Minggu, 10 Mei 2015

Semiotik Suara Peringatan Megawati

Semiotik Suara Peringatan Megawati

Stanislaus Sandarupa  ;  Dosen Antropolinguistik
pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin
KOMPAS, 09 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada persoalan tersisa dari Kongres IV PDIP di Bali, April 2015, menyangkut pemberian salam dan identitas kepartaian dalam budaya politik demokrasi.

Dalam dunia politik ada pandangan yang mengatakan: loyalitas terhadap partai berhenti ketika seorang terpilih jadi Presiden. Pandangan ini dibantah Megawati dalam pidatonya yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ”Ingat kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari partai. Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai.”

Bagaimana kita memahami tindakan sosial politik Megawati dalam pidato ini?

Teks denotasi

Perhatian pertama-tama diarahkan pada teks denotasi, yaitu semua kegiatan pemakaian bahasa dalam pidato, terutama isyarat-isyarat (cues) yangdipakai untuk menghasilkan dasar kerangka interpretasi. Megawati memakai kata ’mengatakan’, verbum discendi, ’ingat’ yang kata kerjanya mengingatkan, yaitu mengatakan sesuatu dalam cara tertentu seperti mengingatkan kewajiban. Terlebih lagi mengingatkan masuk kategori kata kerja performatif, yaitu ia terjadi dengan mengatakannya.Mengingatkan juga punya dimensi kesepakatan masa lampau yang berlatartulisan tangan, janji, wacana kerakyatan, ideologi, dan getirnya perpecahan selama kampanye politik.

Banyak interpretasi pidato dalam media melenceng karena kata mengingatkan diganti, misalnya dengan kata ’menegaskan’. Menegaskan berarti mengatakan dengan tegas, tidak ragu-ragu. Interpretasi ini semakin tidak tepat jika kata menegaskan dikaitkan dengan bentuk tuturan perintah disertai dengan kata kalian.

Tidak ada koherensi antara menegaskan dan memerintahkan. Ia hanya koheren dengan menyatakan. Mengingatkan koheren dengan memerintahkan sebagai kontekstualitas.

Dengan demikian, verbum discendi, bentuk perintah, performatif, kata-kata kalian dan petugas partai merupakan isyarat-isyarat yang menunjuk ciri-ciri setting yang dapat menghasilkan kerangka interpretif.

Teks interaksional

Sebagai tindakan sosial politik, interpretasinya tidak dicari dalam makna kata yang dipakai, tetapi lebih dari itu. Di sini dipakai dua konsep, yaitu indeks dan suara yang saling berkaitan.

Indeks merupakan keterhubungan dua elemen secara kausal, kebersamaan, dan persentuhan (Silverstein 2003). Adalah sejumlah isyarat di atas yang menghubungkan teks denotasi dan teks interaksional sebuah konstruksi hubungan sosial, identifikasi diri dan lain sebagai kelompok sosial tertentu.

Isyarat mengingatkan terjadi antara pengingat dan pelupa. Ia muncul dalam bentuk perintah yang performatif. Salah satu syaratnya adalah yang memberikan perintah berkedudukan lebih tinggi daripada yang diperintah (Austin 1962). Untuk itu, pemakaian kata kalian untuk semua kader PDIP—entah itu yang di legislatif atau eksekutif—menjadi tepat sekali apalagi dengan menyebut mereka petugas partai, termasuk Jokowi dan Kalla. Tidak ada kekacauan bahasa politik, malahmembangun satu pidatokontekstual koheren.

Kedua, konsep suara atau voice (Bakhtin 1981 [1935]) menjelaskan satu cara bagaimana isyarat indeks menerangi konteks relevan. Konsep ini berkaitan dengan stratifikasi dan keragaman dalam bahasa. Bakhtin berpendapat bahasa sudah diambil alih secara keseluruhan, penuh dengan intensi dan aksen. Setiap kata sudah punya selera profesi, genre, partai, dan lain-lain.Bahasa hidup dalam konteks.

Dalam kampanye politik di Jawa pada 2014, misalnya, Megawati pernah meminta rakyat memilih Jokowi dengan mengatakan: ”pilihlah si kerempeng ini”. Kata ini lalu diambil alih lawan politik dan menjadi metafor utama dalam ”Sajak Seekor Ikan”-nya Fadli. Baik dalam kampanye maupun dalam puisi, kata kerempeng punya makna sama, yaitu sangat kurus sehingga tulang rusuk tampak menonjol.

Namun, kata ini mengindeks suara berbeda dua kelompok yang berseteru pada saat kampanye. Suara Megawati adalah kedekatan, keakraban, dan kesamaan identitas dengan Jokowi, sedangkan suara Fadli menyorot relasi antara ikan hiu (Megawati) yang akan memangsa ikan kecil (Jokowi) di lautan lepas. Dengan demikian, berbicara lewat suara berarti memakai kata-kata yang mengindeks posisi-posisi sosial. Kata-kata mencirikan anggota- anggota kelompok tertentu.

Pidato Megawati lewat mediasi isyarat-isyarat verbal mengonstruksi dua posisi interaksional dan mendialogkan dua suara internal PDIP : pemimpin dan yang dipimpin. Presiden partai adalah Megawati, yang dipimpin adalah anggota dan kader partai.Sebagai pimpinan tertinggi ia berkuasa penuh dan memerintahkan kader yang bertugas di legislatif dan eksekutif untuk keluar dari partai kalau tidak mau disebut petugas partai.

Perintah keras ini keluar dalam situasi politik kacau seperti banyaknya bunuh diri dan pembunuhan, narkoba dan begal, tidak dilantiknya Budi Gunawan sebagai Kepala Polri dan lengsernya Abraham Samad sebagai Ketua KPK, kurs rupiah terhadap dollar AS terus melemah, perhatian masyarakat ke batu akik agar lupa kondisi sosial ekonomi di mana harga beras, lombok, dan bawang membubung tinggi, serta masalah kepartaian Golkar.

Masyarakat mulai mempertanyakan makna sebuah blusukan. Semakin memakmurkan rakyat kah suatu ideologi besar PDIP atau semakin menyengsarakankah mereka lewat praktik sirkulasi uang membangun proyek-proyek raksasa, mengenyangkan elite dengan cara meniadakan subsidi BBM?

Pelajaran demokrasi

Pelajaran terpenting kehidupan demokrasi yang dapat ditarik dari pidato Megawati, pertama, berkaitan dengan mentalitas dan cara berpikir kontekstual. Pidato menggambarkan bahwa ideologi PDIPsama dengan ideologi semua, ideologi kerakyatan untuk kemakmuran rakyat. Presiden Indonesia milik semua dan suara memperjuangkan rakyat dilakukan petugas partai.

Kedua, manusia adalah makhluk menjadi yang berpindah dari satu peran ke peran lain. Ketika Jokowi sudah menjadi Presiden, ia ke Singapura menghadiri wisuda anaknya naik pesawat Garuda, duduk di bangku tempat orangtua-orangtua yang anaknya diwisuda.

Demikian pula ketika ia menghadiri Kongres PDIP. Posisinya dikonstruksi bukan sebagai Presiden Indonesia melainkan petugas partai di eksekutif yang berhadapan dengan presiden partai. Berpikir demokratis adalah berpikir kontekstual. Janganlah setelah Presiden lalu ia menjadi presiden di semua konteks, bahkan anak-istri lebih seperti presiden, dan seterusnya. Kita angkat topi pada Presiden dan PDIP dalam hal ini.

Tulisan ini memiliki keterbatasan dalam hal ia didasarkan pada data televisi dan internet serta berita di Kompas. Ia berada di bawah bayang-bayang allegory of the cave Plato.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar