Atheis
Goenawan Mohammad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO, 11 Mei 2015
Seorang germo, atau sesuatu yang muncul
sebagai germo, tapi berpakaian seperti Kolonel Sanders Kentucky Fried
Chicken, bertanya tentang Tuhan. "Bagaimana rupa Tuhan? Dan apa yang
dikerjakannya?"
Dalam Kafka
on the Shore (Umibe no Kafuka),
novel Haruki Murakami, kolonel fiktif itu mengajak Hoshino dari tempat
persetubuhan ke tepi hutan. Di situlah ia tiba-tiba mengajukan pertanyaan
itu. Hoshino bingung sejenak, lalu menjawab, "Jangan tanya saya. Tuhan
ya Tuhan. Ia di mana-mana, mengawasi apa yang kita lakukan, menilai apakah
itu baik atau buruk."
"Kedengarannya seperti wasit sepak
bola."
"Ya begitu kira-kira."
Kolonel Sanders yang bukan Kolonel Sanders itu
tampak tak yakin persamaan dengan wasit sepak bola itu tepat, tapi ia bisa
mengerti. Baginya, Tuhan tak terlepas dari imajinasi manusia. "Tuhan
selamanya semacam konsep yang luwes," katanya. Terutama di Jepang.
Tapi bukan hanya di Jepang. Ketika John Lennon
bernyanyi, "God is a concept by
which we measure our pain," ia agaknya melihat dari zaman ke zaman
manusia merasakan kepedihan dan menyeru ke sesuatu yang dianggap sebuah daya
yang dahsyat. Tergantung bagaimana keadaan jiwa si penderita, kekuatan itu
jadi Sang Pelipur Lara, atau Sang Pengutuk, atau Sang Penguji.
Mungkin itu sebabnya Tuhan yang disebut dengan
pelbagai nama-tapi tak pernah dipahami-tak mati-mati. Juga ketika orang
berikhtiar membunuhnya (atau "membunuh-Nya").
Delapan tahun setelah Partai Komunis berkuasa
di Rusia, pada 1925 sebuah organisasi dibentuk dengan nama yang disingkat
jadi "Liga Atheis Militan".
Stalin menugasinya "menyerbu
langit". Sejarawan Daniel Peris menggunakan kata itu buat judul bukunya,
Storming the Heavens: The Soviet League
of the Militant Godless (1998). Dengan memaparkan sejarah "Liga
Atheis Militan" dalam delapan bab, Peris menunjukkan bagaimana atheisme
bermula dari keyakinan segelintir orang dan berakhir jadi sebuah tong besar
yang bocor. Mirip agama, sebenarnya.
Sikap menolak Tuhan itu mula-mula dirumuskan
dua-tiga orang pemikir seperti Marx dan Lenin. Ketika Marxisme-Leninisme
berkuasa, ide atheisme berkembang di surat kabar Bezbozhnik. Kemudian, karena
dukungan penguasa di Kremlin, dalam sedasawarsa ia jadi gerakan yang mengaku
beranggota 5,5 juta -- dua juta lebih banyak ketimbang anggota Partai.
Dengan semangat misionaris, "Liga Atheis
Militan" menerbitkan koran dan majalah, membuat film, mengorganisasi
pawai, dan mendirikan museum anti-agama di bekas-bekas gereja. Kompetisi
diadakan antara anak-anak yang dibaptis dan yang tak dibaptis. Pameran
pertanian diselenggarakan untuk membuktikan unggulnya "ladang tak
bertuhan". Wilayah pertanian yang mengembangkan tanaman dengan kaidah
ilmu ditunjukkan lebih produktif ketimbang tanah yang diolah dengan iringan
doa. "Brigade tak-bertuhan" dan "pabrik tak-bertuhan" pun
muncul di mana-mana.
Tapi atheisme di masa Stalin akhirnya mirip
agama yang didukung kekuasaan: sebuah keyakinan yang dipaksakan. Seorang
penulis komunis yang skeptis menyaksikan perilaku para penyerbu langit itu
dan mencemooh mereka sebagai umat "sekte atheis". Liga, katanya,
"Mengadopsi semua ciri buruk lawannya dalam hal intoleransi dan
fanatisme."
Akhirnya, mirip agama yang riuh rendah,
atheisme terpimpin itu jadi sebuah tong kosong yang nyaring bunyinya, atau
lebih tepat: sebuah ukhuwah yang bocor. Ketika Ketua Liga, Yarovskii,
mengatakan semua kota dan desa mengaku "atheis", ia juga tahu ada
kalanya pengakuan itu "cuma lelucon". Mereka yang menyatakan diri
tak beriman, karena ingin selamat, menyembunyikan Tuhan di lubuk hati. Pada
1928, Menteri Pendidikan Lunacharskii mengakui: "Agama itu seperti paku,
makin dipukul, makin tertanam di kayu."
Lunacharskii, pengikut Lenin yang akrab dengan
seni dan sastra, mungkin membaca banyak tentang sebuah revolusi dua abad
sebelumnya: Revolusi Prancis. Kaum revolusioner di akhir abad ke-18 itu juga
memusuhi agama. Mereka mengumumkan rumah ibadat yang tak diubah jadi sekolah
akan dihancurkan. Katedral Notre Dame diganti namanya jadi "Kuil Akal
Budi". Akhirnya semua gereja di Paris ditutup.
Tapi rakyat banyak tak hendak mengikuti semua
itu. Pemimpin Revolusi mulai menyadari kesalahan yang terjadi. Robespierre
mengakui, atheisme itu "aristokratik", bukan demokratik. Mendengar
suara rakyat, Robespierre tak berniat mematikan agama. Maka ia rayakan sebuah
"pemujaan", le culte de
l'Être suprême, di hadapan 10 ribu penduduk Paris, dengan kereta yang
ditarik lembu putih dan sebuah patung Atheisme yang didirikan untuk dibakar.
Tapi tak jelas, adakah Tuhan yang lama diakui
kembali. Mungkin akhirnya orang Jepang atau Prancis atau Indonesia tahu Tuhan
tak untuk diakui. Juga tak untuk ditolak. Juga tak untuk diperbantahkan.
Manusia berisik karena ingin mengerti dirinya dan dunia dan butuh percakapan.
Dalam novel Murakami kita akan menemukan Hoshino -- tinggal berdua dengan
jenazah Nakata yang tua --akhirnya berbicara kepada batu di rumah itu.
Malam itu semua tanpa bunyi, kecuali erang AC
yang dihidupkan penuh di rumah sebelah. Jam menunjukkan angka sembilan, lalu
sepuluh, tapi tak terjadi apa-apa. Hoshino ingin tidur dan ia pikir lebih
baik tidur di dekat batu, siapa tahu ada sesuatu yang terjadi.
"Hai, batu! Aku mau tidur sekarang. Kita
ngobrol besok saja."
Hoshino mendengarkan suaranya sendiri. Batu
itu diam. Mungkinkah esok pagi, atau kelak, ia akan menemukan sesuatu yang
berbeda untuk mengadu, meskipun tetap tak disahut, misalnya Tuhan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar