Hijrah
Politik Warisan H.O.S. Tjokroaminoto
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Perindo
|
JAWA POS, 30 April 2015
“Setinggi-tingginya ilmu, sepandai-pandainya siasat, dan
semurni-murninya tauhid.”
Kalimat yang
diungkapkan H.O.S. Tjokroaminoto di atas rasanya cukup relevan untuk menjadi
refleksi bagi upaya membangun peradaban politik di negeri ini yang kian hari
cenderung rapuh, layu, dan miskin gagasan serta cita-cita besar. Gagasan
besar Tjokro soal hijrah yang dimaknai sebagai semangat untuk berubah –dari
kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik– layak menjadi refleksi seberapa
jauh bangsa ini diletakkan dan dibangun.
Tjokro berjuang dengan
membangun organisasi Sarekat Islam pada awal 1900-an, organisasi bumiputra
pertama yang terbesar, sehingga bisa mencapai 2 juta anggota. Organisasi itu
dibentuk untuk menyamakan hak dan martabat warga bumiputra yang terkooptasi
oleh imperialisme. Perjuangan tersebut menjadi embrio perjuangan bagi
tokoh-tokoh pergerakan bangsa lainnya (Soekarno, Agus Salim, Semaun,
Kartosuwiryo, dan lain-lain).
Tjokro adalah seorang
intelektual, pandai bersiasat, penulis surat kabar yang kritis, serta orator
ulung yang mampu menyihir ribuan orang dari mimbar pidato. Soekarno pun
mengakui, Tjokro adalah inspirasinya dalam hal berorasi dan membakar semangat
rakyat. Orasi-orasi Tjokro meresahkan pemerintah Hindia Belanda dan membuat
mereka bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat Islam yang pesat. Tjokro
berjuang lewat organisasi Sarekat Islam untuk memberikan penyadaran masyarakat
dan mengangkat harkat serta martabat secara bersamaan. Meskipun dalam
perjalanan waktu kemudian mengalami perpecahan di internal organisasi terkait
perbedaan cara pandang dan strategi gerakan.
Banyak hal yang bisa
kita petik dari gagasan-gagasan Tjokro yang begitu sangat relevan untuk
menguatkan modal sosial bangsa ini. Pertama, Tjokro mewariskan kepada bangsa
ini ideologi perubahan. Semangatnya untuk membawa bangsanya ke arah yang
lebih baik, dari kondisi imperialisme menuju kebebasan untuk menikmati
kekayaan negeri sendiri, adalah gagasan relevan bagi bangsa ini yang tengah
dilanda krisis kemandirian.
Kenegarawanan
Pelajaran kedua yang
bisa kita petik dari gagasan-gagasan besar Tjokro adalah sikap
kenegarawanannya. Tjokro lebih mementingkan kepentingan bangsanya, rakyatnya,
daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Tjokro juga menjadi figur yang
menempatkan bagaimana keutamaan dan kemaslahatan bangsa ini berdiri di atas
segala-galanya. Melebihi apa yang dia sendiri inginkan sebagai seorang aktivis,
pejuang, dan tentu saja sebagai elite Jawa pertama yang mengenyam pendidikan
Eropa. Sebagai seorang tokoh pertama yang mampu membangun sebuah organisasi
kemasyarakatan dengan jumlah anggota melebihi 2 juta lebih, tentu di atas
kertas Tjokro sudah memiliki investasi politik tersendiri bagi dirinya untuk
memetik buah kenikmatan di panggung kekuasaan. Namun, Tjokro tidak melakukan
itu.
Gagasan-gagasan
besarnya dilandasi kegelisahan dirinya untuk mengangkat harkat dan martabat
bangsanya yang direndahkan imperialisme. Semangatnya ini mengalahkan ambisi
politiknya. Jangan dibayangkan kemudian Tjokro merengkuh semua keuntungan
politik atas apa yang dia bangun melalui Sarekat Islam yang turut membesarkan
namanya seantero Nusantara. Tjokro justru berbagi, melakukan diseminasi
gagasan kepada semuanya, termasuk kepada tokoh-tokoh yang kemudian menghiasi
jagat sejarah bangsa ini. Seperti Soekarno, Semaun, Muso, dan Agus Salim.
Kenegarawanan Tjokro
juga diuji dengan pertentangannya dengan anak didiknya atas gagasan-gagasan
yang dibangunnya. Sejumlah anak didiknya seperti Semaun dan Muso memilih
strategi politik yang berbeda dengan dirinya. Namun, Tjokro tidak
memandangnya sebagai sebuah bencana. Tjokro sadar itu tidak lepas dari buah
didikannya agar setiap orang merdeka, bebas, dan dengan tanpa tekanan
memiliki pikiran serta pemahaman yang berbeda. Perbedaan adalah rahmat, bukan
azab.
Loyalitas Tjokro pada
gagasannyalah yang membuat dirinya harus menepi, sunyi, namun tetap dalam
derajat gagasan yang tinggi meskipun jauh dari panggung kekuasaan di akhir
hayatnya. Sosok itu pun kemudian dikenal sebagai raja tanpa mahkota. Pemimpin
tanpa kekuasaan. Sifat kenegarawanan itulah yang layak menjadi benih yang
disebarkan di bumi Nusantara sebagai sinyal penanda bahwa kekuasaan bukanlah
tujuan, kekuasaan politik hanyalah sarana dan alat untuk mencapai tujuan,
yakni kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.
Semangat tersebut
perlu dinyalakan kembali ketika kita melihat mulai padamnya kecintaan kita
kepada rakyat kecil, perhatian kita pada kepentingan publik, dan penghormatan
kita pada jejak sejarah bagaimana pendahulu dan pemimpin republik ini
berjuang hanya untuk kemaslahatan bersama. Bukan untuk dirinya maupun
kelompok.
Hijrah Politik
Dua pelajaran penting
dari Tjokroaminoto, yakni tentang ideologi perubahan dan kenegarawanan,
menjadi catatan penting sebagai modal bangsa ini untuk melakukan hijrah
politik. Hal itu tidak lepas dari sepanjang 15 tahun terakhir agenda
reformasi berjalan, yang tanpa diduga terjadi adalah lahirnya liberalisasi
politik sekaligus liberalisasi ekonomi. Ini menjadi potret bahwa gerakan
perubahan 1998 masih belum tuntas untuk mendekatkan kembali jarak antara
elite dan rakyat. Membuka mata hati elite untuk kepentingan rakyat sekaligus
menguatkan kembali jalinan kebangsaan kita yang kadang mudah terkoyak karena
kepentingan politik sesaat.
Demokrasi dibangun
harus dengan ilmu, bukan semata semangat an
sich. Bangsa juga harus berpedoman pada nilai, bukan semata pada jejak
sejarahnya. Politik atau siasat juga menjadi instrumen untuk mengantarkan
bangsa ini ke halaman perubahan. Maka menjadi penting bagi bangsa ini kembali
merenungkan ungkapan Tjokro di atas, setinggi-tingginya ilmu,
sepandai-pandainya siasat, dan semurni-murninya tauhid, sebagai nilai perubahan
yang mampu menjadi modal bagi bangsa ini untuk berubah.
Itulah nilai-nilai
hijrah yang ditanamkan Tjokro kepada kita. ”Gus, sudah sampai ke mana hijrah
kita?” tanya Tjokro kepada Agus Salim, rekan seperjuangannya di Sarekat
Islam. Pertanyaan Tjokro itulah yang semestinya kita jawab bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar