Hijrah!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 09 Mei 2015
Dalam jiwa yang
gelisah, HOS Tjokroaminoto (1876-1934) selalu bertanya kepada Agus Salim
(1884-1954), ”Sudah sampai di mana
hijrah kita?” Sepenggal pertanyaan itu sangat dominan ketika dua pendiri
bangsa tersebut menyemai benih-benih kesadaran tentang arti sebuah bangsa
pada awal abad ke-20. Agus Salim yang paham kegelisahan Tjokro, sembari
menyitir Nabi Muhammad SAW, menjawab, ”Selalu
ada kesepian dan keterpencilan dalam setiap hijrah.”
Hijrah adalah pesan
otentik yang terekam dalam film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto (2015) karya
sutradara Garin Nugroho. Saya terharu menonton film itu, tiga pekan lalu,
karena membayangkan betapa generasi masa lalu, seperti Tjokroaminoto, Agus
Salim, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Tirtoadisuryo, Sutomo, H
Samanhudi, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan Soekarno, mengabdikan hidupnya untuk
membangun fondasi sebuah bangsa yang didasari suatu ikatan batin, bukan saja
karena ada persamaan nasib dan sejarah, melainkan juga didasari harapan dan
cita-cita bersama di masa depan, seperti dirumuskan Ernest Renan (1823-1892),
sejarawan dan filsuf Perancis pada 1882.
Dan, hijrah bukan
melulu sebagai teks agama. Hijrah adalah terminologi sosial, budaya, juga
politik. Hijrah adalah proses meninggalkan dari kegelapan (keburukan) menuju
terang benderang (kebaikan). Hijrah bukan produk sejarah masa lalu semata.
Hijrah adalah spirit hidup yang tak mati digerus zaman. Maka, hijrah adalah
konteks kekinian yang menjadi fondasi di masa depan. Karena hijrah adalah
kesadaran pikiran, akal budi, mentalitas, jiwa, yang tetap hidup. Hijrah tak
berhenti pada tataran ide-ide secara dialektis, tetapi juga menjadi perilaku
bertindak.
Ketika berhijrah, the
founding fathers mengabdi dengan tulus, tanpa motif pamrih tertentu, walau di
bawah ancaman pembuangan dari lingkungannya oleh penguasa kolonial Belanda.
Dalam kondisi tertekan pun, tidak ada rasa lelah apalagi gentar, asalkan pengabdian
mereka menerangi bangsa terjajah ini. Mereka adalah generasi harum yang
wanginya tak pernah sirna. Mereka sangat menikmati ”kesepian dan
keterpencilan dalam setiap hijrah”.
Sayangnya, hijrah
terakhir bangsa ini pada 1998 tidak mampu mewujudkan reformasi secara tuntas.
Otoritarian memang ditumbangkan, tetapi kita gagal membangun demokrasi yang
substantif. Demokrasi diagungkan bukan untuk keadaban berpolitik. Demokrasi
hanya dijadikan kendaraan untuk berebut kekuasaan, bukan untuk memberdayakan
dan menyejahterakan rakyat. Reformasi banyak ditumpangi dan demokrasi pun
ditunggangi. Maka, tak heran, yang banyak memegang dan menikmati kekuasaan
pada era Reformasi adalah bagian dari Orde Baru di masa lalu. Ternyata, kita
memang tidak benar-benar berhijrah.
Dan, partai politik
tidak mampu mendidik dan mencerdaskan, bahkan anggotanya sendiri. Sangat
langka menemukan elite politik di parpol yang mengedepankan keadaban
berpolitik. DPR, misalnya, yang selama enam bulan selalu gaduh, kini minta
kembali gedung baru. Padahal, kinerjanya saja tidak becus. Tiga tahun lalu
permintaan gedung baru sudah ditolak.
Mereka tak peduli
ketika rakyat tengah kesulitan saat harga-harga tinggi. Jika kinerja DPR
bagus, gedung baru barangkali bukan hal yang patut diributkan. Ibarat
kehidupan zaman kuno di Tiongkok, seperti digambarkan Hsu (1981), rakyat cuma
punya kewajiban tanpa punya hak. Kalau para penguasa ingin membangun istana
yang megah atau monumen apa pun juga, tinggal memerintahkan saja, tanpa
peduli pada kehendak dan nasib rakyat. Itulah gambaran era monarki.
Dan, demokrasi kita
pun layu di parpol. Politisi gemar bertengkar dan adu kuat, bukan beradu
siasat dan lobi. Oligarki juga tetap hidup di parpol. Banyak pemimpin parpol
adalah muka-muka lama, bahkan bisa rangkap jabatan. Tak adakah kader muda
yang lebih segar? Pemimpin-pemimpin parpol yang makin tua menunjukkan politik
gerontokrasi yang renta. Suksesi nyaris mandek. Memang aneh karena kultus
individu yang bertentangan dengan demokrasi justru tumbuh subur di parpol.
Lalu, penegakan hukum
jauh dari rasa adil. Penegak hukum banyak mengerjakan perkara hukum dengan
motif tertentu. Para hakim tidak lagi pengadil yang bisa dipercaya. Padahal,
para hakim dipercaya sebagai ”wakil Tuhan”. Rakyat menjadi ragu mencari
keadilan di pengadilan karena hukum kerap berkelindan dengan politik. Jangan
harap korupsi bisa diberantas jika hukum belum benar-benar adil dan kekuasaan
tidak ada keadaban.
Setelah 17 tahun
reformasi dan lima presiden berkuasa (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo), masalah negeri ini
tetap tak jua berubah: politik gaduh, ekonomi goyah, hukum seolah-olah adil,
korupsi gagal diberantas, moralitas mengkhawatirkan, bangsa tak berkarakter,
dan banyak lagi. Itulah potret generasi sekarang. Anehnya, pemimpin kini
merasa telah berikhtiar dan berbuat. Mereka memang bergerak, tetapi cuma
berputar-putar terjebak di labirin yang di dalam mitologi Yunani merupakan
tempat mengurung Minotauros, monster manusia berkepala banteng.
Saat rakyat menolak
korupsi, koruptor malah mau diberi remisi. Mereka tak peduli suara rakyat
yang menolak korupsi. Ketika rakyat menderita, elite tetap dengan agenda
masing-masing. Isu reshuffle pun selalu bikin heboh. ”Anda tidak bisa menjadi
pemimpin dan meminta orang lain untuk mengikuti Anda kecuali jika Anda tahu
bagaimana mengikuti (aspirasi) mereka,” ujar Sam Rayburn (1882-1961),
politisi Amerika Serikat.
Generasi sekarang
memang jauh sekali dibandingkan dengan generasi Tjokroaminoto yang berani
berhijrah seperti Nabi. Sosiolog dan pemikir besar Ibnu Khaldun (1332-1406),
dalam Muqaddimah, mengingatkan bahwa kebinasaan suatu bangsa dan kehancuran
kewibawaan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) karena mereka
melakukan perbuatan tercela. Jadi, sekarang ini, tahun 2015, sudah sampai di
mana hijrah kita? Terasa sunyi, sepi, dan terpencil.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar