Lakon
Sesat
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS, 09 Mei 2015
Anda pernah menonton
sandiwara, semisal pertunjukan Teater Koma? Apakah Anda merasa ada bagian
tertentu yang ditonjolkan secara berlebihan?
Drama menggambarkan
kehidupan dengan fokus pada aspek tertentu. Kita tahu maksudnya adalah untuk
menegaskan alur cerita, tokoh, situasi, atau suasana dunia lakon, bukan untuk
menyesatkan penonton.
Tokoh karismatik akan
beraksi penuh wibawa. Gayanya gagah ketika bermonolog atau berdialog, dagu
terangkat, suaranya berat lembut sehingga penonton mendapatkan karakter penuh
pesona. Tokoh pejabat korup yang sok saleh, gaya monolognya sering ditingkah
tawa jemawa; saat berdialog dengan massa gemar istigfar, bahkan menangis
sesenggukan di muka wartawan.
Itulah tontonan di
panggung teater. Anda dan saya menonton para aktor dan aktris yang beraksi
menurut arahan sutradara.
Kini, bisakah Anda
ingkari bahwa di Republik ini banyak aktor-aktris dalam lakon sesat? Lakon
itu, dengan sukacita atau terpaksa, kita sepakati dan mainkan bersama akibat
kelemahan sistem hukum dan moral. Lakon yang mengundang bencana kebodohan
kolektif dan berujung kehancuran dengan sutradara lebih dari seorang. Mereka
yang paham konteks akan bersoal perihal jati diri para dalang.
Dalam Notre-Dame de
Paris adikarya Victor Hugo, raksasa sastra Perancis, ditampilkan sosok dalang
Claude Frollo, wakil uskup. Gaya hidupnya yang kaku dan menyangkal gairah
berahi duniawi telah menciptakan citra diri suci di mata umum.
Tiada yang menyangka,
sang wakil uskup berwatak keji. Sejak tersihir pesona La Esmeralda si gadis
Gipsy, moralnya merepih. Imannya kewalahan melawan keindahan si Bunga Lily,
perawan suci dari dunia gelandangan.
Tak mau mengakui
kelemahan kodrati yang melekat pada dirinya, Frollo ambil jalan kejam:
melenyapkan La Esmeralda, biang keladi pengacau iman. Ia memperalat Jacques
Charmolue, pengacara raja di pengadilan gereja, untuk mencari-cari kesalahan
si penari jalanan. Tiada beda lagi antara kesucian moralitas dan kebusukan
dalih palsu sang biarawan.
Suatu malam, Frollo
menikam lelaki yang tengah merayu gadis itu di kamar losmen. La Esmeralda,
yang pingsan karena kaget, tiba-tiba jadi tersangka. Jalan hidup gadis 15
tahun itu mendadak kelam. Dakwaannya berat: pembunuh dan penyihir.
Masyarakat yang semula
memandang La Esmeralda sebagai matahari jalanan kota Paris ikut mencemooh.
Dia yang datang dari kaum gembel memang rentan fitnah dan ketidakadilan.
Gambaran sekarang
Pernyataan sang
narator cerita seperti menyindir kita: ”keadilan pada zaman itu tak banyak
menaruh perhatian pada klarifikasi dan akurasi dalam proses persidangan.”
Raja Louis XI, sonder periksa, menjatuhkan vonis mati atas La Esmeralda.
Cerita tamat dengan
kematian si gadis suci di tiang gantungan. Sang dalang, Wakil Uskup Frollo,
selamat, tetapi pengarang tak rela. Dia dibunuh Quasimodo, si bungkuk yang
tahu kejahatan ayah angkatnya itu.
Lakon bangsa kita
lebih buruk daripada cerita itu. Warga Paris abad pertengahan tidak punya
akses untuk memahami intrik-intrik kekuasaan di gereja dan istana. Mereka
membebek ke mana telunjuk penguasa diarahkan. Keadaan kita tidak senaif itu.
Namun, informasi dan transparansi nyaris tak berguna karena elite politik berduyun-duyun
ikut narasi dalang, sementara rakyat sekadar aktor tanpa wajah.
Di tengah gerakan
bangsa melawan korupsi, para dalang dengan kepentingan masing-masing
berkomplot melumpuhkan hamba-hamba hukum yang jujur. Masyarakat gelisah
merasakan kejanggalan perilaku penegak hukum yang jemawa.
Dalih ”demi hukum dan
konstitusi”, ”menghindari pencemaran nama baik”, ”sesuai prosedur hukum”,
”tiada intervensi terhadap lembaga hukum” sekilas tampak netral, tertib, dan
positif. Padahal, semua itu membuat kita kerdil, terpasung, dan ikut
memainkan lakon sesat.
Dalam lakon ini,
bukankah konstatasi-konstatasi itu jadi aspek yang ditonjolkan secara
berlebihan sehingga terjadi digresi cerita berkepanjangan?
Perlu ada dekonstruksi
pemaknaan atas frase-frase normatif yang rentan manipulasi itu karena, tak
mustahil, malah jadi dinding pelindung ruang gelap tempat aparat korup
mendalang. Tanpa terobosan hukum, presiden pun tak berdaya.
Mari kita sudahi lakon
ini. Saatnya para dalang dituntut pertanggungjawaban-nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar