Sabtu, 16 Mei 2015

Mikraj dan Agama Arak-Arakan

Mikraj dan Agama Arak-Arakan

Asep Salahudin  ;  Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Provinsi Jawa Barat
MEDIA INDONESIA, 15 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MISALKAN kita hidup di zaman jahiliah prakenabian, tentu ada banyak ritus yang akan dilakukan. Salah satunya, arak-arakan menuju Tuhan latta, memanggul uzza, dan mengibarkan manat. Meminta keberkahan dengan darah dan air mata, sambil mengorbankan anak-anak dan menistakan kaum perempuan. Setelah ritual itu dilakukan secara saksama, maka merayakan peperangan antarsuku (safak ad-dima’) seolah menjadi satu keharusan. Membela puak dianggap sebagai sebuah kehormatan, kemuliaan, dan keagungan. Setelah itu, kebencian terus beranak pinak. Yang kalah menyusun siasat, yang menang tidak henti menebar teror dan ketakutan.

Kekerasan menjadi bagian integral dari tradisi jahiliah yang tidak dapat dipisahkan dari politik hariannya. Peperangan yang acap kali juga dipicu oleh perebutan lahan ekonomi, gengsi etnisitas, perburuan pengaruh di tengah kabilah, dan atau ihwal perempuan yang diperebutkan untuk dijadikan selir yang kesekian kalinya.

Harkat manusia tidak diletakkan di atas tindakan keutamaan, tapi keberanian fisik serta militansi mempertahankan egoisme dan egosentrisme. Keunggulan sebuah etnik bukan berdasarkan prestasi yang dilakukannya, melainkan semata karena trah keturunan. Kemuliaan bukan karena concern atas persoalan sosial kemasyarakatan, melainkan seberapa hebat kita menyebarkan paham sektarian, seberapa kukuh kita dapat bersikap partisan, dan terus memberikan kontribusi untuk kepentingan sempit kelompok dan kaumnya.

Interupsi mikraj

Dalam atmosfer yang gandrung akan kekerasan seperti inilah Muhammad SAW diturunkan. Dalam penggalan risalahnya pada awalawal karier kenabiannya, beliau dimirajkan menuju langit ketujuh untuk meraih pencerahan. Oleh-oleh dari peristiwa spiritual mikraj itu tidak lain ialah kebaktian salat lima waktu sehari semalam.

Salat bukan sekadar bagaimana kita membangun dialog yang intim secara vertikal dengan Sang Kuasa, melainkan dalam visi Alquran, salat yang benar itu manakala mampu menjadi modal sosial untuk membangun tata kelola kehidupan yang terbebas dari tindakan politik negatif, perbuatan munkar, dan perangai barbarian. Innash shalata tanha ‘anil fahsya wal-munkar.

Salat menjadi lambang bagaimana kita mampu mencungkil sikap pongah dari diri dan lingkungan sekitar lewat deklarasi ungkapan takbir Allahu Akbar sebagai pembuka salat, sekaligus tekad untuk tidak pernah lelah menebarkan damai kasih kepada sekeliling, seperti disimbolisasikan pada penghujung sembahyang lewat ungkapan salam ke sebelah kiri dan kanan. Kata Muhammad SAW, “Sebarkan salam di antara kalian”. Bahkan, kalau kita perhatikan agama yang dibawanya tidak dinamainya dengan menisbatkan kepada dirinya atau tempat kelahirannya, tapi pada jantung agama itu, yakni kepasrahan (islam) sekaligus peran sosialnya, selamat (salam).

Hakikat risalah

Muhammad SAW datang untuk mempromosikan hakikat ‘keberanian’ (syajaah), hidup dalam damai (salamah), mengapresiasi keragaman dengan lapang (tasamuh) dan membangun kohesivitas sosial yang diacukan pada semangat kebersamaan dan spirit saling membantu dalam kebaikan (ta’awun), menyampaikan pentingnya ruang publik dibangun di atas haluan keadilan (al-adalah), egalitarianisme (al-musawah), saling menasihati (tawashi dan tanahi), saling mengajar (ta’alum), percampuran (tazawuj), dan saling berteman (tashaduq dan ta’anus).

Dalam mempromosikan tawaran hidup penuh adab itu, Muhammad SAW melakukannya dengan penuh kesantunan lewat kepemimpinan yang dijangkarkan pada semangat keteladanan, pada satunya kata dengan perbuatan. Sebagaimana terpantul dari karakter individu yang melekat dalam dirinya, yakni kejujuran, transparansi, amanah, dan kecerdasan.

`Revolusi sosial' yang dilakukannya menjadi berhasil karena dimulai sejak awal oleh revolusi mental secara masif, terpadu, dan sistema tis. Akhlak dijadikan poros utama dalam tata kelola pemerintahannya.

Dikatakannya, “Jujurlah, karena kejujuran pintu kebaikan dan kebaikan pintu surga.” Disuruhnya seorang yang hendak mempelajari risalah Tuhan, hanya satu perintah, “Jangan dusta!” Di atas haluan akhlak yang luhur, keragaman dijunjung tinggi. Manusia tidak dibedakan berdasarkan ketidaksamaan keyakinan, etnik bahasa, dan keturunan, tapi justru dibiarkan terjadi kontestasi sosial berlandaskan kerja (amal), keutamaan (takwa) dan etos hospitalitas (kedermawanan).

Maka menjadi sangat maklum kalau senarai hikayat yang datang kepada kita, potret Muhammad SAW yang pertama kali membesuk Yahudi yang justru tiap hari kerjanya mencederai dan meludahi Nabi. Gambaran orang yang menampik tawaran malaikat untuk menghancurkan kaum yang telah menerornya. Atau –dalam konteks keluarga— orang besar ini yang masih menjahit bajunya sendiri ketika sobek, tidak berani mengetuk malam-malam rumahnya saat istrinya ditemukan tertidur pulas, dan pilihan hidupnya yang sederhana sampai rumahnya menyatu dengan masjid dan setiap saat terbuka menerima pengaduan dari masyarakat yang haknya terampas, dari aspirasi rakyat yang belum tersalurkan, atau dari sebuah harapan masa depan yang mesti didiskusikan dengan sang Nabi.

Muhammad SAW yang bukan hanya hadir sebagai Nabi, namun juga menjadi pertanda hidup yang luhur dan memberikan derajat keluhuran bagi semesta dan kemanusiaan. Dia Menjadi inspirasi bagaimana negara dikelola dengan benar dan agama dihadirkan ke tengah publik dalam maknanya yang substansial. Disebutkannya bahwa ad-din huwa annishat, yakni agama itu ialah nasihat agar kita dapat hidup dengan baik dan tertib. Dinobatkannya bahwa beragama itu jangan sampai membuat kita emosional dan kehilangan akal sehat. Agama sebanding dengan daulat akal dan pemuliaan terhadap pikiran. Ad-dinu huwal aqlu.

Agama yang gaduh

Hari ini abad 21 justru yang kita temukan ialah keberagaman yang telah kehilangan etika personal dan sekaligus etika sosial. Telah kehilangan keteladanan dan kehilangan spirit mikraj. Zaman yang melam bangkan punahnya penghargaan terhadap nalar.

Beragama menjadi identik dengan ‘hura-hura’. Religiositas diturunkan maknanya menjadi arak-arakan mengibarkan bendera, menghunus pedang dan pentungan, serta mengepalkan tangan sambil berteriak-teriak memanggil nama Tuhan. Agama menjadi sangat ‘komunal’ dan kehilangan sisi penghayatan intim yang berwatak individual serta menghangatkan.

Agama yang sangat ramai dengan khotbah dan pekik fatwa, tetapi lupa bagaimana nilai-nilai agama itu diinternalisasikan dalam basis kesadaran, dihunjamkan menjadi sebuah keinsafan yang menukik dalam palung hati yang paling dalam.

Agama hari ini tampaknya lebih tertarik berjubahkan ‘politik’, sehingga yang namanya ‘identitas’ menjadi dianggap paling penting. Agama yang sudah bermetamorfosis menjadi politik, pada akhirnya tidak bisa dibedakan lagi dengan ‘partai politik’. Umat dan jemaah pun menjadi sebangun dengan kader partai. Bahkan, bisa jadi pimpinan agama merangkap aktivis partai. Pengajian tak ubahnya kampanye.

Maka tidak mengherankan tak ubahnya partai politik agama menjadi begitu sangat membutuhkan tim sukses, memerlukan mikrofon untuk melipatgandakan suara, menghajatkan spanduk, baliho, dan buku saku untuk mempercepat agama itu dapat ‘dijual’ di tengah konstituen di ‘pasar gelap’ demokrasi yang belum matang. Kalau perlu disimpulkan bahwa memperjuangkan partai anu sama dengan berjuang untuk agama.

Peristiwa bersejarah Mikraj pada 27 Rajab yang bertepatan dengan 16 Mei 2015, seharusnya mengingatkan kita bahwa rute beragama yang benar mensyaratkan kita untuk tidak pernah lelah berupaya ‘memirajkan’ kualitas rohaniah kita, menaikkan makna sembahyang bukan hanya secara personal, melaimn juga memiliki dampak sosial bagi upaya penciptaan ruang kehidupan yang utama.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar