Sabtu, 23 Mei 2015

Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta

James Luhulima  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 23 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa saat lalu, kita dikejutkan oleh berita dari Keraton Yogyakarta. Sejumlah kerabat keraton, terutama para adik laki-laki Sultan Hamengku Buwono X, mempersoalkan isi Sabda Raja yang dikeluarkan Sultan.

Seperti diberitakan, Sultan Hamengku Buwono mengeluarkan dua Sabda Raja. Sabda Raja pertama dikeluarkan 30 April 2015 yang mengubah gelar Sultan Hamengku Buwono menjadi Sultan Hamengku Bawono. Selain itu, Sultan juga menghapus gelar Kalifatullah (yang bermakna ’wakil Allah’), mengubah frasa ”kaping sedasa” menjadi ”kasepuluh”, mengubah perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurnakan keris Kiai Ageng Kopek dan Kiai Ageng Joko Piturun.

Sebelumnya, gelar lengkap Sultan Hamengku Buwono X adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarto Hadiningrat.

Kini, gelar itu menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama.

Sabda Raja kedua dikeluarkan 5 Mei 2015 yang, antara lain, mengganti gelar putri pertama Sultan dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Dengan penggantian gelar tersebut, GKR Pembayun telah ditetapkan sebagai putri mahkota.

Dalam pemahaman keraton, Sabda yang dikeluarkan Sultan itu berasal dari para leluhur yang harus (wajib) dipatuhi oleh para kerabat keraton. Itu sebabnya, kita bertanya-tanya mengapa para adik laki-laki Sultan menentang Sabda Raja? Kita juga bertanya-tanya mengapa para adik laki-laki Sultan itu berani menolak datang untuk memenuhi undangan Sultan sebagai Raja.

Berbagai argumen dilontarkan oleh para adik laki-laki Sultan itu, tetapi kita menduga bahwa keberatan utama mereka yang sesungguhnya adalah penetapan GKR Pembayun menjadi putri mahkota. Oleh karena dengan penetapan Pembayun sebagai putri mahkota, tertutuplah peluang mereka untuk menjadi Sultan.

Selama ini, Keraton Yogyakarta selalu dipimpin oleh laki-laki. Mengingat Sultan Hamengku Buwono X hanya mempunyai seorang istri, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, dan empat orang putri, maka jika mengikuti tradisi, para adik laki-laki Sultan itu mempunyai peluang untuk terpilih sebagai Sultan.

Pada era seperti sekarang ini, membedakan peran laki-laki dan perempuan, bukan zamannya lagi. Kini, dalam kehidupan sehari-hari, dengan mudah kita menemui perempuan menduduki jabatan atau menjalani profesi yang tadinya hanya ditempati oleh laki-laki. Jika kita mengacu pada Inggris, kita melihat bahwa Inggris tetap dihormati meski dipimpin oleh seorang ratu. Bahkan, lagu kebangsaan Inggris pun disesuaikan dengan raja atau ratu yang memimpin kerajaan, yakni ”God Save The King” atau ”God Save The Queen”.

Jaga keistimewaan Yogya

Kita sangat prihatin dan mengkhawatirkan penentangan para adik laki-laki Sultan itu akan berkembang menjadi tidak terkendali. Apalagi jika menjadi permusuhan terbuka. Jika hal itu sampai terjadi, bukan tidak mungkin pemerintah akan campur tangan dan bukan tidak mungkin pula keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta itu benar-benar akan hilang.

Kita belum melupakan ketika pada 2012, hampir saja Daerah Istimewa Yogyakarta kehilangan keistimewaannya. Pada waktu itu ada keinginan yang kuat untuk mengubah proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta dari lewat penetapan menjadi lewat pemilihan umum.

Padahal, sejak 1945 atau 67 tahun lalu, telah disepakati bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam secara otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta. Akan tetapi, entah atas alasan apa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta harus dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah, sama seperti provinsi-provinsi lain.

Namun, sebagian besar rakyat Indonesia menentang gagasan tersebut dan mendesak keistimewaan Yogyakarta itu tetap dipertahankan. Atas desakan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat, 4 Juli 2012, menyepakati bahwa pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi DI Yogyakarta dilaksanakan melalui penetapan, bukan lewat pemilihan umum kepala daerah. Pemerintah pun, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, kemudian menyetujui hal tersebut.

Kita tentunya tidak ingin keistimewaan tersebut hilang karena itu merupakan penghormatan atas peran Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak boleh melupakan sejarah.

Hal itu diingatkan pula oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya yang terakhir pada peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966. ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” ujar Soekarno.

Namun, kemenangan untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta itu tidak akan bertahan jika penentangan atas Sabda Raja tersebut berkembang sedemikian rupa hingga mengganggu proses suksesi di Keraton Yogyakarta.

Jika masa bakti jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta berakhir, sementara penerus Sultan belum bisa ditetapkan, pemerintah pasti akan ikut campur dengan alasan tidak dapat membiarkan jabatan gubernur kosong.

Dalam kaitan itulah, kita sangat mengharapkan para adik laki-laki Sultan mau berbesar hati dan patuh kepada Sabda Raja sebagaimana seharusnya. Keistimewaan Yogyakarta sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Jangan hancurkan keistimewaan itu, apalagi jika alasannya hanya demi memperebutkan kedudukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar