Jumat, 15 Mei 2015

Setelah Prahara Mei 1998

Setelah Prahara Mei 1998

Juwono Sudarsono  ;  Guru Besar (Emeritus) Universitas Indonesia;
Mendikbud Mei 1998-Oktober 1999
KOMPAS, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang akhir 1997, krisis keuangan hampir serempak melanda Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Nilai rupiah terjun bebas 15 persen hanya dalam kurun waktu lima bulan.

Pada awal Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan Michel Camdessus dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan menyetujui dana talangan 40 miliar dollar AS guna menyelamatkan ekonomi Indonesia.

Keabsahan Presiden Soeharto-yang berkuasa sejak 1968- mulai dipertanyakan. Situasi perekonomian memburuk. Beberapa menteri dalam Kabinet Pembangunan VII mulai berbisik, mempertanyakan perlunya Presiden mempertimbangkan untuk mundur.

Tonggak penting

Situasi mulai memanas di beberapa kota di Pulau Jawa sehingga Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata RI yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian) pada 14 April 1998 mengirim telegram radio kepada semua panglima daerah militer di Indonesia untuk "mengambil alih komando dan kendali" apabila huru-hara tidak bisa diatasi oleh polisi. Telegram radio yang bernomor buku TR14/TANAS/ IV PANG ABRI itu menjadi tonggak penting bagi perkembangan politik dan keamanan Indonesia hingga sekarang ini: 2015. Sebab, prahara Mei 1998 terkait erat dengan reformasi politik, rekonstruksi ekonomi, dan rekonsiliasi sosial budaya yang masih sama- sama kita perjuangkan, termasuk pembenahan Polri melalui Kompolnas.

Salah satu pemicu penting terjadinya "Prahara Mei 1998" adalah peristiwa di dekat kampus Universitas Trisakti di Jakarta Barat. Setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti di halaman depan kampus oleh anggota Brimob/Polri dari jalan layang yang melintas di seberang kampus, amarah mahasiswa Trisakti Jakarta meluas ke penjuru kota, menyusul gelombang keresahan dan kemarahan kaum miskin kota akibat menurunnya ekonomi dan harapan hidup. Tindakan aparat kepolisian semakin memicu amarah dengan ditutupnya kedai dan bengkel sepeda motor.

Berikutnya, perkelahian antarwarga miskin semakin meruncing. Penjarahan, pembakaran, dan pembegalan yang semula hanya terjadi di sekitar Jakarta Barat mulai merambah ke Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur. Di sekitar Kompleks Perumahan Dosen UI di Ciputat terjadi penjarahan dan pembakaran, di sepanjang Jalan Ciputat Raya menuju IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah.

Situasi yang merebak dengan cepat ke hampir seluruh penjuru Jakarta itulah yang mengubah keadaan menjadi "situasi di mana Panglima Komando Daerah Militer dapat mengambil alih tanggung jawab keamanan dan ketertiban dari pihak kepolisian yang tidak sanggup menguasai keadaan". Kepala Polri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo akhirnya memutuskan untuk menyerahkan kewenangan dan tanggung jawab keamanan dan ketertiban dari seluruh jajaran Polda Metro Jaya kepada Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin selaku Panglima Komando Pelaksana Operasi Jakarta merangkap Pangdam Jaya, sesuai TR14/TANAS/IV PANG ABRI.

Situasi "lempar handuk" ini, 14 tahun kemudian, diakui Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, yang pada saat itu menjadi Kepala Polres Jakarta Barat berpangkat ajun komisaris besar. Kepada saya pada Desember 2012, di Istana Negara, Jakarta, Jenderal Timur Pradopo menjelaskan, situasi tak terkendali itu di luar kemampuan Polri untuk mengatasinya. Ia yakin akan kemampuan Mayjen Sjafrie untuk mengendalikannya.

Dengan tenang dan sigap, Sjafrie menugaskan anak buahnya di Kodam Jaya untuk segera mengamankan semua obyek dan sarana publik, seperti listrik, perusahaan air minum, transportasi umum (bus kota dan kereta api/rel listrik), karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Yang terpenting adalah hak asasi manusia (HAM) untuk hidup damai secara lahiriah dan batiniah, bukan sekadar kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berserikat yang lazim ada di dalam buku-buku akademis.

Dari sisi kemanusiaan, Sjafrie juga menunjukkan keberanian dengan memerintahkan anak buahnya untuk mengantar empat jenazah mahasiswa Universitas Trisakti-yang menjadi korban kerusuhan 12-14 Mei 1998-ke rumah orangtua dan sanak saudara mereka. Jenazah kemudian dimakamkan secara khusyuk dan terhormat.

Saya teringat pernyataan ahli hukum tata negara, (almarhum) Profesor Djokosoetono, saat perkuliahan mengenai Niccolo Machiavelli yang saya ikuti ketika menjadi mahasiswa Universitas Indonesia di kampus Jalan Salemba 4, Jakarta. Il Principe harus memadukan keberanian dengan kebajikan. Virtu bukanlah keberanian, bukan sekadar jagoan perang, atau berani mati. Virtu adalah juga keberanian untuk kalau perlu mengorbankan satu atau dua orang demi keselamatan dan kemaslahatan orang banyak.

Sjafrie menanggung risiko itu dengan lapang dada, termasuk stigma bahwa ia adalah penculik mahasiswa dan melakukan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM pada November 1998 mengukuhkan temuan berdasar laporan Tim Gabungan Pencari Fakta bahwa Sjafrie tidak terbukti secara jelas dan nyata melaksanakan penculikan, apalagi melakukan pembunuhan dalam kerusuhan Mei 1998.

Korban iri hati

Ia adalah korban iri hati sejumlah kalangan militer dan sipil karena ia adalah anak emas Soeharto. Selama beberapa tahun Sjafrie pernah menjadi pengawal pribadi Presiden Soeharto, termasuk saat kunjungan Soeharto ke Sarajevo, Bosnia, pada Juli 1995, ketika Utusan Khusus PBB untuk Bosnia Yashui Akashi menerima kunjungan Presiden. Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI pada awal Juli 1998 kemudian menggantikan Sjafrie dengan Mayjen Djaja Suparman.

Pada tahun 2012, di kediaman Duta Besar Amerika Serikat di kawasan Taman Suropati, Jakarta, saya berjumpa Samantha Power, anggota Dewan Keamanan Nasional AS yang sekarang menjadi Duta Besar AS di PBB, New York. Saya jelaskan kisah Sjafrie di Jakarta pada Mei 1998 dan fitnah yang dilekatkan kepadanya. Samantha hanya menjawab, Sjafrie Sjamsoeddin tidak bisa dipisahkan dari persepsi umum di Kementerian Luar Negeri AS bahwa Kopassus sebagai kesatuan adalah lambang pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, hanya Kementerian Luar Negeri AS, bukan Kementerian Pertahanan AS, yang menetapkan boleh tidaknya prajurit TNI Angkatan Darat mendapat visa masuk ke AS.

Pada akhir April 2015, dalam upacara HUT Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, Danjen Kopassus Mayjen Doni Monardo mencanangkan Kopassus yang lebih humanis dan mengajak hadirin untuk mendoakan TNI AD agar menjadi "tentara rakyat, tentara kejuangan, dan tentara nasional". Sjafrie adalah contoh dari perwira tinggi yang tidak sekadar duduk manis, apalagi maju-mundur melihat situasi.

Semoga doa ini diamini oleh semua pihak, termasuk semua perwira menengah dan perwira tinggi Polri yang nyawa dan kariernya diselamatkan oleh tindakan berani Sjafrie Sjamsoeddin di Jakarta pada Mei 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar