Efek
Putusan Hakim Sarpin dan Dampak Putusan MK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 04 Mei 2015
Belakangan ini telah
terjadi kejutan signifikan dalam lapangan hukum pidana di Indonesia. Pertama,
putusan hakim Sarpin dalam perkara praperadilan Budi Gunawan (BG) yang telah
mengabulkan permohonan dan menetapkan KPK tidak berwenang memeriksa BG.
Kedua, putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menetapkan bahwa
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk objek
praperadilan. Putusan MK tersebut telah membuktikan bahwa pertimbangan hakim
Sarpin dalam memutus perkara praperadilan BG adalah benar adanya.
Bahkan putusan
tersebut dikuatkan dengan pertimbangan yang sama yaitu demi menjaga dan
memelihara marwah Bab XA UUD 1945 bagi setiap orang di dalam wilayah hukum
RI. Saya sependapat sejak awal dengan hakim Sarpin. Alasannya karena
pertimbangan praktik peradilan pidana sejak proses penyidikan sampai pada
proses pemeriksaan di sidang peradilan sering terjadi ekses penyalahgunaan
kekuasaan/wewenang di balik tafsir subjektif penyidik.
Sehingga, hak dan
martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dirampas begitu
saja tanpa ada pertimbangan kemanusiaan sedikit pun hanya dengan dalih telah
dipenuhinya unsur dua alat bukti permulaan yang cukup. Pada kondisi tersebut
tak ada kesempatan untuk menguji tafsir subjektif penyidik sejak awal
sehingga seorang tersangka dalam praktik sering telah mengalami ”kematian
perdata” tanpa daya dan upaya untuk memulihkannya.
Bahkan telah terjadi
stigmatisasi dan labelisasi sebagai koruptor yang tidak memiliki hak sosial
dan ekonomi lagi di hadapan masyarakat. Tak tanggung- tanggung salah satu pimpinan
KPK pernah menyatakan bahwa tersangka koruptor adalah sampah masyarakat dan
ada tokoh masyarakat/intelektual yang mengklaim mayat seorang koruptor tidak
perlu disembahyangkan. Audzubillahi
Minzalik!
Putusan MK yang
bersifat final dan mengikat harus dihormati karena ia lembaga di dalam
Konstitusi sekaligus menentukan arah politik perundang-undangan yang telah
diuji dan diselaraskan dengan Konstitusi UUD 1945.
Putusan MK tersebut
melengkapi putusan hakim Sarpin yang mengembalikan marwah pembentukan UU
KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 yang mengedepankan prinsip ”due process of law”, bukan ”the
law of oppression” dengan tujuan menjaga dan memelihara hak asasi setiap
tersangka/terdakwa dan terpidana dari kekuasaan yang represif yang dapat
terjadi karena kekuasaan yang eksesif atau melampaui batas wewenang atau
mencampuradukkan wewenang atau bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 UU AP
2014).
Ketika warga negara
berhadapan dengan kekuasaan (negara) maka yang harus dikedepankan bukan hanya
kepentingan negara an sich,
melainkan keseimbangan dan kesetaraan yang berdasarkan prinsip
proporsionalitas dan subsidiaritas dalam memperlakukan setiap perkara pidana
tanpa dilatarbelakangi oleh status sosial, etnis, agama, dan politik
golongan.
Efek putusan hakim
Sarpin dan putusan MK dalam proses beracara perkara pidana adalah setiap
langkah penyidik harus sangat ekstrahati-hati dalam menetapkan perubahan
status setiap orang menjadi tersangka, dalam melaksanakan penggeledahan dan
penyitaan, dan juga keempat alasan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal
77 KUHAP.
Negara modern termasuk
di negara penganut sistem hukum common law, hak asasi tersangka sangat
dilindungi terlepas dari keluhan penyidik yang selalu beranggapan sebagai
hambatan penegakan hukum. Bahkan sanksi pelanggaran kode etik dan pemecatan
menanti terhadap penyidik yang telah melanggar hakhak asasi setiap warga
dalam proses penegakan hukum.
Putusan MK tak pelak
mengundang berbagai ragam pendapat dan termasuk dari KPK yang menyatakan
menghormati putusan tersebut. Ada juga beberapa ahli hukum di media sosial
yang mengkritik putusan tersebut dan tidak puas dengan alasan dapat
menghambat proses penegakan hukum dan ”menguntungkan koruptor”(?).
Apa pun keluhan,
kritik, dan ketidakpuasan terhadap putusan MK tersebut, kenyataan putusan
bersifat final dan mengikat dan terlepas dari alasan tersebut harus
dilaksanakan dan ditaati oleh setiap hakim praperadilan. Putusan MK tersebut
mengakhiri perdebatan dan kritik terhadap putusan hakim Sarpin yang dinilai
bodoh dan sesat oleh beberapa kalangan ahli hukum.
Tentunya dengan tujuh
hakim, termasuk satu hakim konkuren dan dua hakim MK dissenting, semakin
terbukti bahwa telah delapan hakim (termasuk hakim Sarpin) yang membenarkan
dan menguatkan putusan praperadilan dalam perkara BG. Lalu pertanyaannya, di
mana letak kebodohan dan penyesatan putusan Hakim Sarpin?
Kehidupan hukum di
suatu negara selalu mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi, bahkan
teknologi sehingga teramat naif jika kalangan ahli hukum selalu apriori dan
memegang teguh ajaran legalisme abad ke-18 yang disebut sinis oleh John Henry
Merryman (2007) sebagai aliran fundamentalisme hukum pidana.
Sejak awal mempelajari
pengantar ilmu hukum telah diajarkan bahwa hukum selalu tertinggal dari
perkembangan masyarakatnya sehingga nilai keadilan di balik hukum juga
mengalami perkembangan.
Jika pada abad ke-18
nilai keadilan hukum pidana terletak pada asas Talionis yang bersumber pada
pandangan felific-calculus Bentham, pasca-Deklarasi PBB tentang HAM Universal
(1948) dan perubahan keempat UUD 1945 d Indonesia, nilai keadilan seharusnya
berdasarkan nilai HAM itu bukan yang abad ke-18 sana.
Nilai keadilan hukum
dalam sistem hukum di dalam sistem hukum di mana pun terletak pada pundak
hakim; diakui dalam sistem kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial
vide Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman.
Jika para intelektual
hukum mengikuti perkembangan zaman dan memahami mengapa dan untuk tujuan apa
terjadinya perkembangan pergeseran nilai di balik perkembangan hukum pidana,
tentunya putusan hakim Sarpin yang dikuatkan oleh putusan MK merupakan
satusatunya jawaban atas pengelolaan kekuasaan (negara) di lapangan hukum
pidana terhadap ekses penyalahgunaan kekuasaan negara di masa yang akan
datang.
Semua orang akan semakin
terlindungi dari penyalahgunaan wewenang oleh kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar