The
Geography of Thought
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 08 Mei 2015
Pemikiran seseorang
dan masyarakat sangat dipengaruhi faktor geografis dan sejarahnya. Masyarakat
yang hidup di wilayah maritim dan pertanian yang subur seperti Nusantara
pasti berbeda cara berpikirnya dengan masyarakat Timur Tengah yang hidup di
padang pasir tandus.
Juga berbeda dari
masyarakat kontinental Eropa. Begitu pun sejarah masa lalunya akan
memengaruhi karakternya, misalnya antara bangsa penjajah dan bekas
jajahannya. Meskipun sains, teknologi, dan beberapa agama besar merupakan
kekuatan dan ideologi yang mengglobal, cara pandang terhadap dunia tetaplah
plural. Makanya tidak terlalu salah ketika Huntington menulis buku Clash of Civilizations.
Ketika penduduk bumi
semakin berlipat jumlahnya, keragaman budaya dan agama kian mengemuka yang
pada urutannya potensial memunculkan benturan. Terlebih lagi ketika benturan
itu dimotori agenda perebutan sumber daya alam. Judul di atas sesungguhnya
merupakan judul buku yang ditulis oleh Richard E Nisbett, The Geography of Thought, How Asians and
Westerners Think Differently and Why (2003).
Sebagai ilmuwan dalam
bidang psikologi sosial, Nisbett melihat perbedaan yang amat mencolok dalam
cara berpikir dan berperilaku antara masyarakat Barat dan Timur. Dalam
kajiannya, Barat ditekankan pada Eropa yang berakar pada filsafat Yunani,
terutama Aristoteles, sedangkan yang dimaksud Timur adalah China, Jepang, dan
Korea yang berakar kuat pada Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme.
Mengenai konsep waktu,
Barat memandangnya sebagai garis lurus mengarah ke depan, sedangkan bagi
Timur, waktu merupakan garis lingkar (circle).
Barat lebih fokus untuk melihatdan mempelajari benda sebagai objek yang
atomik, berdiri sendiri, untuk dipelajari karakter dangunanya, lalu dibuat
kategorisasi dan abstraksi sehingga mempercepat inovasi dan berkembangnya
sains modern.
Iptek modern
berkembang cepat berkat kemajuan riset secara objektif terhadap objek alam.
Sedemikian besar perhatiannya pada bendabenda, rata-rata anak kecil di Barat
lebih banyak mengenal kata benda. Ini kebalikan dari tradisi Timur di mana
orang tua lebih banyak menekankan kata kerja pada anak-anaknya ketimbang
mengenal benda. Dalam masyarakat Barat apa yang disebut personal agency sangat menonjol sehingga mendorong paham
individualisme. Makanya ”aku” ditulis dengan huruf besar ”I”. The Greek sense of agency fueled of tradition of debate, tulis
Nisbett.
Debat, kompetisi,
penghargaan pada kemerdekaan individu serta pluralisme sangat menonjol di
Barat. Kata school (sekolah)
berasal dari bahasa Yunani shole yang artinya leisure, yaitu kemerdekaan dan antusiasme untuk menggali ilmu
pengetahuan. Tradisi riset dan debat sangat mengakar di Yunani Kuno yang
diwariskan kepada masyarakat Barat dan terjaga sampai hari ini. Bagaimana
halnya dengan Timur? Kebalikan dari personal
agency, di China yang ditekankan adalah collective agency untuk menjaga harmoni.
Every Chinese was first and foremost a member of a collective,
or rather of several collectives – the clan, the village, and especially the
family,
kata Nisbett. Pengetahuan dan sikap yang berkaitan dengan self-control agar
diterima lingkungannya sangat penting dalam budaya China. Kepuasan dan
kebahagiaan hidup bagi orang Timur bukannya meraih prestasi secara distingtif
dan individualistis, melainkan keberhasilan dalam membangun jejaring sosial
untuk maju bersama.
Komunalisme-sosialisme
merupakan mantra bagi masyarakat China. Makanya musik di China terkesan
monofonik, berbeda dari Barat yang polifonik. Di Barat relasi antara aku (I) dan objek (benda) lebih langsung.
Sementara di Timur konsep kami (we)
lebih menonjol sehingga dalam formula bahasa, kata kerja menjadi signifikan,
yaitu bagaimana seseorang mesti bersikap dalam konteks sosial. For Westerners, it is the self who does
the acting; for Easterners, action is something that it is undertaken in
concert with others, tulis Nisbett.
Ketika terjadi
konflik, misalnya, di Barat bisa berlangsung frontal dalam panggung pengadilan
sehingga berakhir menang-kalah (a
winner and a loser). Tapi di Timur yang dicari adalah intermediasi dan
kompromi untuk mengurangi permusuhan. Samar-samar, kabur, tidak jelas, siapa
yang menang dan kalah. Siapa yang benar dan siapa yang salah.
Ketika membaca buku
yang tengah ulas ini, pikiran saya bertanya, bagaimana dengan budaya berpikir
masyarakat Indonesia dengan emosi keagamaan yang sedemikian tinggi? Bagi
ilmuwan sosial, aspek ini sangat menarikdijadikanobjekpenelitian. Terdapat
sekelompok masyarakat yang mendekati cara berpikir Barat dan ada pula yang
memang keturunan China dengan budayanya yang khas Timur.
Namun ada pula yang
asing dengan tradisi personal agency dan collective agency karena semua
realitas dan peristiwa yang dihadapi langsung dialamatkan ke Tuhan. Di sini
Tuhan diposisikan sebagai aktor penentu terhadap berbagai peristiwa semesta.
Implikasinya, mungkin saja, kehidupan terasa lebih pasif, nyaman, dan damai.
Hanya saja ilmu
pengetahuan dan peradaban tidak berkembang dinamis karena posisi seseorang
tak ubahnya wayang yang digerakkan oleh Tuhan sebagai Sang Dalang?
Jangan-jangan secara politik dan sosial ekonomi posisi Nusantara akan jadi
ajang konflik dan perebutan hegemoni antara Barat dan Timur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar