Bola
di Laga Politik Menpora
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 19 Mei 2015
Ancaman
sanksi dari FIFA bagi Indonesia kini sudah di ujung tanduk. FIFA akhirnya
memberikan deadline hingga 29 Mei 2015 kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora) dan PSSI untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Jika
Kemenpora dan PSSI tak mampu melaksanakan rekomendasi dari FIFA untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat tindakan Menpora menerbitkan
Surat Keputusan (SK) Nomor 0137 Tahun 2015 yang berujung pembekuan PSSI
dengan alasan mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan pemerintah.
Penegasan
FIFA tersebut disampaikan melalui surat yang ditandatangani Sekjen FIFA
Jerome Valcke, 4 Mei dan diterima melalui faksimile oleh PSSI. Dalam surat
tersebut, FIFA memberitahukan kepada menteri pemuda dan olahraga Indonesia
bahwa setiap asosiasi yang merupakan anggota FIFA harus menyelesaikan
masalahnya tanpa campur tangan pihak ketiga.
Dengan
keputusan FIFA tersebut, PSSI pernah berinisiatif untuk menemui Menpora Imam
Nahrawi pada Selasa (5/5/2015). Hanya, niat baik dari PSSI tersebut ibarat
”bertepuk sebelah tangan” karena sang menteri tidak bersedia menemui PSSI
yang dihadiri langsung Ketua Umum PSSI, Plt Sekjen, Azwan Karim dan kuasa
hukum PSSI Togar Manahan Nero serta Aristo Pangaribuan.
FIFA
dalam suratnya juga sempat meminta Kemenpora dan BOPI bisa menahan diri untuk
tidak lagi mencampuri urusan rumah tangga PSSI dan mempersilakan PSSI
memenuhi kewajibannya sebagai anggota FIFA. Jika ini tidak dilakukan, FIFA
menegaskan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mempertimbangkan
pemberian sanksi kepada PSSI.
Menpora
resmi membekukan PSSI melalui Surat Nomor 0137 Tahun 2015 per tanggal 17
April 2015 tersebut dan dalam surat keputusannya itu segala kegiatan PSSI
selanjutnya akan dikendalikan pemerintah melalui Tim Transisi, KONI, dan KOI.
Tertulis
jelas di dalam surat keputusan yang ditandatangani langsung oleh Menpora
bahwa keputusan Menpora tentang pengenaan sanksi administratif berupa
kegiatan keolahragaan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia tidak diakui,
termasuk kongres luar biasa yang telah berlangsung.
Di dalam
SK Menpora akan ada tiga langkah cepat setelah dikeluarkan keputusan ini.
Pertama, pemerintah akan membentuk tim transisi untuk mengambil alih hak dan
kewenangan PSSI. Kedua, persiapan Tim Nasional SEA Games tetap dijalankan di
bawah pengawasan KONI dan KOI. Ketiga, seluruh pertandingan Liga Indonesia
tetap dijalankan yang juga masih di bawah pengawasan KONI dan KOI.
Keputusan
Menpora tersebut terlihat jelas memenuhi kualifikasi sebagai tindakan pejabat
tata usaha negara yang tak hanya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration),
sekaligus juga melanggar prinsip persepakbolaan internasional dalam Statuta
FIFA yang pada intinya melarang intervensi kekuasaan terdapat federasi sepak
bola nasional.
Dalam UU
Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 5/1986 jis UU No 9/2004 dan UU No 51/2009)
ditegaskan larangan bagi Menpora untuk bertindak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembekuan PSSI tanpa ada
pelanggaran hukum yang dilanggar oleh PSSI tentu menunjukkan dasar hukum yang
sumir sebagai rujukan SK Menpora tersebut.
Demikian
pula jika pemberian sanksi pembekuan kegiatan PSSI ini dikaitkan dengan UU
Sistem Keolahragaan Nasional dan PP 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan. Sanksi berupa seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh
pemerintah terlihat tak memiliki dasar hukum yang kuat.
Tidak
ada pelanggaran yang dilakukan oleh PSSI terhadap pasal-pasal yang ada baik
dalam UU Nomor 3 Tahun 2005 maupun pasal-pasal PP 16 Tahun 2007. Dampak dari
sikap keras kepala Menpora yang tetap mempertahankan Surat Keputusan 0137
Tahun 2015 tersebut menimbulkan efek bola salju. PSIS dan Persiba di
Yogyakarta telah membubarkan pemainnya karena dengan tiadanya kompetisi lagi
tak mungkin membayar honor pemain.
Hal
yang sama juga terjadi pada Persis-Solo dan entah klub sepakbola mana lagi
yang segera menyusul membubarkan pemainnya. Jika berkaca pada asas kecermatan
dan asas kepastian hukum yang menjadi unsur dari prinsip-prinsip umum
pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara, SK Menpora tersebut
terlihat tak bersandar pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagai
norma hukum tak tertulis dalam hukum administrasi negara.
Akibatnya,
tindakan pembekuan PSSI justru memperlihatkan tindakan pejabat yang melampaui
asas kepatutan dan proporsionalitas serta kini justru menyeret sepak bola
nasional dari kancah profesional ke ranah politik perseteruan antara Menpora
dan PSSI. Perseteruan antara Kemenpora dan PSSI semakin menghangat seiring
dengan pembentukan Tim Transisi oleh menpora.
Tim
ini disebut-sebut bakal mengintervensi PSSI. Anehnya, justru Menpora yang
balik menuduh bahwa PSSI yang melanggar Statuta FIFA. Beberapa nama yang
ditunjuk oleh Menpora untuk duduk di keanggotaan Tim Transisi seperti Velix
Wanggai, Ridwan Kamil, Darmin Nasution, Farid Husain, dan entah siapa yang
menyusul, telah resmi mengumumkan pengunduran diri mereka dari keanggotaan
dalam Tim Transisi.
Seharusnya
Menpora tak perlu harus sampai mengambil tindakan pembekuan PSSI yang diikuti
dengan membuat surat kepada Polri untuk tidak mengeluarkan izin bagi
pertandingan sepak bola di seluruh Indonesia yang digelar di bawah naungan
PSSI. Di titik inilah persepakbolaan nasional telah disubordinasikan di bawah
hegemoni kekuasaan.
Seharusnya
pemerintah (menpora) tak perlu pula terlalu jauh memasuki ranah manajemen
PSSI, bahkan sampai pada pembentukan Tim Transisi yang justru berpotensi
melakukan intervensi secara sistematis terhadap PSSI sebagai federasi
olahraga sepak bola nasional. Uniknya, tidak ada satu pun wakil dari PSSI
yang duduk di dalam keanggotaan tim yang dinamakan Menpora sebagai Tim
Transisi ini.
Selain
itu, pembentukan Tim Transisi oleh Menpora juga dilakukan menjelang Kongres
Tahunan PSSI. Jika toh Kemenpora memiliki rencana untuk meningkatkan kualitas
manajemen persepakbolaan nasional, justru harus melibatkan PSSI untuk duduk
bersama memikirkan strategi komprehensif untuk meningkatkan kualitas
manajemen persepakbolaan di Tanah Air agar mampu menembus laga di tingkat
ASEAN, Asia, dan bahkan dunia.
Bukan
justru menginisiasi untuk ”menggiring bola di ranah politik” menpora. Dunia
olahraga yang dikotori syahwat politik sangat kontraproduktif bagi
peningkatan prestasi dan bahkan akan menyebabkan olahraga prestasi
bersaranakan bola tersebut akan kian tergiring menjauhi ”gawang prestasi”.
Jika
FIFA melaksanakan ancaman sanksinya terhadap PSSI, bisa dipastikan dunia
persepakbolaan nasional mengalami kondisi kian terpuruk. Memang, di sisi
lain, masih terdapat cukup banyak pula kelemahan dalam manajemen
persepakbolaan nasional di bawah PSSI yang memerlukan pembenahan secara
manajerial.
Namun,
itu tak seharusnya sampai berujung pada tindakan negara untuk turut
menyudutkan PSSI dengan melakukan pembekuan/ tidak mengakui kepengurusan PSSI
tanpa alasan hukum yang memadai.
Fenomena
tersebut bahkan mengundang reaksi dari DPR. Anggota Komisi X DPR RI Dadang
Rusdiana menyayangkan keputusan menteri pemuda dan olahraga yang membekukan
kegiatan PSSI. Tindakan pembekuan PSSI oleh Menpora justru hanya memperkeruh
keadaan ibarat menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.
Sulit
dibayangkan apabila intervensi Menpora ini direspons oleh FIFA dengan
jatuhnya sanksi yang berdampak Indonesia tidak bisa berkiprah dalam event di
ASEAN, Asia, maupun laga internasional.
SK
Menpora Nomor 0137 Tahun 2015 yang membekukan PSSI tersebut jika diukur
dengan UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, justru telah
membuktikan bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan fungsi pemberdayaan dan
perlindungan persepakbolaan nasional karena SK Menpora tersebut telah menjadi
”license to kill” bagi
persepakbolaan Tanah Air. SK Menpora telah menyeret bola ke ranah laga
politik tak berujung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar