Sabtu, 16 Mei 2015

Semiotika Isra Mikraj

Semiotika Isra Mikraj

Muhbib Abdul Wahab  ;  Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Isra Mikraj Rasulullah SAW merupakan peristiwa luar biasa, bahkan dianggap ”tidak masuk akal” (irasional) karena supercepatnya perjalanan Mekkah-Baitul Maqdis-Sidratul Muntaha dan kembali lagi ke Mekkah yang ditempuh kurang dari satu malam.

Kemajuan sains dan teknologi saat itu memang belum mampu menjelaskan perjalanan spiritual (spiritual journey) itu secara ilmiah. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi digital dewasa ini, peristiwa Isra Mikraj bukan hanya wajar dan rasional bagi Nabi SAW, melainkan juga menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya pembuatan pesawat supersonik, telekomunikasi nirkabel, jaringan internet dan satelit, dan sebagainya.

Peristiwa Isra Mikraj terjadi pada tahun ke-10 kenabian setelah Nabi SAW mengalami masa-masa sulit dan penuh ujian dalam berdakwah di Mekkah. Saat itu Nabi SAW diuji keteguhan imannya oleh Allah SWT dengan wafatnya istri tercinta, Khadijah, dan paman beliau, Abu Thalib, yang selalu membela perjuangan dakwahnya.

Tahun dukacita (‘amul khuzni) ini menandai betapa mentalitas Nabi SAW begitu kuat menerima segala macam cobaan, di samping permusuhan yang sangat sengit dan tiada henti dari kaum kafir Quraisy sehingga wajar jika kemudian Allah ”menghiburnya” dengan memperjalankannya menuju Sidratul Muntaha untuk beraudiensi langsung dengan-Nya.

Perjalanan dan prosesi Isra Mikraj sungguh sarat dengan tanda-tanda yang kaya dengan pesan-pesan mulia untuk umat manusia. Salah satu tujuan Allah memperjalankan Nabi SAW dalam prosesi Isra Mikraj adalah ”mendemonstrasikan” tandatanda kebesaran-Nya.

Allah SWT berfirman: ”Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan (demonstrasikan) tanda-tanda kebesaran Kami...” (QS al-Isra, ayat 1). Karena itu, peristiwa sakral ini sangat menarik dipahami dan dinarasikan dengan pendekatan semiotika karena dalam peristiwa ini terdapat aneka tanda yang sangat sarat dengan makna dan pesan kehidupan.

Isra dan Masjid Simbol Persatuan

Isra merupakan simbol perjalanan suci pada malam hari yang penuh keheningan dan kedalaman makna. Perjalanan ini dimulai dari Masjidilharam menuju Masjidilaqsa di Baitul Maqdis, Palestina. Secara semiotik, masjid melambangkan kesucian sekaligus persatuan. Pesan moral yang dapat dipetik dari perjalanan lintas masjid ini adalah pendakian spiritual menuju Tuhan itu harus dimulai dari penyucian hati dengan menjadikan masjid sebagai basis persatuan, pengabdian, dan perjuangan.

Masjid adalah pusat unifikasi, penyatuan, dan persatuan umat. Dari Masjidilharam Nabi SAW bertitik tolak menuju Sidratul Muntaha dengan ”transit” terlebih dahulu di Masjidilaqsa di Baitul Maqdis (Rumah Kesucian). Saat transit di Masjidilaqsa, Nabi SAW melaksanakan salat dua rakaat di dalamnya. Di masjid ini pula Nabi SAW dipertemukan dengan para nabi sebelumnya dan Nabi SAW didaulat menjadi imam salat bagi mereka.

Peristiwa ini melambangkan persatuan visi dan misi tauhid para nabi dan rasul dalam membebaskan umat manusia dari penjajahan akidah (syirik) menuju cahaya iman. Mengapa Masjidilaqsa menjadi ”titik temu” dan reuni para nabi dan rasul? Karena, di Baitul Maqdis inilah para nabi dan rasul pernah mendakwahkan agama Allah.

Sekurang-kurangnya Ibrahim AS, Musa AS, Sulaiman AS, dan Isa AS pernah menjadikan Baitul Maqdis sebagai tempat suci dan pusat penyatuan ibadah mereka. Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam bersumber dari sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan iman tauhid yang sama, dan berorientasi kepada persatuan dan kesatuan umat.

Jika asal-usul agama samawi (Abrahamic religions) itu satu, sejatinya perjalanan Isra merupakan simbol yang menunjukkan makna bahwa umat beragama itu mestinya bersaudara, tidak gampang berpecah belah, apalagi terlibat konflik dan perang saudara. Semua agama tersebut sama-sama menghormati kesucian tempat ibadah mereka.

Lambang-lambang kesucian itu ”dibingkai” dalam sebuah nama masjid: tempat bersujud, pusat sakralitas, dan kesucian hati. Hati yang suci, dari pemeluk agama mana pun, pasti memancarkan pemikiran yang jernih, sikap dan tindakan yang mulia, dan jauh dari kekerasan, anarkisme, konflik, apalagi peperangan. Kesucian masjid merupakan simbol persatuan dan perdamaian abadi.

Mikraj Simbol Pendakian Spiritual

Jika Isra melambangkan perjalanan horizontal, lintas masjid, lintas agama, lintas sosialbudaya, dan lintas peradaban, Mikraj dari Masjidilaqsa menuju Sidratul Muntaha (puncak spiritualitas) menunjukkan tanda perjalanan vertikal, perjalanan mendaki, lintas langit, lintas planet, lintas alam menuju sebuah puncak transendensi dan spiritualitas kehidupan.

Di Sidratul Muntaha inilah Nabi SAW secara langsung bertemu, beraudiensi, berdialog, dan ”bercengkerama” dengan Sang Kekasih-Nya, Allah SWT. Menarik digarisbawahi bahwa sebelum melakukan perjalanan vertikal, setelah keluar dari Masjidilaqsa, Nabi SAW diuji ”fit and proper test” oleh malaikat Jibril. Beliau disodori dua gelas, masing-masing berisi khamr (miras, narkoba, dan sejenisnya) dan susu, lalu diminta memilih salah satu dari keduanya.

Nabi SAW memilih gelas yang berisi susu. Jibril kemudian menyatakan: ”Engkau memilih fitrah”. Artinya, Nabi SAW memilih kesucian, kesehatan, kebaikan, dan kemuliaan karena susu itu simbol minuman terbaik untuk kesehatan, kebaikan, dan kemuliaan perilaku peminumnya. Sebaliknya, khamr merupakan lambang keburukan dan kejahatan.

Dengan kata lain, sebelum Mikraj atau sebelum menemui Tuhan, manusia harus memilih fitrahnya sebagai makhluk yang cenderung menyukai kesucian, kebaikan, kesehatan, dan kemuliaan, bukan memilih kotoran (karena khamr itu najis), keburukan, dan kejahatan sebab menurut sabda Nabi SAW: ”Khamr itu biang kerok segala keburukan, kekejian, dan kejahatan” (HR ad-Daruqutni).

Dalam Mikraj menuju Sidratul Muntaha, Nabi SAW dipertemukan dengan Adam AS di langit pertama, Isa bin Maryam AS di langit kedua, Yusuf AS di langit ketiga, Idris AS di langit keempat, Harun AS di langit kelima, Musa AS di langit keenam, dan Ibrahim AS di langit ketujuh. Semua Nabi menyambut baik ”visitasi” Muhammad SAW dan mendoakan kebaikan baginya dan bagi umatnya (HR al- Bukhari).

Untuk mencapai martabat yang tinggi, Nabi SAW diajak ”silaturahmi” dengan para nabi untuk mendapat suntikan mental spiritual yang meneguhkan imannya. ”Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (QS Maryam, ayat 57). Prosesi pendakian spiritual Mikraj itu menunjukkan pentingnya ”silaturahmi spiritual” dengan para nabi senior dan doa kebaikan agar memperoleh pencerahan dan dukungan moral dalam rangka mencapai puncak ”kenikmatan spiritual” bertemu Tuhan.

Dalam pertemuannya di Sidratul Muntaha, Nabi SAW mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk melaksanakan salat lima waktu. Perintah salat yang diterima langsung di Sidratul Muntaha itu menunjukkan betapatinggi danmulianya salatsehingga ia berfungsi sebagai tiang agama (HR at-Turmudzi, an- Nasa’i, Ahmad, Baihaqi, Ibn Majah, dan at-Thabarani). Di akhiratkelak, yangpalingpertamadiperhitungkan (dihisab) oleh Allah adalah salat.

Karena itu, salat menjadi barometer baik dan tidak kinerja seorang muslim. Jika salat yang dikerjakannya baik (ikhlas, khusyuk, dan bermakna), niscaya semua kinerjanya baik. Sebaliknya, jika salatnya buruk, semua kinerjanya juga buruk (HR at-Turmudzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, dan at-Thabarani). Salat sebagai tiang agama (‘imaduddin) melambangkan bahwa keberislaman seseorang itu akan runtuh jika tidak menegakkan salat. Sebab itu, salat harus efektif dan fungsional.

Salat yang efektif dan fungsional adalah salat yang sukses mengantarkan mushalli (orang yang salat) untuk menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-‘Ankabut, ayat 45), termasuk korupsi dan prostitusi. Dengan demikian, puncak pendakian seorang muslim melalui salat itu harus membuat hidup sukses dengan tidak melakukan perbuatan tercela, menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan, kejahatan kemanusiaan, dan kebobrokan moral.

Sebagai mikraj al-mukmin,salat idealnya merupakan simbolisasi peningkatan harkat dan martabat mushalli sehingga ia tampil menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sebaliknya, menjadi orang yang mudah tergoda dengan tipu daya urusan duniawi.

Jalan pendakian spiritual melalui salat juga semestinya dapat memberi relaksasi dan stabilisasi ketenangan jiwa mushalli sehingga melalui Isra Mikraj ini sejatinya kita semua dididik untuk selalu menyucikan diri dengan menghiasi hati, pikiran, dan perbuatan dengan keluhuran moral, kecerdasan intelektual, kesalehan sosial, dan rasa kemanusiaan yang universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar