Selasa, 19 Mei 2015

Ingin Menang Besar, KPU Diintervensi

Ingin Menang Besar, KPU Diintervensi

Bambang Soesatyo   ;  Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI
KORAN SINDO, 18 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada benih kartel politik yang ingin melanggengkan konflik internal partai politik (parpol). Kartel itu menargetkan kemenangan besar pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015.

Itu sebabnya, menjelang diundangkannya seluruh peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang menjadi landasan dan acuan teknis penyelenggaraan pilkada tahun ini, intervensi penguasa terhadap KPU semakin intens. Langkah intervensi terbaru dari penguasa ditandai oleh desakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.

Ketika menyambangi kantor KPU baru-baru ini, Hasto mendesak KPU agar tetap berpegang pada Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk parpol peserta pilkada yang sedang dilanda konflik internal. Dalam hitungan hari setelah desakan Hasto itu, KPU mengumumkan bahwa seluruh PKPU untuk penyelenggaraan Pilkada 2015 telah selesai diundangkan Kemenkumham.

Semua PKPU itu otomatis menjadi pedoman atau acuan bagi penyelenggara maupun calon peserta pilkada di daerah. Empat PKPU baru diundangkan 12 Mei 2015, meliputi PKPU 8/2015 tentang Dana Kampanye, PKPU 9/2015 tentang Pencalonan, PKPU 10/2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara, serta PKPU 11/2015 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Calon Terpilih.

Sampai di situ, terlihat bahwa KPU sama sekali tidak akomodatif sehingga muncul kesan penyelesaian semua PKPU itu dipercepat tanpa memperhitungkan kondisi perpolitikan dalam negeri.

Seperti diketahui, saat ini terjadi dualisme kepengurusan di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Faktor ini seharusnya juga diperhitungkan KPU, utamanya karena kedua partai memiliki basis massa yang besar dan tersebar merata di seluruh penjuru Tanah Air. Kalau semua PKPU itu dinilai merugikan Golkar dan PPP, patut dikhawatirkan munculnya perlawanan dari basis massa kedua partai.

Sayangnya, KPU menyederhanakan potensi masalah itu. “Jika ada pihak yang keberatan dengan PKPU, dan menilai PKPU bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, ada ruang untuk meminta akuntabilitas melalui uji materi ke MA (Mahkamah Agung). Jika itu terjadi, KPU berkewajiban memberikan penjelasan alasan PKPU itu keluar,” kata Anggota KPU Ida Budhiati, Kamis (14/5).

Intervensi Hasto ke KPU menunjukkan keberpihakan partai pemerintah terhadap salah satu dari para pihak yang tengah berkonflik di internal Partai Golkar dan PPP. Dalam konteks Partai Golkar, Hasto jelas-jelas ingin memaksa KPU mengakui Partai Golkar kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Sebab, Menkumham telah menerbitkan SK tentang pengakuan pemerintah terhadap kepengurusan Partai Golkar produk Munas Ancol.

Hasto pura-pura lupa bahwa SK Menkumham tentang kepengurusan Partai Golkar itu bermasalah. Pemberlakuan SK Menkumham itu sudah ditunda oleh putusan sela pengadilan. Karena bermasalah itulah persoalannya pun harus dibawa ke pengadilan negeri. Kalau faktanya seperti itu, desakan Hasto jelas sangat kental bernuansa intervensi. Mereka yang melakukan intervensi memang sering kali bertindak ceroboh.

Legalitas Partai Golkar kubu Munas Ancol tentunya harus dipersoalkan karena kasus mandat palsu sudah naik ke tingkat penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Sudah ada tersangka, alat bukti, dan ada peristiwanya. Tak lama lagi, berkasnya bakal berstatus P-21. Bahkan, pekan lalu, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menetapkan dua tersangka baru kasus pemalsuan mandat itu.

Dengan tambahan dua tersangka baru ini, berarti total ada empat tersangka. Dua tersangka baru itu, berinisial MJ dan S, dikenakan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dan diperiksa pertama kali pada Jumat (15/5) lalu.

Apa jadinya Pilkada 2015 kalau KPU menuruti tekanan Hasto mengakui kubu Munas Ancol untuk menjadi peserta? Pilkada 2015 tidak hanya tercoreng, tetapi juga cacat hukum karena ada peserta yang tidak punya legalitas untuk menjadi konstetan di pesta demokrasi rakyat itu.

Target Kemenangan

Situasi perpolitikan dalam negeri terkini jauh dari sehat. Tangan-tangan kotor kekuasaan terus bekerja memecah-belah kekuatan-kekuatan politik. Prosesnya seperti mengarah pada terbentuknya kartel politik yang berambisi mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang sama sekali tidak fair.

Pada kasus Partai Golkar dan PPP, penguasa memperlihatkan kecenderungan ingin melanggengkan konflik internal atau dualisme kepengurusan. Penyelesaian konflik internal Partai Golkar dan PPP benar-benar sarat ketidakpastian karena adanya intervensi dan keberpihakan penguasa. Konflik internal Partai Golkar dan PPP harus diselesaikan melalui proses hukum.

Untuk mencapai keputusan berstatus inkrah, kedua partai diperkirakan akan butuh waktu relatif lama karena harus melalui proses hukum berjenjang (banding). Seperti apa pun putusan pengadilan dalam kasus Partai Golkar, pihak yang merasa dirugikan hampir bisa dipastikan bakal mengajukan banding.

Dalam kasus PPP, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta membatalkan SK Menkumham yang mengakui kepengurusan PPP pimpinan Romahurmuziy. Namun, proses itu belum tuntas karena Menkumham dan Romahurmuziy dkk mengajukan banding. Kalau intervensi penguasa berkelanjutan dan proses hukum menjadi berlarut-larut, kedua partai sama sekali tidak diuntungkan dalam konteks pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.

Golkar dan PPP akan dihadang PKPU 9/2015 tentang Pencalonan. Pasal 36 PKPU itu menetapkan, jika kepengurusan parpol tingkat pusat masih proses sengketa di pengadilan dan terdapat penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan keputusan menteri, KPU daerah tak dapat menerima pendaftaran pasangan calon sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap, dan ditindaklanjuti penerbitan keputusan menteri tentang penetapan kepengurusan parpol.

Masih menurut PKPU 9/2015 Pasal 36, jika penyelesaian sengketa belum ada putusan berkekuatan hukum tetap, tetapi kepengurusan partai yang bersengketa sepakat berdamai untuk membentuk satu kepengurusan partai, KPU daerah dapat menerima pendaftaran pasangan calon berdasarkan keputusan menteri tentang penetapan kepengurusan partai hasil kesepakatan perdamaian.

Artinya, menurut ketetapan PKPU 9/2015 Pasal 36 itu, jika parpol yang bersengketa gagal islah atau tidak menggenggam keputusan hukum berkekuatan tetap hingga masa pendaftaran calon peserta pada 26-28 Juli 205, parpol bersangkutan tidak bisa mengusung calonnya di Pilkada 2015.

Kalau Partai Golkar dan PPP harus menghadapi kenyataan seperti itu, siapa yang paling diuntungkan dari pelaksanaan pilkada serentak tahun ini? Sudah barang tentu parpol yang paling solid dan matang persiapannya. PDIP pasti ingin mengeskalasi penguasaannya lewat pilkada tahun ini dengan cara mencatat kemenangan di banyak provinsi.

Rekan-rekan PDIP dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang infrastrukturnya belum selengkap PDIP, sudah pasti akan berkonsolidasi untuk bisa menjadi pendamping caloncalon dari PDIP. Bahkan, untuk memperkuat penguasaannya, bukan tidak mungkin PDIP juga akan menggoda parpol lain anggota Koalisi Merah Putih (KMP) untuk berkoalisi memenangi pilkada di provinsi-provinsi tertentu.

Inilah yang menjadi target antara partai penguasa melanggengkan konflik internal ditubuh Golkar dan PPP. Namun partai politik lain tidak akan tinggal diam. Mayoritas fraksi di DPR sudah menandatangani kesepakatan untuk melakukan revisi terbatas UU Pilkada. Revisi penting demi terwujudnya pilkada yang damai. Karena itu, pilkada serentak tahun ini tak boleh cacat hukum dan juga tidak boleh cacat politik.

Maka, semua aturan main, payung hukum, dan institusi penyelenggara harus disiapkan dengan baik dan benar. Itulah urgensi dari revisi terbatas terhadap UU Nomor 2/2015 tentang Pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar