Selasa, 19 Mei 2015

TNI AL sebagai Pengawal Poros Maritim Dunia

TNI AL sebagai Pengawal Poros Maritim Dunia

Connie Rahakundini Bakrie   ;  Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Studies; Dosen Senior Hubungan Internasional President University
KORAN SINDO, 18 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sejarah negeri ini yang cukup panjang sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu, bangsa ini hanya pernah memiliki dua presiden yang berorientasi sekaligus berani menempatkan Indonesia sebagai negara “pemain” daripada sekadar negara “penonton” dalam konstelasi pergerakan politik dan pertahanan keamanan kawasan dan dunia.

Kedua presiden ini adalah Soekarno dan Joko Widodo (Jokowi). Pembangunan maritim tidak bisa dilakukan secara serba instan. Untuk mengoptimalkan pembangunan maritim di tingkat nasional, regional dan global, dan khususnya dalam mencapai Poros Maritim Dunia dibutuhkan arah, orientasi, strategi dan antisipasi pembangunan yang efektif.

Diperlukan segenap daya, upaya, keunggulan sumber daya, posisi strategis dan geopolitik yang perlu diarahkan untuk menjawab tantangan demi mewujudkan keunggulan Indonesia. Implikasi dari sebuah negara yang berkehendak menjadi “pemain” kelas kawasan, terlebih kelas dunia, adalah harus terwujudnya pembangunan kekuatan militer yang bersifat outward looking, yaitu militer yang dipersiapkan untuk menghadang dan menghampiri ancaman serta lawan jauh melampaui batas terluar negara tersebut.

Itu karenanya, pada era Soekarno Indonesia dikenal sebagai negara terkuat di bumi bagian selatan serta memiliki efek deterrence yang kuat dari sisi politik. Dengan anggaran pertahanan mencapai 29% dari PDB, kekuatan militer kita memungkinkan kebijakan politik Soekarno terkait akan harga diri, kehormatan martabat, pertahanan dan keamanan bangsa, mampu didukung oleh kekuatan tentara yang sangat mumpuni.

Kedua presiden ini (Soekarno dan Jokowi) sangatlah sadar bahwa salah satu cara pasti agar negara mampu mengamankan jalur laut dan sumber daya laut adalah memiliki kekuatan AL yang mampu menempati 12 lautan yang dimiliki negeri ini, menguasai titik-titik strategis penting pulau-pulau, choke points Malaka dan 39 selat lainnya yang baik langsung ataupun tidak merupakan jalur utama pendukung kepentingan perdagangan, pergerakan sumber daya energi dan makanan (sea lanes of trade/SLOT) serta merupakan jalur suprastrategis militer (sea lanes of communications/SLOC).

Hampir setiap negara normal akan sadar betul tentang pentingnya urat nadi lautan ini dan akan berusaha keras untuk memiliki AL besar sekaligus modern untuk mengantisipasi titik-titik strategis tersebut. Karenanya, dalam sejarah militer dunia, kita dapat menemukan bahwa masalah “teritorial” baik darat, laut maupun udara menjadi penyebab konflik paling sering di antara bangsa-bangsa.

Dalam sistem negara modern, faktor munculnya sengketa teritorial dipercaya akan muncul justru dari negara tetangga. Sengketa Laut China Selatan hanya berbicara tentang 9 titik krusial keamanan maritim kawasan. Banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa justru terdapat sekitar 51 titik yang berpotensi menimbulkan clash di antara negara kawasan dan patut dicatat, sebagian besar dari 51 titik itu berada di garis batas laut Indonesia dengan negara tetangganya.

Kompetisi yang terjadi di Asia memiliki potensi besar untuk meningkat menjadi perang sesungguhnya, yang sebagian besar disebabkan oleh kompetisi segitiga pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kebutuhan akan energi di mana kebutuhan akan energi otomatis mendorong terjadinya penguatan angkatan bersenjata dan belanja militer.

Belanja militer akan meningkat dikaitkan pada pertumbuhan ekonomi yang selalu harus dipastikan terjaga aman. Pada Forum Keamanan Dunia 2014 di Munchen, Kissinger mengatakan bahwa situasi Asia saat ini menyerupai Eropa pada abad ke-19. Robert Kaplan, penasihat beberapa Presiden AS, malah menganggap bahwa era Mare Pacificum (Pasifik yang damai) telah berakhir dan kemungkinan pecahnya perang di Asia sangatlah besar.

Hal ini dapat juga dilihat dari pengeluaran militer Australia, China, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Selandia Baru pada 2013 yang mencapai dua kali lebih besar dari pengeluaran mereka di 2003. Pertumbuhan anggaran pertahanan negara-negara Asia di dekade pertama abad 21 juga terbukti 3 kali lebih cepat, dibandingkan dengan negara anggota NATO.     

Panglima TNI dan Paradigma Poros Maritim Dunia

Paradigma Poros Maritim Dunia jelas akan berdampak signifikan pada aspek pertahanan dan membawa pada pertanyaan mendasar untuk apa dan ke mana kekuatan militer kita akan dibangun dan dibawa. Patut disadari oleh pemangku kepentingan bahwa selain terbesar dari segi biofisik, ke-12 lautan Indonesia juga sangat strategis secara geopolitik.

Implikasi luas pencurian masif sumberdaya alamlautan kita memberikan konsekuensi kerugian ekonomi, ekologis, dan sosial yang sangat besar. Praktik perikanan ilegal yang begitu masif, degradasi ekosistem pesisir, tantangan dan implikasi perubahan iklim global, pencemaran dan tumpahan minyak menjadi tantangan nyata bagi negeri ini.

Untuk itu, Kementerian Pertahanan misalnya, perlu meninjau kembali doktrin dan strategi pertahanannya. Sebagai doktrin, Poros Maritim Dunia mutlak perlu di-back up oleh TNI AL laut hijau (green water navy) yang mampu digelar secara aktif dan berkala di 200 nm batas ZEE, dan TNI AL laut biru (blue water navy), yaitu angkatan laut yang armada lautnya mampu mengarungi ganasnya tiga samudra utama dunia: Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia.

Jelaslah, kebijakan Presiden Jokowi ini berdampak magnutidial pada rencana penggantian Panglima TNI beberapa waktu mendatang yang seyogianya jatuh pada giliran Panglima berasal dari TNI AU, maka kali ini seharusnya “direlakan” untuk dirotasikan kembali terlebih dahulu pada Panglima yang berasal dari TNI AL.

Mengapa? Membangun Poros Maritim Dunia bukan sekadar membangun TNI AL yang mampu menenggelamkan kapal pencuri ikan. Kerancuan inilah yang mendorong perlunya pemerintah segera menyusun cetak biru grand strategy pertahanan dalam pembangunan Poros Maritim Dunia di mana suka atau tidak suka harus didorong oleh pandangan dan pengetahuan seorang panglima berasal dari Angkatan Laut.

Hal ini dikarenakan terkait dua aspek. Pertama: terkait aspek pertahanan dan keamanan maritim di mana bertitik berat pada arah pengembangan sumber daya, sistem, dan implementasi pengawasan, pemantauan dan pengendalian keamanan dan pertahanan maritim Indonesia yang maju dan efektif.

Menciptakan SLOC dan SLOT yang aman dan terawasi dengan baik, di samping mengoptimalkan sistem pertahanan dan keamanan maritim nasional, juga berkontribusi menyediakan sistem pemantauan dan pengendalian perlindungan pemanfaatan sumber daya kelautan di tingkat regional dan internasional.

TNI AL yang kuat adalah jaminan bagi meningkatnya posisi tawar Indonesia selaku hegemoni kawasan utamanya dalam Political Security Pillar of ASEAN. Bukan hanya Filipina dan Vietnam akan hormat, tapi Amerika Serikat dan China, juga Australia dan India pun akan segan.

Pada level inilah Indonesia bisa menjadi negara pemain: kita bisa menjadi pemain di perairan kita sendiri dan kawasan, sekaligus pemetik keuntungan dari posisi Indonesia yang pada abad Asia ini sesungguhnya menjadi jantung pergerakan maritim dunia.
                                                                         
Kedua, terkait aspek sistem logistik. Poros logistik yang tepat dapat menjadikan Indonesia sebagai salah satu penyedia fasilitas sistem logistik kemaritiman terbaik sehingga selain bisa mendukung pergerakan militer yang outward looking, juga bisa menjadi alternatif utama bagi berbagai lalu lintas barang, jasa, dan berbagai kegiatan kemaritiman dunia.

Komponen logistik ini berpotensi memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi Indonesia, karena selain mendorong penyerapan tenaga kerja terampil, penyerapan teknologi kemaritiman terkini mampu mereposisikan Indonesia sebagai negara maritim terpenting dunia. Dalam lingkup nasional dan lokal, komponen ini akan mengurangi kesenjangan antara berbagai wilayah.

Secara doktrinal, konsep Poros Maritim Dunia bisa kita sebut sebagai The Golden Maritime Spices Road untuk mengingat kembali kedigdayaan nenek moyang kita yang dapat menggelar pasukan lautnya dari Tidore hingga ke Madagaskar, Venice dan Genoa. Doktrin Presiden Jokowi sesungguhnya dapat disetarakan dengan doktrin nasional British Rules the Waves (Inggris), Cooperative Strategy (Amerika Serikat), dan Chain of Pearl (China).

Dengan kata lain, Poros Maritim Dunia adalah sebuah gagasan besar, untuk menjadikan Indonesia kembali menjadi bangsa besar. Bangsa yang berjaya di lautan dan selatnya sendiri dan juga samudra-samudra serta chokepoints dunia.

Pada abad XVI, Sir Walter Raleigh berkata, “Whoever commands the sea, commands the world.” Inilah “mantra” yang telah “menyihir” bangsa Inggris menjadi bangsa maju dan dihormati, mendorong AS dan China tampil sebagai kekuatan adidaya. Kini, tibalah saatnya Indonesia membuktikan bahwa kita mampu dan bisa! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar