Pejambon
6 dan Palestina
Muhammad Takdir ; Policy Scenario Analyst, Tinggal di Swiss
|
KORAN SINDO, 19 Mei 2015
Ketika
mendengar nama Langley, Virginia, pikiran akan tertuju pada headquarter
CIA di McLean, Virginia. Begitu pula ketika mendengar nama daerah Foggy Bottom di
Washington, bayangan yang muncul adalah US
Department of State (DoS).
DoS
adalah institusi federal terpenting dalam kebijakan luar negeri AS yang
berlokasi di 2201 C Street NW, beberapa blok dari Gedung Putih. Lebih populer
lagi nama jalan 1600 Pennsylvania
Avenue yang pasti segera diasosiasikan dengan White House.
Publik
dan media AS sangat mudah mengidentifikasi institusi-institusi yang berlokasi
di seluruh alamat dimaksud. Itu seolah-olah menunjukkan bahwa hanya CIA, DoS,
atau Gedung Putih yang berdiri di sepanjang jalan tersebut. Berbeda dengan
AS, Pejambon 6 adalah jalan yang relatif sangat pendek, tetapi publik baru
kini secara perlahan mulai terbiasa untuk mengasosiasikannya dengan
Kementerian Luar Negeri RI.
Sangat
wajar karena Pejambon 6 punya banyak tautan sejarah RI yang tidak dapat
dilepaskan dari peran Kemenlu sejak berdirinya republik ini. Pejambon 6
adalah salah satu institusi triumvirat di Indonesia yang paling banyak
mewarnai haru birunya perjalanan sejarah RI.
Efek
Perjanjian Linggarjati 1946, Renvile 1948, Konferensi Meja Bundar 1949,
pengakuan Irian Barat, penerimaan prinsip-prinsip negara kepulauan dalam
UNCLOS, pembentukan ASEAN, EAS, GNB, Konferensi Asia-Afrika, APEC, G15, D-8,
G-20, dan Tsunami Summit 2004 adalah catatan-catatan penting diplomasi
Indonesia yang dibangun dari kontrol dan exercise Pejambon 6 bersama Medan Merdeka
Utara.
Dengan
figur-figur puncak Pejambon 6 yang sangat historik, wajar bila publik selalu
menaruh harapan tinggi pada diplomat-diplomat Indonesia, termasuk dalam
masalah Palestina. Presiden Joko Widodo menjadi pemimpin RI yang kesekian
menyinggung masa depan Palestina dalam sebuah hajat politik besar di
Indonesia, komemorasi 60 KAA 2015.
Sejak
pertama kali dibicarakan terbuka, isu Palestina bagi Pejambon 6 adalah
pertaruhan. Replikasi perjuangan kemerdekaan dan pergumulan kedaulatan di
masa-masa awal Indonesia berdiri tercermin baik dalam kompleksitas isu
Palestina. Isu ini seolah-olah telah mendarah daging dalam DNA diplomasi
Indonesia sehingga menjadi salah satu takaran reputasi Pejambon 6.
Beyond Tradition
Tak ada
yang dapat menyangkal jejak Pejambon 6 dalam memperjuangkan kemerdekaan
Palestina melalui diplomasi. Forum yang paling sering dimanfaatkan Pejambon 6
untuk menginjeksi kristalisasi isu itu adalah MU-PBB, DKPBB, dan Dewan HAM
PBB.
Model
Palestina yang diproyeksikan pun tidak tanggung-tanggung, Palestina yang
merdeka, demokratik, dan viable. Terobosan paling monumental yang
telah dilakukan Pejambon 6 adalah ketika Indonesia bertindak sebagai
co-sponsor rancangan resolusi MU-PBB tentang status Palestina menjadi non-member
observer states di PBB.
Retas
diplomasi pada 2012 itu membuahkan dukungan 138 negara di tengah sembilan
yang menolak dan 41 abstain. Namun, penerimaan mayoritas terhadap resolusi
tersebut membuat Palestina kini duduk sebagai observer state di badan dunia
PBB. Bagi Pejambon 6, peningkatan status Palestina bisa menjadi tiket untuk
memperoleh “full
UN membership”.
Keberhasilan
tersebut tentu dibayangkan akan memberikan tekanan kepada Tel Aviv untuk
memperlakukan Palestina sebagai entitas. Setidaknya, dengan pengakuan itu,
jalan menuju “two
state solution” terlihat di
horizon. Secara hipotetis, hanya kerangka itu yang mampu menyudahi konflik
berkepanjangan Palestina-Israel secara bermartabat.
Masalahnya,
seberapa lama konstruksi internasional mampu memberikan political pressure terhadap
Israel. Itu menjadi tanda tanya yang meragukan setelah PBB dan Kelompok
Kuartet gagal memaksakan agenda penyelesaiannya. Delapan bulan setelah
gencatan senjata berlaku antara Hamas dan Israel, kehidupan pendudukan di
Gaza masih tidak berubah.
Kian
hari semakin menyedihkan, keadaan di tanah pendudukan telah berubah menjadi living hell.
Laporan United Nations Office for the
Coordination of Humanitarian Affairs in the Occupied Palestinian Territory
(UN-OCHA oPT) menyebutkan keterpurukan situasi kemanusiaan menjadi yang
terburuk di wilayah Palestina sejak 1967.
Berdasarkan
laporan berjudul “Fragmented Lives :
Humanitarian Overview 2014”, diduga 4 juta warga Palestina di Tepi Barat
dan Jalur Gaza harus menghadapi perlakuan pahit pendudukan militer Israel.
Penindasan atau penjajahan Israel di Palestina tidak menyisakan sedikit pun
makna penghormatan zionis terhadap kemanusiaan dari sisi life, liberty, dan security di Palestina.
Bagi
Pejambon 6, mungkin saatnya penanganan Palestina dinaikkan ke gear 5, menjadi
mediator. Banyak publik yang tidak yakin bahwa Indonesia dapat melakukannya.
Mereka mesti belajar dari kesuksesan Norwegia ketika memfasilitasi brokering
kesepakatan Oslo
Accords 1993.
Perjanjian
itu murni keberhasilan pertama negosiasi bilateral tanpa keterlibatan international
players, termasuk AS atau Quartet dan PBB. Meski penandatanganan
Oslo 1993 secara resmi dilakukan di Gedung Putih, itu tidak berarti kredit
buat Washington karena sejak awal AS menganggapnya bukan serious track. Faktor AS dalam
Oslo 1993 lebih bersifat simbolik.
Pelajaran
penting yang dipetik dari Oslo adalah kemampuan Norwegia mendorong dua pihak
terlibat dalam dialog yang bersifat straightforward dan meaningful. Serupa dengan
Indonesia, Norwegia tidak pernah mencoba menjadi dominant player atau dilatari
personal agenda tertentu. Prinsip ini sangat inheren dengan cara kerja
Pejambon 6 yang selalu ingin memerankan fungsi convergent dalam semua proses
diplomasi yang menyertakan Indonesia.
Pejambon
6 memiliki seluruh credential yang dibutuhkan untuk menjadi
honest broker seperti telah didemonstrasikan di Kamboja, Filipina Selatan,
atau ASEAN
led-mechanism di Myanmar yang diilhami oleh kontribusi figur utama
Pejambon 6, mantan Menlu Ali Alatas dan Hassan Wirajuda.
Satu-satunya
critical
step yang harus diperhitungkan Pejambon 6 adalah bagaimana
mengolah faktor Israel sebagai devil in-details-nya. Faktor ini jelas
memerlukan eksaminasi ultra cautious mengingat sentimen domestik
yang sangat sensitif. Bukan rahasia umum jika publik di Indonesia tidak bisa
menerima apa pun langkah yang bersifat leaning ataupun acceptance terhadap Tel Aviv.
Untuk
keluar dari traditional
attitude penanganan konflik Palestina-Israel selama empat dekade,
Pejambon 6 membutuhkan keduanya. Pada tataran ideal dan realistis,
menjembatani perundingan kedua pihak tentunya mesti memperhatikan adagium it takes two
tangos. Indonesia tidak dapat melakukan sendiri hanya dengan
mengedepankan kepentingan Palestina.
Berdasarkan
perspektif 3Cs yang dikenal dalam skenario kebijakan sebagai consequence,
circumstances dan capacity, faktor Israel akan selalu berputar
sebagai episentrum dalam seluruh proses yang bergulir. Karena itu, elemen C
pertama akan terbentuk dari penolakan di tingkat domestik maupun negaranegara
Islam tradisional. Lalu, elemen C kedua akan memunculkan kemungkinan proses
negosiasi yang agak intricate.
Pejambon
6 harus ikut memperhitungkan formula perundingan yang sudah lebih dahulu
muncul seperti Quartet maupun sponsored forums lainnya yang tidak mudah
digantikan. Elemen C ketiga akan mendeskripsikan kemampuan memerankan mediasi
atau good
offices sebagai langkah yang sangat krusial dalam mencari breakthrough
penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Unsur capacity
secara institusional dimiliki Pejambon 6, tetapi deadlock dan delay
telah lama menjadi warna buram penyelesaian konflik tersebut. Hanya apa pun
kesulitannya, sepertinya opsi ini patut dicoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar