Rabu, 06 Mei 2015

Kathmandu

Kathmandu

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 03 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gempa bumi berkekuatan 7,8 Skala Richter (SR) mengguncang Kathmandu, ibukota Nepal, pada Sabtu, 25 Mei 2015. Dikabarkan lebih dari 3.500 orang tewas di kota yang penuh dengan artifak peninggalan zaman kuno itu. Tapi saya ingin bercerita hal lain tentang Kathmandu. Di tahun 1990-an, beberapa anggota tim peneliti dari Fakultas Psikologi UI, termasuk saya, pernah dikirim ke Kathmandu untuk menghadiri sebuah workshop tentang diare (muntah-berak). Saya tidak ingat lagi persisnya tahun berapa kami ke Kathmandu itu.

Yang saya tahu hanyalah bahwa makalah kami dari workshop yang diselenggarakan oleh WHO itu dimuat dalam sebuah jurnal internasional pada 1999. Mengingat biasanya sebuah artikel perlu waktu 1-2 tahun untuk dimuat dalam sebuah jurnal, saya perkirakan workshop di Nepal itu terjadi tahun 1997. Tapi tahun tidak penting. Yang penting adalah bahwa dalam workshop itu, semua peserta dari berbagai negara berbagi penelitian tentang kebiasaan para ibu dalam menangani anak-anaknya (terutama balita) yang terserang diare.

Hasil penelitian kami di kalangan ibu-ibu kelas social-ekonomi menengah-bawah, di wilayah Grogol, Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa walaupun para ibu itu sudah paham betul (melalui penyuluhan di puskesmas ataupun posyandu) bahwa penanganan penderita diare adalah terus mengusahakan agar anak tidak dehidrasi dengan memberinya minum air bercampur oralit atau kalau tidak ada oralit, boleh juga dicampur dengan gula, yang dilakukan mereka justru menyetop asupan sama sekali dengan alasan logika mereka sendiri, yaitu untuk menghentikan cairan terus keluar dari tubuh, ya pemberian cairan dihentikan.

Akhirnya anak meninggal. Hal serupa kami saksikan juga di Bangladesh yang kami kunjungi dalam perjalanan ke Kathmandu. Bahkan di sana lebih parah lagi, masih ada yang menggunakan air tanah mentah untuk dikonsumsi walaupun mereka sudah tahu bahwa air untuk dikonsumsi harus dimasak dulu. Demikian juga dalam workshop di Kathmandu, semua tim peneliti yang mewakili berbagai negara melaporkan hal serupa. Sudah tahu, tetapi kok tidak dikerjakan sehingga akibatnya fatal? Di sini terbukti bahwa pengetahuan saja tidak selalu berkorelasi dengan perilaku konkret.

Kathmandu adalah kota yang jauh dari modern. Kota ini merupakan awal dari perjalanan tracking ke Pegunungan Himalaya. Hotel-hotel penuh dengan turis tracker. Tapi saya dan teman-teman lebih senang untukberjalan-jalan ke pasar. Di sana tidak ada angkot, apalagi busway, yang ada hanya bajaj, yang persis seperti bajaj Jakarta (versi warna merah). Yang menarik di pasar, pedagangpedagang sayur menggelar dagangannya di tanah.

Para PKJ (pedagang kaki jongkok) itu hanya mengalasi dirinya dengan tikar atau plastik. Padahal di antara para PKJ itu berjalan malang-melintang sapi-sapi yang di sana disembah sebagai dewa. Tidak mengherankan jika sayuran yang dijual itu bersebelahan dengan kotoran sapi.

Lebih aneh lagi, di bagian atap setiap tempat ibadah (kuil), selalu ada ukiran-ukiran yang menggambarkan alat-alat kelamin dan berbagai posisi hubungan seks (bahasa gaul: ML) yang dimaksudkan sebagai penangkal petir. Kata pemandu wisata, menurut kepercayaan orang di sana, Dewa Petir takut kepada Dewi Seks (takut tidak diajak ML lagi, barangkali). Suatu kepercayaan yang tidak ada sama sekali di kalangan pemeluk Hindu Bali, Hindu Tengger maupun Hindu Kaharingan.

Dalam ilmu psikologi sudah lama dirisaukan kenyataan bahwa pengetahuan tidak terkait langsung dengan perilaku nyata. Ini besar sekali pengaruhnya pada pendidikan misalnya. Orang dididik untuk bersih, tidak membuang sampah, nyatanya masih saja buang sampah. Yang korupsi juga sudah kenyang dengan pendidikan moral Pancasila.

Dalam riset pemasaran, produsen atau distributor sulit meramalkan produk apa yang akan paling banyak dibeli konsumen kalau hasil market survey tidak ada korelasinya dengan perilaku membeli. Dalam politik sama saja. Pemilih gampang terjebak pada para caleg yang bicara sangat indah di masa kampanye, tetapi diciduk KPK ketika sudah duduk di DPR/D. Sebaliknya, kita melihat juga bahwa dalam agama, banyak upacara, formalitas yang rutin, bertele-tele, buang waktu, dan banyak makan ongkos tetap saja dilakukan orang walaupun manfaatnya di dunia ini tidak ada sama sekali.

Kepercayaan pada akhirat begitu kuatnya, bahkan untuk mendapat surga ada yang ikhlas berjihad, yaitu membunuh atau terbunuh demi agama. Padahal belum ada seorang pun yang pernah melihat surga (apalagi neraka karena hampir tidak ada orang yang berdoa atau didoakan untuk masuk neraka). Bagaimana caranya keyakinan itu bisa meresap begitu dalam seperti dalam praktik agama? Suatu aliran dalam psikologi, behaviorsime, menawarkan metode untuk melatih segala sesuatu sejak dini sekali.

Bagaikan anak-anak yang direkrut ISIS untuk berperang (itu saja yang diajarkan kepada mereka sejak kecil) sehingga ketika dewasa mereka menjadi jihadis yang fanatik, kita juga bisa melatih anak-anak kita untuk menjadi fanatikpada kebiasaankebersihan, mengantre, menghargai orang lain, dst. Dalam hubungan ini bisa kita contoh anak-anak di Jepang yang sejak masih balita dilatih bagaimana caranya kalau ada gempa. Walaupun mungkin seumur hidup mereka belum tentu mengalami gempa bumi, kalau sewaktu-waktu ada kejadian, mereka tahu apa yang harus diperbuat. Lain halnya dengan orang Nepal yang sudah diberi peringatan oleh para ilmuwan bahwa gempa sewaktu-waktu akan terjadi, tetapi masyarakat nyantai saja sampai terjadilah gempa beneran.

Masalahnya, mentalitas orang Indonesia menurut hemat saya masih lebih dekat ke mentalitas orang Nepal ketimbang orang Jepang. Katanya kebersihan adalah bagian dari iman, tetapi tidak ada mukena di musala-musala umum yang bersih. Ya, kan? ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar