Hijrah
Profetik dan Islam Kosmopolitan
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif
Hidayatullah
dan UMJ
|
REPUBLIKA,
10 September
2018
Hijrah adalah peristiwa bersejarah
yang sangat penting dalam perjalanan dakwah Islam karena menjadi titik tolak
kemajuan peradaban umat. Sejatinya, hijrah merupakan gerakan
internasionalisasi Islam rahmatan lil ‘alamin yang berwawasan masa depan.
Karena itu, hijrah bukan sekadar migrasi geografis dari Makkah ke Yatsrib
(Madinah), tetapi merupakan strategi sivilisasi umat manusia.
Maka, spirit hijrah profetik
(kenabian) idealnya tidak dimaknai sebagai peristiwa biasa, tetapi harus
dijadikan momentum kebangkitan kesadaran keumatan dan kemanusiaan universal.
Karena sejak awal abad ke-14 Hijriyah lalu telah dicanangkan sebagai momentum
kebangkitan dan pembaruan pemikiran Islam.
Esensi nilai dari hijrah profetik
adalah transformasi dari minda jahiliyah, yakni kerusakan akidah tauhid, dekadensi
moral, deviasi interaksi sosial kultural masyarakat Makkah menuju khaira
ummah Madinah. Hijrah profetik itu mendidik umat membebaskan diri dari
kungkungan sistem jahiliyah menuju kebangkitan dan pembangunan peradaban
Islam berkemajuan dan berwawasan kosmopolitan.
Aktualisasi
hijrah profetik
Implikasi universalitas Islam yang
kosmopolitan itu adalah berkembangnya Islam sebagai agama dengan penganut
mayoritas di Indonesia. Namun, apakah hijrah profetik telah menjadi spirit
dan napas perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia menuju Indonesia
berperadaban maju melalui proses humanisasi, transformasi, dan transendensi
kehidupan? Tampaknya, ini masih jauh dari harapan.
Di usia kemerdekaannya ke-73 dan
di tahun politik, bangsa ini masih dihadapkan pada berbagai persoalan
kompleks dan pelik. Di antaranya, korupsi berjamaah, perpecahan bangsa akibat
kontestasi politik kekuasaan, dan anjloknya nilai tukar rupiah.
Persoalan tersebut memang tidak
mudah diselesaikan. Namun, spirit hijrah profetik menjanjikan solusi
strategis karena hijrah profetik mengharuskan kita memiliki komitmen kuat
untuk berubah.
Hijrah profetik itu menempuh jalan
terjal mendaki. Karena itu, hijrah profetik membelajarkan bagaimana
mensyukuri kehidupan, mendayagunakan, dan menebar kemanfaatan bagi kehidupan
kebangsaan dan keumatan.
Gemuruh dan gemerlap tahun
politik, tidak boleh mengalihkan perhatian dan komitmen mulia untuk
menjadikan bangsa ini tetap solid dan kokoh dalam berketuhanan,
berkemanusiaan, bersinergi dalam persatuan, berdemokrasi dan berekonomi
kerakyatan, serta mewujudkan keadilan sosial.
Hijrah profetik itu membangun dan
memajukan manusia, bukan sekadar membangun sarana dan infrastruktur untuk
pencitraan politik. Hijrah profetik itu, membebaskan hegemoni asing dan aseng
dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Karena itu, hijrah profetik harus
diaktualisasikan dalam gerakan kebangkitan dan pembebasan bangsa ini dari
budaya korupsi, jeratan utang, keterpurukan ekonomi, ketidakadilan hukum dan
sosial ekonomi, serbuan narkoba, kekisruhan politik, ancaman disintegrasi,
maraknya persekusi dan intimidasi menuju keadaban publik, kearifan
berpolitik, dan kesantunan berkomunikasi di ruang publik.
Hijrah profetik yang diteladankan
Nabi SAW menginspirasi pentingnya persatuan dan persaudaraan kebangsaan dan
keumatan sebab strategi politik hijrah yang dikembangkan bukanlah politik
kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Justru sebaliknya, ini melahirkan
politik kebangsaan dan keumatan yang berorientasi kemasalahatan hidup
bersama. Ketika sampai di Quba, Nabi SAW membangun masjid sebagai pusat
dakwah, pendidikan, dan persatuan umat.
Demikian pula, ketika sampai di
Yatsrib, Nabi membangun Masjid Nabawi sebagai pusat pembangunan peradaban.
Politik keumatan dan kebangsaan yang diprakarsai Nabi juga diaktualisasikan
dalam menata dan mengharmonisasi masyarakat Madinah yang plural.
Nabi memediasi, menyatukan, dan
mempersaudarakan masyarakat Madinah yang terdiri atas kaum Anshar, Muhajirin,
komunitas Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya dalam satu ikatan kebangsaan
dan keluarga besar Madinah.
Hijrah
profetik mengajarkan meski pilihan politik beda, tapi tetap bersaudara
Dengan Piagam Madinah, Nabi
memprakarsai pembangunan masyarakat madani yang bersatu, bersinergi, saling
berkolaborasi dan berbagi, sehingga negeri yang aman, damai, sejahtera,
berkeadilan dan mendapat ampunan Allah itu, menjadi nyata
Politik keumatan dan kebangsaan
yang diteladankan Nabi esensinya adalah politik kemaslahatan dan keadaban. Di
tahun politik ini, politik kemaslahan umat dan bangsa harus menjadi orientasi
dan strategi.
Dengan Pancasila dan UUD 1945,
bangsa kita sangat diharapkan mampu merawat kesepakatan dan komitmen bersama
untuk menjaga keutuhan NKRI. Politik kemaslahatan Nabi dalam memajukan
Madinah menunjukkan, kepentingan bersama (nasional) harus didahulukan dan
diutamakan daripada kepentingan pribadi, golongan, dan komunitas tertentu.
Pluralitas dan multikulturalitas
warga masyarakat Madinah tidak boleh menjadi penghalang diwujudkannya sinergi
dan kolaborasi dalam membangun dan memajukan peradaban Islam.
Politik keumatan dan kebangsaan
Nabi juga diorientasikan kepada pembangunan sistem hukum, sosial ekonomi, dan
sosial politik yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), kesejahteraan,
dan keadilan sosial.
Setelah kaum Muhajirin dan Anshar
dipersaudarakan dan dipersatukan, pengembangan ekonomi umat dan bangsa
dikembangkan dengan menggeliatkan pasar rakyat Madinah.
Para pebisnis dari kaum Muhajirin
seperti Utsman ibn Affan dan Abdurrahman ibn Auf diminta oleh Nabi untuk
mengembangkan pasar Madinah dan ekonomi kreatif sehingga pasar dan kehidupan
ekonomi mengalami kemajuan pesat.
Akhir kalam, hijrah profetik
mendidik umat memiliki soliditas dan sinergitas konstruktif, terutama di
tahun politik ini, dalam membangun sistem ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan
politik yang sehat dan bermartabat. Politik keumatan dan kebangsaan berbasis
hijrah profetik idealnya dapat mengantarkan umat dan bangsa kepada kedamaian,
kerukunan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Karena itu, hijrah profetik harus
dibarengi pendidikan politik kemaslahatan agar warga bangsa ini memiliki
kedewasaan dan kearifan dalam berpolitik dengan keteladanan yang baik dari
pemimpin umat dan bangsa. Pendidikan politik kemasalahatan harus dimulai dari
peneguhan komitmen bersama, mengedepankan kemaslahatan umat, dan bangsa,
bukan kepentingan komunitas, golongan, dan partai tertentu.
Hijrah profetik harus menyadarkan
kita semua bahwa pilihan politik boleh beda, tapi kita tetap bersaudara,
berkeluarga, dan berada di rumah besar Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar