Matinya
Sastra pada Museum
Annayu Maharani ; Peminat Permuseuman; Bekerja di Koalisi
Seni Indonesia
|
KORAN TEMPO, 18 Mei 2015
Museum
adalah pintu menuju masa silam yang akhirnya akan mengembalikan kita ke masa
kini dengan pengetahuan dan pengalaman yang lebih kaya. Museum menjadi ruang
demokratis di mana artefak dipresentasikan pada publik melalui model narasi
kebendaan (material narrating).
Problem
utama dari hampir semua museum kita adalah mereka hadir dengan kemasan narasi
yang tidak menarik. Mereka ditata dan ditulis dengan buruk, dan karena itu
tak sanggup menyampaikan cerita yang menggugah.
Penerapan
kaidah eksibisi, seperti tata letak, cahaya, dan suhu ruangan, menjadi
prasyarat bagaimana artefak dipresentasikan. Selanjutnya, kaidah ini harus
ditopang dengan "medium sastra" sebagai pintu informasi dan
melaluinya, makna direproduksi. Label caption, papan/video pengantar, bahkan
penuturan pemandu, adalah contoh bagaimana museum menceritakan dirinya.
Mayoritas
obyek koleksi museum di Indonesia tidak disertai dengan pelabelan yang
sekurang-kurangnya harus memberikan informasi nama, waktu, dan konteks
peristiwa. Pembagian koleksi secara tematik juga tidak diikuti dengan
papan/video pengantar yang jelas. Ditambah, fasilitas pemandu di beberapa
museum yang tidak berjalan otomatis. Ketiga masalah ini kerap ditemui pada
museum provinsi.
Publik
dibiarkan mengeksplorasi seisi ruangan dengan petunjuk yang terbatas. Hal ini
cenderung mengakibatkan tindak resepsi terhadap obyek yang berhenti pada
tahapan "melihat", belum mencapai resepsi yang mampu mengaitkan
konteks sejarah dan kultural satu sama lain—narasi besar. Obyek koleksi di
museum tidak dapat "dibaca" sepenuhnya.
Praktek
kepenulisan, seperti media, jelas berperan terhadap sirkulasi informasi yang
membuat museum menjadi terlacak dan terabadikan. Masalah internal museum
Indonesia di atas merupakan bagian kecil dari masalah yang sebenarnya:
keterbatasan informasi atas minimnya praktek kepenulisan di dunia
permuseuman.
Sangat
sedikit kira-kira, kita menemukan artikel di media-media umum yang
memberitakan museum secara konsisten. Begitupun dengan lemahnya publikasi
yang dikeluarkan oleh pihak museumnya sendiri.
Kita
sedang mengalami masa di mana pertukaran informasi menjadi sangat cepat atas perkembangan
teknologi. Museum, yang kandungan pengetahuannya bertumpu pada obyek
koleksinya, kenyataannya turut berbenah. Para ahli museum di luar negeri
telah mengantisipasi putaran budaya global dengan ikut berpartisipasi dalam
moda perputaran itu: pengelolaan website, mem-posting koleksinya di media
sosial, dan digitasi koleksi fisik yang semuanya dapat diakses. Museum
menampakkan dan menceritakan dirinya melalui perangkat digital kepada seluruh
dunia. Hal ini merepresentasikan proses sirkulasi informasi yang mengikuti
medium zaman.
Museum
yang ditata dan ditulis bagus akan menawarkan cerita yang menarik untuk
dikunjungi. Setiap kali bertandang, pengunjung museum selalu menemukan
sesuatu yang baru, yang memperjenih pemahamannya tentang masa silam, memperkukuh
pengertiannya tentang hari ini, dan memperkaya gambarannya tentang masa
depan. Pengunjung dapat menegaskan posisinya dengan lebih baik dalam arus
waktu dan peta ruang, dan lebih bergairah menghadapi sekaligus membentuk
perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar