Ayrton
Senna, Tuhan, dan Common Sense
Azrul Ananda ; Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA POS, 29 April 2015
HAMPIR semua orang
punya hero –atau superhero– idaman. Bagi saya, dia adalah Ayrton Senna. Saya
menangis ketika dia tewas 1 Mei 1994, dan saya menamai anak pertama saya
’’Ayrton’’.
*****
Ketika mulai rutin
menulis kolom Happy Wednesday ini,
pada suatu momen, saya sudah berniat menulis tentang Ayrton Senna. Tinggal
menunggu momen paling pas, plus, sebagai penulis, menunggu mood yang paling pas.
Beberapa hari lagi,
penggemar Ayrton Senna di seluruh dunia akan mengenang sang legenda Formula
1. Pada 1 Mei 1994, sang juara dunia tiga kali itu meninggal setelah menabrak
dinding di tikungan Tamburello, Sirkuit Imola, di Grand Prix San Marino.
Batangan suspensi pada
mobil Williams-Renault-nya patah. Mengakibatkan mobil melebar liar. Dan
batangan suspensi itu pula yang menembus celah helm, mengakibatkan luka
kepala yang menewaskan Senna pada usia 34 tahun.
Saat itu pukul 4 pagi
di Ellinwood, Kansas, tempat saya menonton siaran langsung lomba. Pada usia
16 tahun, masih SMA, saya menangis…
Orang yang hampir
setiap dua minggu saya tunggu aksi dan kemenangannya di sirkuit telah tiada.
Bagi para penggemar
F1, khususnya yang mengikuti secara mendalam, Ayrton Senna bukanlah pembalap
biasa. Dia tidak seperti pembalap-pembalap atau atlet-atlet dunia kebanyakan.
Hidupnya, ucapan-ucapannya, dan tindakan-tindakannya bisa membuat hati kita
tersentuh, bulu kuduk merinding, dan mengajak kita berpikir dalam tentang segalanya.
Tentang hidup, kerja
keras, juga Tuhan.
Ayrton Senna juga
telah menunjukkan contoh konkret perbuatan dan hasil yang menunjukkan wu wei
yang sebenar-benarnya.
Pada zamannya dulu,
banyak orang menyebut Senna sebagai ’’Filsuf’’-nya F1.
Google saja foto-foto
Ayrton Senna. Perhatikan sorotan matanya. Ada fokus, kesedihan, serta kesan
’’tersiksa’’ yang terpancar. Orang yang mencurahkan segenap hidupnya mencapai
kesuksesan. Rela mengorbankan nyawa pada era balap mobil tidak se-aman dan
se-steril sekarang.
Di sirkuit, Senna
dikenal sangat berani dalam bermanuver. Menggertak lawan, menyalip secara
tegas, seolah mengambil risiko-risiko yang berlebihan.
Ketika dikritik soal
itu, Senna menjawabnya dengan sangat ’’dalam’’. Bahwa dia tidak pernah
melakukan tindakan yang tidak diperhitungkan. Bahwa dia tidak akan
sembarangan mengambil risiko untuk dirinya dan pembalap lain.
Ucapannya itu
sangatlah relevan untuk kita semua, penggemar F1 maupun bukan. Sebab, di
dalamnya dia menyebut Tuhan, menyebut akal sehat, dan tanggung jawab kita
sebagai manusia:
’’Hidup adalah sesuatu
yang dianugerahkan Tuhan. Tinggal bergantung pada kita untuk menggunakan
common sense dan menunjukkan kepada-Nya, bahwa kita paham betapa pentingnya
anugerah kesehatan dan kehidupan yang Dia berikan tersebut. Adalah tanggung
jawab kita untuk menjaga anugerah tersebut.’’
Dan ketika banyak
dikritik atau dihujat, Senna selalu bergeming. Dia tidak akan membiarkan
orang lain mengubah dirinya sendiri. Bahwa dia akan membuat kesalahan, itu
tidak apa-apa.
’’Yang terpenting
adalah menjadi dirimu sendiri, tidak membiarkan orang lain mengganggu atau
mengubahnya. Kita harus tetap jadi diri kita sendiri, walau kita berkali-kali
membuat kesalahan yang disebabkan oleh kepribadian kita sendiri. Yang penting
kita selalu belajar. Kita harus selalu belajar dari kesalahan-kesalahan kita
sendiri dan menjadi lebih baik…’’
Bahwa dirinya dianggap
emosional, Senna mengaku tidak masalah.
’’Tanpa feeling, tanpa
emosi, hidup ini akan membosankan.’’
’’Kita semua dibuat
dari emosi, dan kita semua mencari emosi. Tinggal bagaimana menemukan cara
untuk merasakannya.’’
*****
Di lintasan, seperti
kebanyakan juara-juara hebat, Ayrton Senna juga menunjukkan kualitas langka.
Dia selalu memburu kesempurnaan, melebihi batas-batas kemampuan manusia dan
mesin.
Saat babak kualifikasi
Grand Prix Monaco 1988, di jalanan yang begitu sempit dan berliku, Senna
pernah menunjukkan ’’keajaiban’’. Para pengamat F1 bilang, lap kualifikasi
Senna di lomba tersebut adalah yang terbaik dalam sejarah, paling mengagumkan
dan sulit dipercaya.
Dia mencatat waktu
hampir 1,5 detik lebih cepat dari rekan setimnya sendiri, Alain Prost. Di
Formula 1, atau balapan apa pun, sangat-sangat sulit bagi seseorang untuk
melaju begitu jauh di depan rekan sendiri menggunakan mobil yang sama!
Apalagi ini melawan rekan sehebat Alain Prost (yang kemudian jadi juara dunia
empat kali).
Menurut Senna, lap
tersebut dia jalani seperti tanpa sadar. Dia begitu fokus, begitu ngebut,
kemudian dia seperti mengalami out of body experience.
’’Tiba-tiba saya
menyadari kalau saya tidak lagi mengemudikan mobil secara sadar. Saya seperti
mengemudikannya menggunakan insting, saya seperti berada di dimensi yang
berbeda. Rasanya seperti berada di dalam terowongan, dan seluruh sirkuit
seperti berada di dalam terowongan. Saya terus melaju, dan terus melaju. Saya
sudah jauh di atas batas kemampuan, tapi saya masih mampu melaju lebih jauh.
Lalu, tiba-tiba lagi,
seperti ada yang membangunkan saya. Saya menyadari bahwa saya sedang berada
di atmosfer yang berbeda. Segera saja saya menahan laju mobil. Saya segera
kembali ke pit, dan saya tidak mau keluar lagi ke lintasan hari itu…
Saya merasa takut,
karena saya sadar saya baru saja menjalani sesuatu yang di luar kesadaran dan
pemahaman saya…’’
Bagi saya, itu
merupakan contoh konkret wu wei. Melakukan tanpa melakukan, mencapai sesuatu
yang luar biasa seperti tanpa memaksakan diri. Dan itu sesuatu yang tidak
mungkin dicapai kalau kita tidak fokus, tidak memaksakan diri, dan tidak
bekerja keras.
Melihat rekaman video
lap Monaco 1988 itu, sampai hari ini saya merinding. Membayangkan mobil
McLaren-Honda yang dikendarai Senna melaju keliling sirkuit, tapi ’’nyawa’’
orangnya justru sedang ’’mengawang’’ di udara.
Dan salah satu kutipan
Senna yang paling terkenal, mungkin terinspirasi dari kejadian ajaib hari
itu…
’’Dengan kekuatan
pikiran, determinasi yang tinggi, insting, dan juga pengalaman, kita bisa
terbang begitu tinggi…’’
Senna tentu meninggal
tragis, mengukuhkan statusnya sebagai legenda. Merinding lagi mengingat
ucapannya tentang kematian:
’’Kalau sampai terjadi
kecelakaan yang mengakibatkan saya kehilangan nyawa, saya berharap itu
terjadi secara instan. Saya tidak ingin duduk di kursi roda, saya tidak ingin
sengsara di rumah sakit karena cedera apa pun. Kalau saya hidup, saya ingin
merasakan hidup secara utuh. Juga secara intens, karena saya orang yang
intens. Hidup saya akan berantakan kalau saya hanya menjalaninya
setengah-setengah…’’
Ayrton Senna sudah
meninggal 21 tahun lalu. Tapi, dia telah menghibur dan menginspirasi jutaan
orang di seluruh dunia. Dan sejak usia 16 tahun itu, saya sudah bertekad
bahwa kalau saya punya anak laki-laki, maka saya akan memberinya nama
’’Ayrton’’.
Sebenarnya ingin
’’Ayrton Senna Ananda’’. Tapi, karena keluarga istri saya Jawa, saya khawatir
bakal dipanggil ’’Seno’’. Makanya nama putra saya menjadi ’’Ayrton Senninha
Ananda’’.
’’Senninha’’ adalah
’’Little Senna’’, karakter komik yang dibuat Ayrton Senna untuk menginspirasi
anak-anak, dan membantu anak-anak tidak berkecukupan di Brasil…
Maaf, tulisan hari ini
kurang lucu, tapi semoga memberikan inspirasi. Happy Wednesday! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar