Rabu, 20 Mei 2015

Pejambon 6 dan Palestina

Pejambon 6 dan Palestina

Muhammad Takdir ; Policy Scenario Analyst, Tinggal di Swiss
KORAN SINDO, 19 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika mendengar nama Langley, Virginia, pikiran akan tertuju pada headquarter CIA di McLean, Virginia. Begitu pula ketika mendengar nama daerah Foggy Bottom di Washington, bayangan yang muncul adalah US Department of State (DoS).

DoS adalah institusi federal terpenting dalam kebijakan luar negeri AS yang berlokasi di 2201 C Street NW, beberapa blok dari Gedung Putih. Lebih populer lagi nama jalan 1600 Pennsylvania Avenue yang pasti segera diasosiasikan dengan White House.

Publik dan media AS sangat mudah mengidentifikasi institusi-institusi yang berlokasi di seluruh alamat dimaksud. Itu seolah-olah menunjukkan bahwa hanya CIA, DoS, atau Gedung Putih yang berdiri di sepanjang jalan tersebut. Berbeda dengan AS, Pejambon 6 adalah jalan yang relatif sangat pendek, tetapi publik baru kini secara perlahan mulai terbiasa untuk mengasosiasikannya dengan Kementerian Luar Negeri RI.

Sangat wajar karena Pejambon 6 punya banyak tautan sejarah RI yang tidak dapat dilepaskan dari peran Kemenlu sejak berdirinya republik ini. Pejambon 6 adalah salah satu institusi triumvirat di Indonesia yang paling banyak mewarnai haru birunya perjalanan sejarah RI.

Efek Perjanjian Linggarjati 1946, Renvile 1948, Konferensi Meja Bundar 1949, pengakuan Irian Barat, penerimaan prinsip-prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS, pembentukan ASEAN, EAS, GNB, Konferensi Asia-Afrika, APEC, G15, D-8, G-20, dan Tsunami Summit 2004 adalah catatan-catatan penting diplomasi Indonesia yang dibangun dari kontrol dan exercise Pejambon 6 bersama Medan Merdeka Utara.

Dengan figur-figur puncak Pejambon 6 yang sangat historik, wajar bila publik selalu menaruh harapan tinggi pada diplomat-diplomat Indonesia, termasuk dalam masalah Palestina. Presiden Joko Widodo menjadi pemimpin RI yang kesekian menyinggung masa depan Palestina dalam sebuah hajat politik besar di Indonesia, komemorasi 60 KAA 2015.

Sejak pertama kali dibicarakan terbuka, isu Palestina bagi Pejambon 6 adalah pertaruhan. Replikasi perjuangan kemerdekaan dan pergumulan kedaulatan di masa-masa awal Indonesia berdiri tercermin baik dalam kompleksitas isu Palestina. Isu ini seolah-olah telah mendarah daging dalam DNA diplomasi Indonesia sehingga menjadi salah satu takaran reputasi Pejambon 6.

Beyond Tradition

Tak ada yang dapat menyangkal jejak Pejambon 6 dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui diplomasi. Forum yang paling sering dimanfaatkan Pejambon 6 untuk menginjeksi kristalisasi isu itu adalah MU-PBB, DKPBB, dan Dewan HAM PBB.

Model Palestina yang diproyeksikan pun tidak tanggung-tanggung, Palestina yang merdeka, demokratik, dan viable. Terobosan paling monumental yang telah dilakukan Pejambon 6 adalah ketika Indonesia bertindak sebagai co-sponsor rancangan resolusi MU-PBB tentang status Palestina menjadi non-member observer states di PBB.

Retas diplomasi pada 2012 itu membuahkan dukungan 138 negara di tengah sembilan yang menolak dan 41 abstain. Namun, penerimaan mayoritas terhadap resolusi tersebut membuat Palestina kini duduk sebagai observer state di badan dunia PBB. Bagi Pejambon 6, peningkatan status Palestina bisa menjadi tiket untuk memperoleh “full UN membership”.

Keberhasilan tersebut tentu dibayangkan akan memberikan tekanan kepada Tel Aviv untuk memperlakukan Palestina sebagai entitas. Setidaknya, dengan pengakuan itu, jalan menuju “two state solution” terlihat di horizon. Secara hipotetis, hanya kerangka itu yang mampu menyudahi konflik berkepanjangan Palestina-Israel secara bermartabat.

Masalahnya, seberapa lama konstruksi internasional mampu memberikan political pressure terhadap Israel. Itu menjadi tanda tanya yang meragukan setelah PBB dan Kelompok Kuartet gagal memaksakan agenda penyelesaiannya. Delapan bulan setelah gencatan senjata berlaku antara Hamas dan Israel, kehidupan pendudukan di Gaza masih tidak berubah.

Kian hari semakin menyedihkan, keadaan di tanah pendudukan telah berubah menjadi living hell. Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs in the Occupied Palestinian Territory (UN-OCHA oPT) menyebutkan keterpurukan situasi kemanusiaan menjadi yang terburuk di wilayah Palestina sejak 1967.

Berdasarkan laporan berjudul “Fragmented Lives : Humanitarian Overview 2014”, diduga 4 juta warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza harus menghadapi perlakuan pahit pendudukan militer Israel. Penindasan atau penjajahan Israel di Palestina tidak menyisakan sedikit pun makna penghormatan zionis terhadap kemanusiaan dari sisi life, liberty, dan security di Palestina.

Bagi Pejambon 6, mungkin saatnya penanganan Palestina dinaikkan ke gear 5, menjadi mediator. Banyak publik yang tidak yakin bahwa Indonesia dapat melakukannya. Mereka mesti belajar dari kesuksesan Norwegia ketika memfasilitasi brokering kesepakatan Oslo Accords 1993.

Perjanjian itu murni keberhasilan pertama negosiasi bilateral tanpa keterlibatan international players, termasuk AS atau Quartet dan PBB. Meski penandatanganan Oslo 1993 secara resmi dilakukan di Gedung Putih, itu tidak berarti kredit buat Washington karena sejak awal AS menganggapnya bukan serious track. Faktor AS dalam Oslo 1993 lebih bersifat simbolik.

Pelajaran penting yang dipetik dari Oslo adalah kemampuan Norwegia mendorong dua pihak terlibat dalam dialog yang bersifat straightforward dan meaningful. Serupa dengan Indonesia, Norwegia tidak pernah mencoba menjadi dominant player atau dilatari personal agenda tertentu. Prinsip ini sangat inheren dengan cara kerja Pejambon 6 yang selalu ingin memerankan fungsi convergent dalam semua proses diplomasi yang menyertakan Indonesia.

Pejambon 6 memiliki seluruh credential yang dibutuhkan untuk menjadi honest broker seperti telah didemonstrasikan di Kamboja, Filipina Selatan, atau ASEAN led-mechanism di Myanmar yang diilhami oleh kontribusi figur utama Pejambon 6, mantan Menlu Ali Alatas dan Hassan Wirajuda.

Satu-satunya critical step yang harus diperhitungkan Pejambon 6 adalah bagaimana mengolah faktor Israel sebagai devil in-details-nya. Faktor ini jelas memerlukan eksaminasi ultra cautious mengingat sentimen domestik yang sangat sensitif. Bukan rahasia umum jika publik di Indonesia tidak bisa menerima apa pun langkah yang bersifat leaning ataupun acceptance terhadap Tel Aviv.

Untuk keluar dari traditional attitude penanganan konflik Palestina-Israel selama empat dekade, Pejambon 6 membutuhkan keduanya. Pada tataran ideal dan realistis, menjembatani perundingan kedua pihak tentunya mesti memperhatikan adagium it takes two tangos. Indonesia tidak dapat melakukan sendiri hanya dengan mengedepankan kepentingan Palestina.

Berdasarkan perspektif 3Cs yang dikenal dalam skenario kebijakan sebagai consequence, circumstances dan capacity, faktor Israel akan selalu berputar sebagai episentrum dalam seluruh proses yang bergulir. Karena itu, elemen C pertama akan terbentuk dari penolakan di tingkat domestik maupun negaranegara Islam tradisional. Lalu, elemen C kedua akan memunculkan kemungkinan proses negosiasi yang agak intricate.

Pejambon 6 harus ikut memperhitungkan formula perundingan yang sudah lebih dahulu muncul seperti Quartet maupun sponsored forums lainnya yang tidak mudah digantikan. Elemen C ketiga akan mendeskripsikan kemampuan memerankan mediasi atau good offices sebagai langkah yang sangat krusial dalam mencari breakthrough penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Unsur capacity secara institusional dimiliki Pejambon 6, tetapi deadlock dan delay telah lama menjadi warna buram penyelesaian konflik tersebut. Hanya apa pun kesulitannya, sepertinya opsi ini patut dicoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar