnya di negeri kita.

Seperti kita tahu, korban Tragedi Mei 1998 ternyata tidak hanya terkait dengan perempuan Tionghoa. Tapi juga meliputi berbagai investor yang dulunya banyak sekali dari Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Filipina, maupun Thailand.

Namun, di atas segala-galanya, pengungkapan Tragedi Mei sesungguhnya sangat penting pertama-tama demi penghargaan, tanggung jawab, sekaligus keadilan bagi para korban. Pengungkapan juga perlu untuk menguji kematangan dan kedewasaan kita sebagai bangsa. Kedewasaan bangsa bisa diukur dari keberanian bangsa itu menatap masa lalunya. Di Atlanta City, Georgia, Amerika Serikat, terdapat makam Martin Luther King Jr dan museumnya. Di museum itu biasa diputar film-film bagaimana orang “Afro-American” atau bisa disebut orang kulit hitam didiskriminasi atau disiksa oleh warga kulit putih karena hukum segregasi yang diterapkan oleh negara. Keberadaan makam atau museum itu hanya salah satu bukti betapa AS merupakan bangsa yang tidak malu mengakui masa lalunya yang buruk demi kemajuannya di masa depan.

Presiden Jokowi berjanji hendak menuntaskan Tragedi Mei. Gubernur DKI Jakarta Basuki juga meresmikan Prasasti Mei '98 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon, Rabu (13 Mei). Prasasti itu terwujud berkat upaya Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lewat prasasti itu, negara coba diingatkan untuk menyelesaikan Tragedi Mei 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar