Partai
Berkonflik
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KORAN SINDO, 22 Mei 2015
Pesta
demokrasi di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan
wali kota secara serentak dilakukan pada Desember 2015. Tetapi, melihat
kesiapan partai politik (parpol), terutama parpol yang sedang berkonflik,
akan menghadapi tantangan. Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) mendapat warning dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera
menyelesaikan konflik internalnya.
Dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) secara tegas menyatakan tidak
mengikutkan parpol dalam pilkada yang memiliki kepengurusan ganda dan sedang
beperkara di pengadilan. Parpol yang boleh mendaftar pasangan calon kepala
daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) pada 26-28 Juli 2015 adalah yang
disahkan susunan pengurusnya oleh menteri hukum dan hak asasi manusia
(menkumham).
Bagi
parpol yang sedang berseteru di pengadilan harus memenuhi salah satu dari dua
syarat legalitas. Pertama , parpol yang menang sesuai putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht)
kemudian secara administratif disahkan kepengurusannya oleh menteri hukum dan
HAM (menkumham).
Kedua,
melakukan perdamaian atau islah dan secara bersama membentuk satu
kepengurusan. Akta perdamaian dan susunan pengurus disampaikan ke pengadilan
untuk menghentikan sengketanya, dan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk
disahkan. Batas waktu penyelesaian konflik sebelum waktu pendaftaran pasangan
calon.
Revisi Undang-Undang
Tetapi,
ada gagasan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar surat dukungan kepada bakal
pasangan calon kepala daerah ditandatangani oleh dua kubu sekaligus. Bagi
Partai Golkar ditandatangani oleh Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono.
Begitu juga dengan PPP, surat pengusulan pasangan calon ditandatangani Djan
Faridz dan Romahurmuziy.
Namun,
usulan itu dianggap oleh elite Partai Golkar kubu ARB tidak memungkinkan
direalisasi lantaran tidak diatur dalam UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU
Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada)
dan Peraturan KPU. Sebetulnya usulan itu cukup realistis di tengah berburu
waktu tahapan pilkada agar parpol yang sedang berproses di pengadilan bisa
ikut pilkada.
Tetapi,
karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta (18/5/ 2015) mengabulkan
sebagian gugatan ARB, usulan agar dua kubu bertanda tangan tidak lagi
relevan. SK menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono dinyatakan
dicabut karena bertentangan dengan undang-undang.
Hakim
PTUN juga menyatakan, untuk menghindari kevakuman hukum, DPP Golkar yang sah
dan menjalankan kinerja DPP Golkar adalah hasil Munas Riau 2009. Rupanya
hakim melakukan penafsiran ekstensif meskipun dianggap sebagai ultra-petita
karena tidak diminta pemohon, tetapi hal itu bisa disebut terobosan hakim
untuk mengisi kekosongan hukum.
Hak
Partai Golkar mengikuti pemilihan kepala daerah tetap dihargai dengan
mengembalikan kepengurusan pada hasil Munas Riau lantaran kepengurusan ARB
dan Agung Laksono belum ada yang sah secara hukum. Gagasan lain yang berembus
kencang di Senayan adalah revisi UU Pilkada dan UU Nomor 2/2011 tentang
Partai Politik agar dua parpol bisa mengikuti pilkada.
Hasil
revisi nanti menjadi payung hukum bagi KPU untuk mengubah PKPU mengenai
syarat pendaftaran pasangan calon bagi parpol yang bersengketa. Nomenklatur
yang digagas, apabila sampai pada batas waktu pencalonan belum ada satu
kepengurusan yang dinyatakan menang dengan putusan pengadilan inkracht,
putusan terakhir pengadilan yang dijadikan dasar pengajuan pasangan calon
meskipun ada yang melakukan upaya hukum.
Tetapi,
gagasan itu bukan hanya mendapat penolakan sebagian besar fraksi di DPR,
malah Presiden Jokowi juga tidak setuju dilakukan revisi. Apalagi pelaksanaan
pilkada serentak yang didesain begitu baik bisa terbengkalai. Jangan sampai
polemik revisi berujung pada penundaan pilkada serentak gelombang pertama.
Mendagri juga memastikan 269 daerah provinsi dan kabupaten/kota sudah siap
menggelar pilkada serentak.
Maka
itu, jalan terhormat bagi parpol yang bersengketa adalah melakukan musyawarah
dan perdamaian. Mendahulukan kepentingan yang lebih besar jauh lebih
berharga, apalagi kepengurusan parpol di daerah tidak ada masalah. Mereka
terseret konflik akibat perebutan kekuasaan elite pusat.
Meskipun
kubu Agung Laksono punya hak melakukan banding ke PT-TUN, akan lebih berharga
jika kubu Agung Laksono menerima tawaran kubu ARB untuk bersatu kembali.
Memang butuh ”sikap bijak dan negarawan” dengan memikirkan nasib kader yang
ada di daerah. Jangan hanya mementingkan diri sendiri, tetapi pada sisi lain
mematikan karier politik kader di daerah yang hendak mengajukan diri menjadi
calon kepala daerah.
Berebut Layangan Putus
Sekiranya
KPU konsisten dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
sampai 26 Juli 2015, atau tidak ada islah dengan membentuk satu kepengurusan
baru, berarti Partai Golkar dan PPP tidak ikut pilkada. Padahal, rakyat
berharap pilkada serentak gelombang pertama membawa paradigma baru dalam
memilih pemimpin daerah.
Sebab
lazimnya pesta demokrasi yang tergolong akbar, ujian yang paling krusial
terletak pada penyelenggaraan gelombang pertama. Apabila gelombang pertama
berjalan lancar, sukses, dan demokratis, akan menjadi preseden pada penyelenggaraan
berikutnya.
Melihat
kondisi Partai Golkar dan PPP yang tidak ada tanda- tanda untuk islah
meskipun putusan PTUN sudah mengabulkan gugatannya, perlu menyimak ungkapan
Karyudi Sutajah Putra (Suara Merdeka, (24/4/2015) dengan mengibaratkan ”berebut
layang-layang putus”. Ada kebiasaan anakanak saat berebut layang-layang
putus.
Apabila
ada salah seorang yang berhasil mendapatkan layang-layang itu, yang lain akan
merobeknya agar tidak ada yang memanfaatkan layang- layang itu. Hanya karena
kepentingan kekuasaan sekelompok elite di pusat, kepentingan yang lebih besar
di daerah hancur berantakan. Pepatah klasik yang juga sering dijadikan
instrumen pengingat bagi kelompok-kelompok yang senang berseteru adalah
”kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Meskipun
salah satu pihak menang di pengadilan, belum tentu persoalan mendasar akan
selesai. Boleh jadi kader yang merasa kalah akan menggembosi pihak yang
menang dalam pilkada. Tanpa bermaksud mendramatisir persoalan, tentu kita
meyakini akan ada solusi terhormat dari Partai Golkar dan PPP.
Bagaimanapun
rakyat yang akan dirugikan kalau keduanya tidak ikut pilkada sebab boleh jadi
calon yang diajukan itu justru yang terbaik bagi rakyat. Semua potensi
konflik menjelang pilkada serentak harus dituntaskan sebab boleh jadi putusan
inkracht tidak keluar sebelum pendaftaran calon.
Apalagi
ada realitas perpolitikan di negeri ini, jika salah satu pihak kalah dalam
pertarungan, baik dalam pemilihan maupun pada proses hukum, lebih banyak yang
tidak legawa menerima kekalahan. Maka itu, KPU harus tetap konsisten
menjalankan peraturan perundangundangan seperti yang diperlihatkan selama
ini. Apakah putusan PTUN yang menyatakan kepengurusan Partai Golkar hasil
Munas Riau yang berhak mengikuti pilkada?
Tentu
sangat bergantung pada penafsiran KPU memaknai putusan itu, apakah
berseberangan dengan Peraturan KPU atau tidak. Rakyat hanya berharap agar
semua energi yang ada seyogianya dipakai untuk menyukseskan pilkada serentak.
Termasuk menemukan solusi persoalan anggaran pilkada yang tidak semua daerah
punya kemampuan sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar