Antisipasi
Perlambatan Ekonomi
Aunur Rofiq ; Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis
|
KORAN SINDO, 19 Mei 2015
Menurunnya
sumber pertumbuhan ini mengindikasikan menurunnya permintaan masyarakat.
Konsumsi di dalam negeri menurun karena konsumsi masyarakat terganggu dengan
ada kenaikan harga beberapa barang pokok serta kebijakan moneter yang ketat.
Dari sisi ekspor, masih dalam tren perlambatan mengingat mayoritas ekspor
dari Indonesia berupa komoditas yang harganya tengah turun.
Kinerja
ekspor lebih banyak didorong sektor manufaktur, namun jumlahnya tak
signifikan. Penguatan dolar belakangan ini ternyata tidak mampu dimanfaatkan
untuk mendorong ekspor karena negara tujuan utama pasar ekspor seperti
Tiongkok dan Eropa juga mengalami perlambatan.
Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor selama triwulan I 2015 sebesar
USD39,12 miliar serta realisasi impor USD36,7 miliar. Awal tahun ini
pemerintah berhasil mengantongi surplus perdagangan USD2,42 miliar. Surplus
perdagangan terbesar terjadi pada Maret 2015 sebesar USD1,13 miliar dipicu
oleh surplus sektor nonmigas USD1,41 miliar walaupun sektor migas defisit USD0,28
miliar.
Meski
neraca perdagangan Maret mengalami surplus, lebih disebabkan penurunan impor
yang lebih tajam. Penurunan impor justru menjadi indikasi perlambatan
ekonomi. Komponen impor terbesar adalah barang modal dan bahan baku. Impor
barang modal turun 10,3% dan bahan baku turun 16,2%.
Defisit
transaksi berjalan (current account
deficit/CAD) pada kuartal I 2015, menurut perkiraan BI, berada pada level
1,6% terhadap PDB. Lebih rendah dari perkiraan awal BI sebesar 1,8% hingga
2%. Surplus neraca perdagangan dalam tiga bulan pertama tahun ini akan
menekan CAD ke level yang rendah.
Mengejar Target
Bagaimana
caranya agar Indonesia dapat berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi
5.7% pada 2015 dan mengatasi pelemahan ekonomi? Sejumlah langkah sangat
diperlukan. Pertama, mempercepat realisasi investasi publik di sektor
infrastruktur. Dalam APBN Perubahan 2015, belanja pemerintah pusat di alokasi
senilai Rp1.319,5 triliun.
Dari
jumlah itu, terdapat Rp290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja infrastruktur.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) mendapat paling
banyak sebesar Rp105 triliun, Kementerian Perhubungan Rp52,5 triliun, serta
Kementerian ESDM sebesar Rp5,9 triliun. Adapun belanja modal seluruh BUMN di
Tanah Air diproyeksi mencapai Rp300 triliun pada tahun ini.
Kedua,
mempercepat penyerapan APBNP 2015 yang baru terserap sebanyak 18,5% hingga 31
Maret 2015. Pengeluaran pemerintah ini diharapkan bisa menjadi stimulus
ekonomi, di tengah kelesuan ekspor dan investasi serta konsumsi. Serapan
APBNP 2015 yang rendah ini juga menyebabkan sejumlah pembangunan proyek
infrastruktur melambat yang kemudian berandil besar dalam penurunan
penyaluran kredit perbankan dan melemahnya konsumsi domestik.
Mempercepat
belanja pemerintah (government spending)
juga sangat penting untuk memberikan sinyal positif kepada para investor
asing yang telah berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia sehingga bisa
mendorong peningkatan ekspor. Ketiga, mendorong kinerja sektor industri
manufaktur. Pelemahan ekonomi juga ditunjukkan oleh indeks manufaktur
triwulan I 2015 sebesar 45,08% atau lebih rendah dari triwulan IV 2014,
48,89%.
Indonesia
harus mengembangkan sektor industri manufaktur berorientasi ekspor untuk
menopang pelemahan ekspor utama yakni harga komoditas yang turun, yang
menyebabkan kinerja ekspor Indonesia menurun secara drastis. Lebih buruk,
dalam beberapa waktu mendatang tidak terlihat ada tanda akan menguatnya harga
komoditas.
Untuk
mengatasi posisi rentan ini, Indonesia harus mendiversifikasikan produk
ekspor nasional, khususnya industri hilir untuk produk manufaktur bernilai
tambah. Penting bagi perekonomian untuk memiliki banyak industri dasar dan
industri hilir yang memadai untuk mengimbangi besarnya kebutuhan produk jadi
di dalam negeri. Akibat itu, kita banyak bergantung pada produk impor.
Tak
mengherankan jika pasar dalam negeri terus diserbu produk impor yang nyatanya
juga lebih murah dan berkualitas. Maka, bisa dipahami jika neraca perdagangan
kita terus defisit. Salah satu kelemahan dalam membangun daya saing kita
adalah kurangnya industri manufaktur dasar yang kuat karena lemahnya daya
dukung dalam sektor ini.
Ini
yang menyebabkan para industriawan di dalam negeri banyak beralih menjadi
pedagang. Menjadi pedagang adalah pilihan yang realistis karena risikonya
kecil dan lebih menguntungkan. Dengan menjadi pedagang, mereka terhindar dari
persoalan klasik seperti birokrasi yang bertele-tele serta ekonomi biaya
tinggi akibat mahalnya biaya logistik, pungli, dan minimnya infrastruktur.
Keempat
, meningkatkan sisi suplai domestik adalah hal penting karena penduduk
Indonesia yang besar, kini memiliki pertumbuhan pesat masyarakat kelas
menengah yang sekarang berjumlah sekitar 75 juta orang, dengan mendorong
produk manufaktur dalam negeri. Akibat kurangnya manufaktur dalam negeri,
situasi ini menyebabkan inflasi dan kenaikan impor sehingga menimbulkan
tekanan pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Kelima,
di tengah kondisi pelemahan ekonomi, penting untuk tidak memalingkan
perhatian pada kinerja dan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) sebagai bantalan ekonomi dalam mengatasi kelesuan ekonomi. Sekarang
ini masyarakat ekonomi bawah sudah mulai merasakan ada tekanan ekonomi akibat
kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, kenaikan BBM dan gas elpiji yang
juga menekan omzet UMKM.
Pemerintah
harus mempersiapkan skema bagi keberlangsungan UMKM untuk mengatasi masalah
penurunan daya beli masyarakat dan kemungkinan meluasnya ancaman PHK karena
omzet dunia usaha yang kini mulai menurun.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar