Senin, 18 Mei 2015

Why Dream School?

Why Dream School?

Ahmad Baedowi   ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 18 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEMULA saya beranggapan Dream School ialah nama sebuah sekolah yang akan kami kunjungi ketika melawat ke Finlandia. Namun, ternyata dream school merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi Allan Schneitz dari Elisa Value, yang menginginkan perubahan secara gradual berbasis kesepakatan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan di setiap sekolah. Ketika berkunjung ke Kasavuori School, Kauniainen, sedikit di luar Kota Helsinki, barulah saya memahami ternyata dream school merupakan jargon terhadap sebuah gerakan yang menginginkan perubahan.

Dengan tetap berpegang kepada visi pendidikan yang digariskan pemerintah, semua sekolah di Finlandia sangat menjunjung tinggi nilai dan harkat kemanusiaan. “School aim is to raise human beings to find strengths in their own personality, to be responsible and to respect each other's fundamental rights. Human being with good self esteem are eager to learn the necessary knowledge and skills.“ (Finnish Vision of School, 1970). Dalam bahasa sederhana Allan, fungsi sekolah sebenarnya bagaimana membelajarkan anak agar menjadi diri mereka sendiri berdasarkan tuntutan yang berkembang di sekitar mereka. 

Temuan riset Allan Schneitz agar sekolah memiliki kekuatan untuk terus belajar ialah kepedulian yang tinggi terhadap kemanusiaan. Bagi komunitas dream school, wellbeing lebih penting daripada knowledge, nilai-nilai kemanusiaan lebih berharga dari pengetahuan.

Karena itu, setiap sekolah harus memiliki keberanian untuk saling percaya dan menghargai satu sama lain, terutama guru, siswa, dan orangtua. Sekolah harus terbiasa mau mengeksplorasi kekuatan mereka berdasarkan kearifan lokal yang disepakati antara guru, siswa, dan orangtua. Karena itu, membangun kepercayaan bagi setiap sekolah merupakan sebuah keniscayaan karena butuh waktu tahunan untuk membangunnya, tetapi sangat mudah menghancurkannya, dan setelah itu harus ada kemauan untuk terus memperbaikinya.

Komunitas dream school, sebagaimana sekolah di Finlandia kebanyakan, tak 
satu pun menyelenggarakan evaluasi sejenis ujian nasional. Itu pun karena adanya rasa saling percaya antara guru, pemerintah, dan masyarakat. Menurut Pasi Sahlberg, para guru di Finlandia tak menyukai jenis tes seperti UN karena musuh utama dari keingintahuan ialah tes atau ujian (the worst enemy of curiosity is standardization). Padahal, tulang punggung dan jantung proses pendidikan di sekolah ialah keingintahuan dan kreativitas. Dalam banyak kasus, ujian nasional memang mematikan curiosity dan creativity dalam waktu yang bersamaan.

Dalam komunitas dream school, fenomena teaching sudah berlalu dalam 20 tahuan terakhir. Baik guru, siswa, maupun orangtua saat ini memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya belajar. Jika basis proses pengajaran (teaching process) adalah guru, proses belajar (to learn) ialah kehendak semua orang, terutama guru, siswa, dan orangtua. Teaching process terlalu berorientasi pada tes dan ujian sejenisnya, dan arena itu memerlukan banyak sekali dukungan dana. Mulai text-book, sarana-prasarana sekolah, hingga kebutuhan seragam sekolah meru pakan orientasi yang sejalan dengan pengajaran. Teaching center juga terlalu mengagungkan pengetahuan (knowledge) sebagai satu-satunya target pembelajaran tanpa menghiraukan nilai-nilai yang semestinya bisa diperoleh secara bersama antara guru, siswa, dan orangtua.

Menurut Allan Schneitz, menjadi sekolah yang baik bisa dilakukan sekolah di mana pun sejauh mereka bisa memenuhi tuntutan semua kebututan anak untuk belajar sesuai dengan selera gurunya (teacher center). Akan tetapi, menjadikan sekolah sebagai tempat tumbuhnya rasa kepedulian, saling percaya, dan menghargai kemanusiaan biasanya sangat sulit dilakukan, padahal sekolah jenis ini tak memerlukan banyak kebutuhan sarana dan prasarana.Bayangkan jika guru, siswa, dan orangtua secara intens bekerja sama membangun dan mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan kondisi lingkungan anak-anak mereka, proses belajar pasti akan lebih bernilai dan berhasil guna.

Secara menarik, Allan Schneitz membuat hipotesis sederhana tentang apa yang membedakan sekolah yang baik (good school) dan sekolah yang hebat (great school), terutama dari cara pandang para guru dan kepala sekolah mereka terhadap proses belajar mengajar. Salah satu aspek penting dari proses belajar berbasis kesepakatan dan kepercayaan antara guru, siswa, dan orangtua ialah kebebasan guru dalam merancang skema belajar yang diinginkan setiap anak. Kurikulum, dengan demikian, hanyalah framework yang menjadikan setiap guru untuk terus berpikir dan berinovasi dalam merancang dan menjalankan skema pembelajaran yang mereka sukai.

Di atas semua itu, komunitas dream school juga meyakini arti penting kata redesign atau merancang ulang setiap sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar, tanpa perlu diberi komando. Jika seorang guru merasa proses belajarmengajar mereka kurang bermakna, mereka tak sungkan untuk merancang ulang setelah memperoleh masukan yang cukup, baik dari siswa maupun rekan sesama guru.

Begitu juga dengan kepala sekolah dan orangtua. Jika ada sistem atau aturan yang menurut mereka akan menghambat proses belajar-mengajar yang bermakna, tak segan mereka sesegera mungkin merancang ulang sistem pengelolaan kelas, bahan ajar, atau apa pun yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar di sekolah. Kata redesign menjadi semacam acuan bersama guru, kepala sekolah, siswa, dan orangtua agar mereka tetap kreatif dan menjaga rasa ingin tahu (curiosity) mereka tetap hidup. Begitulah dream school.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar