Selasa, 05 Mei 2015

Novel

Novel

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 03 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada beberapa buku di meja Romo Imam. Saya lihat judulnya: Sabdo Palon, Mahabharata, HOS Tjokroaminoto. "Tak ada buku novel, Romo?" tanya saya.
Romo mendekat. "Saya tak tertarik baca novel. Kalau mengikuti berita Novel Baswedan, saya tertarik. Ini cerita campuran antara dendam dan unjuk kekuasaan," kata Romo. Saya tertawa kecil sambil menunggu Romo duduk.

"Itu murni kasus hukum, Romo," ujar saya. Romo tertawa keras. "Sampean cocok jadi Kepala Divisi Humas Polri, pasti pernyataannya begitu." Romo diam sejenak, lalu melanjutkan: "Tapi jangan salahkan jenderal polisi. Dendam itu adalah sifat yang diturunkan Sang Pencipta kepada makhluk hidup, termasuk manusia. Setidaknya ada enam musuh dalam diri manusia yang harus dikalahkan. Salah satunya nafsu dendam."

Saya diam, menanti ke mana arah omongan Romo, moral atau hukum. "Coba sampean urut ke belakang, dendam polisi yang tak kepalang adalah ketika Novel menggeledah kantor polisi lalu lintas dalam kasus Djoko Susilo, 2012. Bagi polisi, Novel itu berkhianat. Polisi, kok, menggeledah ruangan polisi, tak ada kebanggaan korps. Maka kesalahan Novel pun dicari, yakni kasus tewasnya pencuri walet di Bengkulu pada 2004. Waktu itu Presiden SBY turun tangan, sehingga kasus ini diendapkan, tak elok KPK bermusuhan dengan kepolisian."

Romo meneruskan: "Lalu pada saat Budi Gunawan yang mendadak dijadikan tersangka oleh KPK, sehingga batal menjadi Kapolri, memunculkan kembali dendam itu. Polisi menghabisi pimpinan KPK. Bambang Widjojanto ditangkap, Abraham Samad dijadikan tersangka. Kasusnya dicari. Samad memalsukan identitas kartu keluarga, kasus kecil yang setara dengan pemalsuan identitas yang membuat petinggi polisi juga punya KTP ganda. Ah, sampean dulu juga dua kali memalsukan kartu keluarga saat membawa sepupu sekolah di Jakarta."

"Romo, itu jangan disebut, nanti saya ditangkap," saya memotong. Romo terbahak: "Tidaklah, sampean tak akan ditangkap karena tak ada unsur dendam. Kasus sepele begini hanya terjadi pada wilayah dendam yang dicampur dengan unjuk kuasa. Polisi menyalurkan dendam. Polisi membuktikan lebih berkuasa. Bambang dan Samad dilepas dari tahanan setelah pimpinan KPK dan Presiden memohon ke Kapolri. Mungkin Novel sudah dilepaskan atau segera dibebaskan karena Presiden Joko Widodo sudah memohon, meski bahasanya memerintahkan. Apa pun, polisi kini bertepuk dada: aku yang lebih kuat, kalian sudah neko-neko minta sekutu kalian dilepaskan."

"Polisi di atas angin?" tanya saya. "Jauh di atas angin," jawab Romo. "Dan polisi pun memberi kesan bahwa mereka bijak, toleran, sekaligus loyal. Sembari mengumbar bahwa kasus yang ditangani murni hukum, mereka toh mau melepas tangkapannya atas nama loyalitas, sekaligus membantah ada kriminalisasi."

Saya melongo dan Romo melanjutkan: "Polisi sebenarnya sudah mencoba menarik hati masyarakat dengan lebih gesit menangani korupsi. Kasus UPS di Pemda DKI yang melibatkan orang-orang populer, seperti Haji Lulung, sudah menarik wartawan ke Bareskrim. Sebentar lagi kasus Stadion Gedebage Bandung juga digelar. Keriuhan kamera yang tadi tumplek di lobi KPK bisa pindah ke Bareskrim, sedangkan KPK sudah kehilangan kekuatannya, bahkan pimpinannya mengancam mundur."

Saya menyela: "Bagus, dong, kalau polisi gesit menangkap koruptor." Romo menyahut: "Bagus, tapi kalau sembari masih punya dendam kepada KPK, bagaimana rakyat bisa percaya? Novel dan para penyidik KPK, yang asalnya dari polisi, bisa diperlakukan begitu, masyarakat tentu bertanya-tanya." Saya mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar