Berpolitik,
Polisi akan Hancur
Anton Tabah ; Mantan Staf Ahli Kapolri (2008-2013);
Mantan Kepala Pusat Hukum dan HAM PTIK Polri
(2005-2006);
Eks Sekretaris Pribadi mantan Presiden Soeharto
(1998-2004)
|
DETIKNEWS, 13 Mei 2015
Efek
kasus 'perseteruan' antara KPK dan Polri jilid 3 kemarin, banyak kalangan
meminta Polri direformasi kembali. Usulannya antara lain agar posisi Polri
tidak langsung di bawah presiden, melainkan di bawah kementerian atau
lembaga.
Alasan
pertama, kalau Polri di bawah presiden, tidak ada yang mengontrol, arogan,
dan superbodi. Kedua, TNI juga berada di bawah Kementerian Pertahanan, tidak
langsung di bawah presiden.
Soal
posisi Polri di bawah presiden, selain menggali sejarah, juga perlu mengkaji
kedudukan kepolisian di berbagai negara. Profesor Walter Cade Reckless, dalam
buku The Crime Problem, menyatakan
organisasi kepolisian berbeda dengan organisasi tentara, meskipun keduanya
sama-sama lembaga bersenjata.
Demikian
halnya, posisi organisasi kepolisian di setiap negara ditentukan oleh
sejarah, politik, dan sosiologinya. Ada kepolisian federal, ada kepolisian
nasional. Jika posisi kepolisian di suatu negara tepat, sesuai sejarah dan
sosial-politiknya, akan berjalan efektif. Sebaliknya, jika tidak, akan
timpang. “Let police be police,”
kata Reckless. Biarkan polisi menentukan di mana posisinya karena dia yang
paling mengerti.
Brigadir
Jenderal Steven Donziger, dalam The
Real War on Crime, mengevaluasi, sistem kepolisian federal ternyata
inefisiensi terhadap eskalasi gangguan kamtibmas dan perkembangan mazhab
hukum serta mobilitas kejahatan yang tak bisa dilokalisasi menjadi transnational crime. Hal ini sebagai
efek dari globalisasi, di mana bukan hanya antarnegara, bahkan antarbenua
tiada batasan lagi kecuali dalam definisi yurisdiksi. Karena itu, federal
systems kepolisian kini menjadi barang usang yang sesungguhnya sulit
dipertahankan. Ini pula salah satu sebab kepolisian Amerika menjadi semakin
tidak efektif.
Negara
besar, apalagi negara kepulauan, lebih efektif jika kepolisiannya terpusat
secara nasional, bukan federal, sehingga tak terkendala jika harus mengejar
dan menangani kejahatan lintas batas. Contoh negara kepulauan yang kecil saja
yaitu Jepang, ketika kalah Perang Dunia II dipaksa membangun sistem
kepolisian federal (1945-1951). Pada 1952, kepolisian Jepang menjadi
kepolisian nasional yang bernama NPA di bawah perdana menteri.
Hukum
tata negara mengupas tuntas bagaimana nomenklatur dan reposisi sebuah lembaga
negara yang efektif. Mengatur struktur, tugas, kewenangan, dan hubungan
timbal-balik antara lembaga negara dan warga negara yang begitu urgen.
Demikian pula kepolisian yang tugas dan pekerjaannya langsung berhubungan
dengan masyarakat bahkan berkaitan langsung dengan hak asasi setiap individu
masyarakat, maka kepolisian masuk dalam UUD masing-masing negara.
Bahkan
negara-negara adidaya sekali pun memasukkan kepolisian dalam UUD-nya.
Demikian pula Indonesia, sejak RIS, Polri masuk dalam UUDS. Tapi, entah
mengapa, dalam UUD 1945, Polri tidak masuk dalam satu alinea pun. Baru
setelah Reformasi UUD 1945 amendemen pertama, Polri dimasukkan dalam UUD
1945.
Kita
juga kurang mengerti alasan apa yang dipakai sehingga Polri tak masuk dalam
UUD 1945, padahal keterlibatan Polri dalam merebut kemerdekaan juga tak bisa
dipandang remeh. Namun sepertinya kurang di-file rapi dalam sejarah
perjuangan bangsa. Baru setelah 1980-an, sejarah Polri dirunut kembali dengan
membentuk struktur organisasi Pusat Sejarah Polri dengan komandan seorang
brigadir jenderal. Polri seolah tenggelam dalam buta sejarah atau kegelapan
sejarah. “Police in the darkness of
history” atau “police in the blind eye of history,” meminjam istilah
Charles Reith.
Demikian
pula Indonesia, di awal kemerdekaannya dipaksa ikut sistem kepolisian Belanda
yang federal di bawah Mendagri. Polri lahir (diresmikan) pada 19 Agustus
1945, sehari setelah BPUPKI membuat UUD 1945, menjadi birokrasi tertua di
Republik ini. Namun posisinya yang di bawah Mendagri tidak bisa berjalan
dengan baik. Banyak intervensi dari berbagai instansi, sehingga Polri tak
mampu membangun organisasinya dengan baik.
Pada 1
Juli 1946, Polri menjadi Kepolisian Nasional (INP) di bawah presiden atau
perdana menteri ketika itu. Baru Polri bisa berjalan efektif, jauh dari
intervensi. Polri mencapai puncak keemasannya sampai akhir 1950-an dengan
memiliki pasukan intelijen yang sangat tangguh, ketika itu termasuk
berkali-kali menggagalkan usaha pembunuhan Presiden Sukarno. Pada 1961, Bung
Karno menyatuatapkan Polri dengan TNI menjadi ABRI.
Itulah
awal kemerosotan Polri karena banyak intervensi yang terus berlanjut sampai
era Orde Baru berakhir. Polri jauh dari presiden yang seketika itu Kapolri
Jenderal Soekanto mengundurkan diri (September 1960) karena
masukan-masukannya kepada Bung Karno tak dihiraukan. Jika Polri satu atap
dengan TNI, Polri akan kehilangan jati dirinya sebagai insan bayangkara
(pelindung, pengayom, pelayan, penegak hukum) karena Polri menjadi tentara
yang “kill or to be killed” dengan
sumpah prajurit dan saptamarga yang sama.
Era
Reformasi mengembalikan jati diri Polri yang ingin menuju era keemasannya
dengan reposisi Polri yang langsung di bawah presiden. Ini akan berhasil jika
Polri dan oknum-oknum petinggi Polri tak mudah tergoda rayuan politik.
Hancurnya polisi, jika berpolitik, akan menjadi alat salah satu partai
sehingga tidak adil, tidak netral.
Kasus
“Cicak versus Buaya” jilid 3 kemarin sebetulnya perseteruan perorangan yang
diusung menjadi lembaga antara Polri dan KPK. Jika ditelusuri lebih detail,
juga karena terlibat dalam politik praktis, terlibat ikut mendukung salah
satu partai politik dan calon presiden tertentu. Maka, saya usulkan, agar
oknum-oknum Polri jera dalam melakukan politik praktis, hendaknya yang
terlibat jangan diberi jabatan di kepolisian. Apalagi diusulkan menjadi calon
pimpinan Polri. Ini harus menjadi harga mati bagi Kompolnas, presiden, dan
DPR.
Saya
ingat pidato Kapolri Jenderal Sutanto, 10 Oktober 2005, di Markas Brimob
Polri Kelapa Dua, Jakarta Timur. “Setiap
anggota Polri, tanpa kecuali, tak boleh berpolitik tapi harus tahu politik.
Setiap angota Polri harus melambung tinggi di atas semua kepentingan dan
golongan. Hanya dengan ini Polri bisa jujur, adil, dan profesional.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar