Senin, 11 Mei 2015

Selera Bangsa

Selera Bangsa

Garin Nugroho  ;  Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 10 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang sahabat yang lulus arsitektur terbaik dari sebuah universitas terkemuka, tiba-tiba merasa gagal dengan pencapaian akademiknya. Hasrat pendidikan tingginya tiba-tiba tenggelam menghadapi ruang publik arsitektur di ruang-ruang kota Indonesia. Demikian juga, seorang pendidik yang berfokus pada karakter bangsa, merasa persemaian pendidikan karakter berbangsa mengalami kemerosotan terbesar karena melihat program-program televisi sebagai ruang publik pendidikan terbesar Indonesia.

Catatan kecil di atas menarik untuk mendapat catatan tersendiri, berkait dengan hasrat selera estetik bangsa, terepresentasi di berbagai ruang publik sehari-hari dalam kaitannya dengan beragam hasrat yang begitu gencar didorong bertumbuh, sebutlah hasrat pendidikan, hasrat politik, hasrat religi, dan lainnya.

Celakanya, ketika berkait dengan hasrat selera estetik, kecenderungan terbesar justru menurunkan kualitas untuk mengikuti selera bangsa yang semakin rendah. Contoh konkret adalah program televisi hingga ruang publik kota yang dipenuhi ruang konsumtif dan sampah visual iklan. Bisa diduga, terjadi paradoks besar antara hasrat selera artistik berbangsa yang semakin dangkal dan vulgar dengan beragam hasrat lainnya (pendidikan, teknologi, politik).

Haruslah dicatat, hasrat selera artistik sesungguhnya adalah gabungan kompleks dari hasrat politik, hasrat religiusitas, hasrat teknologi hingga sains. Alhasil, sering tidak disadari bahwa merosotnya hasrat selera artistik bangsa pada tingkat yang paling vulgar dan dangkal membawa warga bangsa pada kemerosotan daya hidup beragam hasrat lainnya. Contoh konkret adalah frustrasinya seorang arsitek terkemuka karena tidak lagi mendapatkan ruang publik bagi karya-karya arsitekturnya yang memberi ruang pada beragam dimensi manusia: dimensi gerak tubuh manusia, dimensi bunyi, hingga dimensi tanda visual dari sistem budaya.

Pada gilirannya, hasrat selera artistik di negeri ini, khususnya di ruang publik sehari-hari seperti layaknya kapal rapuh dan bocor yang akan tenggelam, ironisnya kapal ini memuat dan menjadi ruang tumbuh beragam hasrat lainnya (teknologi, sains, hingga politik dan religiusitas), bisa diduga beragam hasrat yang dibutuhkan bangsa ini tenggelam bersama dalam merosotnya hasrat selera estetik bangsa yang semakin dangkal dan vulgar.

Kegelisahan saya tentang merosotnya hasrat selera berbangsa ini mengingatkan perjalanan haji lima belas tahun yang lalu yang selalu dipenuhi diskusi di setiap malamnya. Yang justru paling menarik adalah kenyataan bahwa seluruh kandungan isi Al Quran, baik itu religiusitas, moral, hingga sains dihidupkan oleh hasrat selera artistik dalam seni bertutur hingga seni kaligrafinya, menjadikannya sebagai kitab terindah serta teragung dunia.

Demikian juga, ketika harus membuka kembali buku proses sejarah berbangsa karena harus membuat film Soegija, Tjokroaminoto hingga seri Bapak Bangsa (Syahrir, Hatta, Soekarno), maka terbaca bahwa Pancasila mampu terlahir di negeri ini karena di balik proses perumusan Pancasila terdapat politikus-politikus yang budayawan, politikus yang memiliki hasrat selera artistik yang membawa pada sensitivitas perasaan-perasaan terkecil kemanusiaan.

Bahkan, ketika kita berjalan-jalan di ruang publik di negeri-negeri yang semakin bertumbuh maju, sebutlah Singapura, maka hasrat selera estetik di ruang publik menjadi prasyarat pertumbuhan modernitas baru. Simak bertumbuhnya beragam galeri, panggung-panggung teater, hingga ruang publik sains dan teknologi. Alhasil hasrat-hasrat lainnya mendapatkan ruang tumbuhnya.

Bisa diduga, sekiranya keseluruhan hasrat selera estetik berbangsa tidak ditumbuhkan, tetapi dibiarkan mengikuti hasrat vulgar, dangkal, serta hilangnya daya hidup kritis, maka bisa dipastikan mundurnya peradaban bangsa ini.

Hasrat selera berbangsa tidak bisa bertumbuh dalam pembiaran, seperti hasrat lainnya harus ditumbuhkan dalam kerja strategi budaya, baik lewat proses pendidikan dalam etos kerja keras menumbuhkan bangunan pasar selera yang kritis maupun kebijakan politik yang berbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar