Pesan
Mi'raj dalam Syair Sufi
Husein Ja'far Al Hadar ; Penulis
|
KORAN TEMPO, 15 Mei 2015
Segala sesuatu yang bersifat transendental bukan hanya sulit, tapi juga
mustahil untuk dibahasakan. Satu-satunya bahasa yang bisa digunakan untuk mendekatinya
adalah bahasa para penyair yang sarat akan metafor dan simbol, serta
berdimensi multitafsir, sehingga, sebagaimana diungkapkan penulis Annemarie
Schimmel, para sufi lebih memilih bersyair untuk mengenang dan menjelaskan
kisah kudus (heilsgeschichte).
Karena itu, sebagaimana ditulis McKane dalam A Manuscript on the Mi'raj in the Bodleian, sejarawan Arab ketika
berbicara dan menulis tentang peristiwa mi'raj Nabi Muhammad, banyak bertumpu
pada sumber-sumber ungkapan puitis para sufi. Sebab, jika tidak, mereka akan
dangkal dan tekstualis.
Maka, tulisan ini akan memaparkan pesan transendental dalam peristiwa
mi'raj melalui pembacaan atas ungkapan syair para sufi yang karena kedalaman
dan keluasan cakupan sebuah syair, sehingga pesan-pesan itu menjadi selalu
relevan bagi masyarakat muslim kontemporer.
Pertama, mengacu pada Jalaluddin Rumi, Yunus Emre dalam Divan-nya, saat
menjelaskan tentang posisi Jibril dalam peristiwa Isra' Mi'raj, ia bersyair,
"Bagi para pencinta, bahkan Jibril sekali pun adalah hijab." Syair
itu sebenarnya merupakan penjelasan dari hadis Nabi, "Bagiku ada suatu
momen dengan Allah yang bahkan Jibril, ruh kudus, sekalipun tak bisa
memasukinya." Bagi Rumi, dalam Matsnawi-nya, Jibril di sana adalah
simbol akal, yang bisa mengantar orang ke pintu Sang Kekasih, tapi tak
diizinkan untuk mengalami kemanunggalan cinta. Memang begitu, Musa pun (yang
kerap dinilai sebagai simbolisasi nabi dengan keunggulan rasio) tak kuasa dan
pingsan di Bukit Tursina.
Bagi penulis, itu merupakan salah satu pesan suci Isra' Mi'raj, di mana
ia menegaskan posisi akal yang begitu penting, sakral dan mulia, tapi juga
tetap patut disadari bahwa ia memiliki batasan yang jika itu dilampaui justru
menjadi bencana bagi subyeknya.
Kedua, dalam karyanya yang berjudul Javidnama, Muhammad Iqbal, saat
bersyair tentang mi'raj, memposisikan Nabi sebagai tokoh sentral bagi
kehidupan spiritual Islam dengan ungkapan yang sungguh dahsyat, "Tuhan
dapat kau ingkari, namun Nabi tidak!" Ungkapan itu mungkin terdengar
sumbang bagi para teolog, apalagi fukaha. Tapi, sebaliknya, bagi seorang
sufi, filsuf, atau penyair. Sebab, dalam sebuah hadis, Allah menyebutkan Dia
sendiri sebagai gudang misteri yang ingin dikenal, sehingga Dia ciptakan Nabi
agar Dia dikenal. Artinya, Nabi, sebagai makhluk, merupakan manifestasi
paling sempurna dari-Nya. Karena itu, melalui kesempurnaan beliau sebagai
ciptaan, Allah menampakkan "wujud"-nya di tengah-tengah manusia,
sehingga sosok Nabi itu secara tak langsung menjadi bukti keberadaan-Nya yang
mustahil untuk diingkari.
Akhirnya, mi'raj sebenarnya juga bisa dialami dan dirasakan manusia,
ketika mereka secara khusyuk melakukan salat. Begitu pula sebagian sufi yang
telah mencapai tingkatan tertinggi, juga telah mengalami pengalaman
transendental (ekstase) dengan-Nya. Dan, dalam konteks itu, syair lah yang
bisa menjadi bahasa yang tepat untuk menjelaskannya, sehingga pengalaman
semacam itu tak hanya menjadi konsumsi subyeknya, tapi juga keteladanan bagi
umat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar