Kamis, 07 Mei 2015

Apa Betul Kuat di Lokal, Berjaya di Luar

Apa Betul Kuat di Lokal, Berjaya di Luar?

Tandean Rustandy  ;  CEO PT Arwana Citramulia Tbk
KORAN SINDO, 05 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu lalu penulis menjadi pembicara dalam talkshow Sindonews.com bertema ”Kuat di Lokal, Berjaya di Luar” . Topiknya sederhana, namun sangat dalam. Apa betul perekonomian kita sudah kuat di lokal dan mampu berjaya di luar? Penulis sangat menghargai topik tersebut dan yakin Sindonews sudah melakukan riset mengenai situasi yang dihadapi bangsa Indonesia. Sekalipun memiliki daratan subur dan lautan luas dengan dua musim, kita tidak mampu berswasembada makanan pokok, seperti beras dan daging, sehingga masih harus mengimpor.

Laut kita sangat luas, tetapi kehidupan nelayan masih memprihatinkan, disertai maraknya pencurian ikan oleh kapal asing. Salah satu faktor pertumbuhan produk domestik bruto(PDB) kita berasal dari sektor belanja konsumen, namun pertumbuhannya kurang sehat karena sebagian besar masih diimpor. Dibidangolahraga, dulunya kitaselalu juara SEA Games, tetapi sekarang masukempat besar saja sudah bersyukur.

Yang lebih menyakitkan, sekalipun sudah merdeka 70 tahun, sebagian transaksi perdagangan dalam negeri masih menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Bayangkan, untuk transaksi di negeri sendiri, kita bahkan tidak mempunyai kedaulatan menggunakan mata uang rupiah. Di bidang pendidikan, apa yang patut dibanggakan? Ranking universitas terbaik kita masih di bawah universitas Singapura dan Malaysia.

Kualitas lulusan universitas para menteri semakin terdegradasi dibandingkan kabinet jaman Soekarno, Soeharto hingga pemerintahan SBY. Padahal, problem perekonomian dan politik global yang dihadapi sekarang jauh lebih kompleks. Berbeda dari Singapura, di mana direktur, direktur jenderal, dan menteri lulusan universitas terbaik dunia dan harus menguasai bidang masing-masing, di Indonesia, posisi strategis pemerintahan diisi orang partai dan tim sukses presiden. Hal ini sebenarnya tidak masalah, sejauh orangnya berkualitas dan mumpuni.

Tetapi realitanya berbeda, sehingga kondisi bangsa semakin terpuruk. Ironis memang, sekalipun memiliki kekayaan alam luar biasa dengan potensi pasar begitu besar, lokal kita tetap lemah karena masih bergantung impor–lalu bagaimana bisa ”berjaya di luar”? Penyebabnya karena pemimpin kita lebih memikirkan kepentingan kelompok dan pribadi daripada kepentingan bangsa.

Pemanfaatan kekayaan alam dan budget APBN menjadi prioritas penambahan kekayaan. Realitanya, sementara kualitas hidup mayoritas penduduk sangat mengenaskan, banyak wakil rakyat hidupnya berkelimpahan. Tidak heran jika Indonesia tetap terpuruk. Kita sudah memasuki era Reformasi, tetapi kualitas pemimpin kita tidak siap berubah. Pemenang Nobel Sastra 1925, George Bernard Shaw berkata, ”Mustahil ada kemajuan tanpa perubahan. Orang yang tidak dapat mengubah pikirannya, tidak akan bisa mengubah apa-apa.”

Kebanyakan orang Indonesia menolak perubahan karena takut kehilangan yang sedang dinikmati. Orang kita mahir berbicara dan berdebat, tanpa disadari mental cinta bangsanya sudah memudar. Semangat membangun kepentingan institusi yang lebih besar hanya sebatas wacana. Sementara perubahan jaman akan menghabisi semua yang tidak siap melakukan perubahan. Jika ingin Indonesia bermartabat dan berdaulat, setiap komponen bangsa harus berubah, bahkan perubahannya lebih cepat dari perubahan luar.

Kelemahan mendasar negara kita adalah ketidakpastian hukum dan sistem pendidikan yang statis. Banyak pengusaha, baik lokal maupun asing, sering memanfaatkan kelemahan sistem hukum. Pendidikan kita tidak merata. Hanya orang kaya dan mereka di kota besar yang dapat menikmati pendidikan berkualitas, padahal mayoritas penduduk tinggal di daerah. Kita sering mendengar, betapa sulitnya anak-anak di daerah terpencil berangkat ke sekolah. Mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter dan tak jarang berbahaya, untuk mengecap pendidikan sekolah dasar.

 Tidak mungkin mengubah cara berpikir tanpa pendidikan yang berkualitas. Bagaimana Indonesia bisa berubah kalau sebagian besar rakyatnya kurang berpendidikan; dan bagi yang berpendidikan, kualitasnya sangat marginal dibandingkan Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Sistem pendidikan yang statis, penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sepenuh hati menjalankan good governance secara terbuka dan konsisten, serta penegakan hukum yang kurang diawasi dan tidak tegas menjadi alasan utama mengapa target pengentasan kemiskinan sangat mengecewakan.

Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin Indonesia 38,7 juta orang, dengan total PDB USD165 miliar. Tahun 2013, jumlah penduduk miskin turun kurang dari 30% ke angka 28,55 juta orang, sedangkan total PDB naik 426% menjadi USD868 miliar. Ketika PDB naik 426%, jumlah penduduk miskin hanya turun 30%.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang dan tidak menyejahterakan penduduk miskin. Artinya, yang kaya semakin kaya, yang berkuasa semakin berkuasa, dan yang miskin menjadi semakin miskin. Visi pemimpin harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F Kennedy, pernah berkata: ”Jangan bertanya apa yang bisa negara lakukan untukmu, tetapi bertanyalah apa yang bisa kamu lakukan untuk negaramu.”

Kami tidak memiliki modal besar pada waktu memulai usaha, namun usaha kami sekarang mampu menjadi perusahaan yang berkontribusi untuk rakyat dan negara, sekaligus diminati fund manager asing. Ironisnya, bangsa kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah, namun tetap miskin. Semuanya karena mentalitas pemimpin bangsa yang sudah nyaman bertahta di comfort zone .

Padahal, pemimpin itu mesti melayani, bukan dilayani, harus sering turun ke lapangan untuk check and recheck , dan bukan hanya menerima laporan. Laporan bisa keliru dan direkayasa, namun dengan langsung turun ke bawah, bisa mengerti dengan jelas. Presiden Jokowi sudah memeloporiblusukan dan langsung bertemu dengan rakyat. Namun sayangnya, solusi persoalan masih sebatas wacana. Keberhasilan sebuah institusi, baik negara, perusahaan, organisasi keagamaan maupun keluarga sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan.

Pemimpin harus mutlak jadi teladan. Ada tiga sifat pemimpin bijaksana. Sifat pertama dinyatakan oleh Lao Tzu, filsuf besar China, ”Seorang pemimpin yang terbaik adalah ketika orang hampir tidak tahu dia ada, ketika karyanya dilakukan, tujuannya terpenuhi, mereka akan berkata: kita melakukannya sendiri.” Dengan kata lain, pemimpin tidak perlu pencitraan. Hampir tidak ada pemimpin Indonesia masuk kategori ini. Sifat kedua diajarkan Plato, guru dan filsuf Yunani, ”Bagi siapa yang ingin melayani negaranya, bukan hanya harus memiliki kemampuan berpikir, tetapi juga memiliki kemauan bertindak.”

Sifat kedua ini dimilikibeberapa pemimpin bangsa kita. Sedangkan sifat ketiga berasal dari Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, ”Saya ingin melihat seseorang bangga dengan tempat di mana ia tinggal. Saya ingin melihat seseorang hidup sehingga tempatnya berada akan bangga terhadapnya.” Jadi kalau mau menjadi pemimpin bijaksana, apakah itu kelompok kecil atau dalam suatu negara besar, ketiga sifat dan karakter tersebut harus mutlak dimiliki.

Perubahan drastis Singapura dari negara terbelakang menjadi negara nan makmur tanpa ada kekayaan alam lantaran teladan dan pengorbanan tanpa pamrih Perdana Menteri sekaligus Bapak Bangsa Lee Kuan Yew. Satu kalimat indah yang diucapkannya, ”Saya tidak menyesal. Saya sudah menghabiskan hampir seluruh hidup saya membangun negara ini. Pada akhirnya, apa yang saya dapatkan? Singapura yang sukses. Apa yang saya korbankan? Hidup saya.” Inilah konklusi untuk topik ”Kuat di lokal, dan berjaya di luar.”

Wahai para pemimpin bangsa, apakah tidak malu melihat Indonesia semakin terpuruk dan tidak mustahil anak cucu kita akan hidup miskin di waktu mendatang apabila kita tidak mau berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar