Vaksinasi
Rupiah
Anton Hendranata ; Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia,
Tbk
|
KOMPAS,
13 September
2018
Perekonomian dunia
tampaknya tidak tambah mudah, tidak bersahabat, dan makin sulit diprediksi ke
depannya. Awan ketidakpastian cukup tebal dan menyekap kondisi ekonomi
global.
Masalah datang silih
berganti di negara maju dan berkembang, bak gelombang laut yang bersahutan.
Setiap negara cenderung memproteksi diri masing-masing, ada kecenderungan
kebijakan moneter dan fiskal dunia menjadi makin tidak sejalan dan harmonis.
Divergensi kebijakan ekonomi sudah terjadi dan mungkin akan terus berlanjut
di dunia.
Akibatnya, suplai dollar
Amerika Serikat (AS) cenderung tidak berimbang dan tidak pernah mencapai
titik keseimbangan yang wajar. Suplai dollar AS bisa sangat berlebihan di
pasar pada saat tertentu, kemudian bisa berkurang seketika. Mata uang dunia
terhadap dollar AS cenderung melemah, sulit sekali stabil dalam jangka
menengah dan panjang. Dunia sangat disibukkan dengan solusi jangka pendek
yang sifatnya sangat semu dan sementara. Memang jadi terdengar sangat naif,
tetapi itu realitas yang terjadi sekarang.
Kondisi ini menyebabkan
perekonomian global makin tidak optimal dan sulit sekali mencapai potensial
output-nya. Lihat saja pertumbuhan ekonomi dunia, pemulihan AS cenderung
berjalan seorang diri, China cenderung melambat, sedangkan negara maju lain
masih dalam tahap konsolidasi, bahkan cenderung melemah juga. Kemudian,
perekonomian-perekonomian yang sedang bertumbuh (emerging markets), kenaikan
pertumbuhan ekonominya relatif terbatas, padahal ruang pertumbuhannya masih
lega karena potensi output-nya masih tinggi.
Oleh karena itu, sudah
saatnya rupiah divaksinasi agar kebal menghadapi gejolak finansial dan
ekonomi global. Rupiah harus diperkuat dengan kebijakan moneter, fiskal, dan
sektor riil secara bertahap dan konsisten dari waktu ke waktu. Rupiah harus
memiliki rompi antipeluru dalam menghadapi serangan gejolak eksternal.
Untuk itu, kita bisa mulai
dari teori makroekonomi dasar, melalui persamaan identitas: Ekspor (X) –
Impor (M) = Saving (S) – Investasi (I). Dengan persamaan sederhana ini, kita
bisa menjawab mengapa rupiah selalu tertekan ketika ada gejolak eksternal
terjadi. Di atas kertas, jawabannya sangat mudah bagaimana rupiah bisa kuat
(robust) dan stabil. Kita tidak usah berpikir dengan teori makroekonomi
canggih dan maju (advance).
Negara ini hanya
membutuhkan kebijakan yang sinkron dan dapat diimplementasikan oleh seluruh
insan ekonomi (pemerintah, Bank Indonesia, sektor riil, dan masyarakat), yang
bisa menambah keyakinan investor domestik dan asing terhadap rupiah.
Memperkuat
pertahanan
Permasalahan utama
struktural ekonomi Indonesia adalah defisit neraca transaksi berjalan yang
merupakan penyakit lama. Indonesia cenderung mengalami kekurangan suplai
dollar AS dari sektor riil, yang biasanya ditutupi oleh neraca finansial dan
kapital melalui investasi asing langsung (FDI) dan investasi portofolio
(saham dan obligasi). Sektor riil Indonesia sangat bergantung pada dollar AS,
bahkan sulit bersaing dengan negara lain untuk menghasilkan dollar AS.
Apalagi era bonanza
komoditas ekspor primer sudah berakhir masa kedigdayaannya. Sektor industri
manufaktur jauh dari panggang api untuk dapat bersaing dengan produk luar.
Kadang-kadang, produksi domestik tidak mampu bersaing dengan produk impor
karena miskin produktivitas dan inovasi. Alhasil, menambah tekanan terhadap
rupiah karena tingginya permintaan dollar AS.
Jadi, apa yang harus kita
lakukan? Negara ini seharusnya jauh lebih kuat dan sehat dibandingkan dengan
20 tahun lalu serta sudah terbiasa dan teruji menghadapi situasi sulit.
Kuncinya sangat sederhana, pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa
Keuangan, pelaku usaha, dan masyarakat harus memiliki spirit yang sama,
bahu-membahu memperkuat antibodi rupiah, bukannya saling menyalahkan satu
sama lain.
Saat ini, fundamental
ekonomi Indonesia seharusnya jauh lebih baik dibandingkan dengan krisis
ekonomi dan moneter 1998. Namun, fundamental ekonomi ini bisa tidak mampu
meredam ekspektasi liar pelemahan rupiah. Jadi, sangat dibutuhkan cerita
positif dan kebijakan jangka sangat pendek yang bisa meyakinkan pelaku
ekonomi dan masyarakat bahwa rupiah akan segera kembali normal, untuk
membalikkan kondisi abnormal menjadi normal dan mudah diprediksi.
BI sudah dengan segala
rupa mengatasi pelemahan rupiah. Menaikkan suku bunga acuan BI (BI7DRR)
secara signifikan, intervensi di pasar valuta asing (valas), membeli obligasi
pemerintah, dan menyediakan instrumen moneter untuk memperkuat mekanisme
penyerapan dana valas hasil ekspor. Namun, tampaknya, dampak positifnya
relatif terbatas dan sementara. Rupiah cenderung merespons menguat sebentar,
lalu melemah lagi.
Ada tiga pilihan instrumen
BI untuk menyerap dana valas (FX) hasil ekspor ke perekonomian domestik,
yaitu: (1) konversi jual FX (spot, swap, forward) kepada bank komersial
domestik, (2) penempatan pada Deposito Valas/Surat Berharga Bank Indonesia
(TD Valas/SBBI Valas), dan (3) penempatan pada Special Account Deposit (SDA).
Eksportir pasti akan memanfaatkan fasilitas ini kalau biaya swap FX dan swap
lindung nilai FX sangat murah. Begitu juga dengan TD atau SBBI valas dengan
bunga sangat menarik dan tinggi. Jadi, peluang rupiah melemah terus menjadi
lebih rendah dalam jangka pendek.
Harus diakui, tidak hanya
BI dan tidak mungkin BI berjibaku sendirian untuk menjaga stabilitas rupiah
karena tekanan eksternal sangat kuat (dollar AS cenderung menguat searah
terhadap mata uang negara lain). Masalah utama defisit neraca transaksi
berjalan (NTB) harus segera diselesaikan karena ini biang kerok mengapa
rupiah sering tertekan.
Kembali ke persamaan:
Ekspor (X) – Impor (M) = Saving (S) – Investasi (I). Selama ini, ketika
defisit NTB tinggi, yang mengakibatkan rupiah melemah signifikan. Diobati
dengan mengerem pertumbuhan ekonomi, dengan menaikkan bunga acuan BI, dengan
harapan impor barang konsumsi, barang modal, dan bahan baku turun signifikan
sehingga neraca perdagangan (X-M) jadi surplus dan tekanan terhadap NTB
berkurang, defisit menurun, bahkan jika memungkinkan surplus.
Untuk saat ini, apa yang
dilakukan pemerintah tampaknya berfokus mengurangi impor, yaitu: (1)
pembatasan impor dengan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor barang konsumsi,
(2) menunda proyek infrastruktur pemerintah yang kandungan impornya tinggi,
(3) peningkatan komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek infrastruktur, dan
(4) Biodiesel B20 (bahan bakar diesel campuran minyak sawit/nabati 20 persen
dan minyak bumi 80 persen) sebagai substitusi impor. Selain itu, pemerintah
mencoba mendapatkan suplai dollar AS dengan menggalakkan sektor pariwisata
dan memberikan insentif kepada industri yang berorientasi ekspor.
Reformasi
struktural
Semua kebijakan di atas
baik, tetapi belum cukup membuat perekonomian Indonesia kuat dan robust
menghadapi gejolak eksternal dalam jangka panjang. Indonesia perlu reformasi
struktural ekonomi besar-besaran, masif, konsisten, dan tepat sasaran.
Kebijakan moneter dan fiskal harus menyerang seperti striker bola, boleh
bertahan, tetapi hanya sekali-kali saja. Solusi jangka menengah dan panjang
masalah struktural defisit NTB, yang bisa membuat Indonesia menjadi negara
maju, adalah melalui peningkatan tabungan masyarakat dan mendorong ekspor industri
manufaktur.
Ini tak mudah karena
berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja, teknologi, dan inovasi. Ketika
produktivitas tenaga kerja meningkat signifikan dan makin efisien, pendapatan
masyarakat makin meningkat. Industri kita juga makin kompetitif serta
produknya bisa diekspor ke luar negeri dan bisa menambah suplai dollar AS.
Saya kira pemerintah sudah
sangat menyadari lemahnya produktivitas tenaga kerja ini sejak lama.
Ketidaksinkronan antara dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan pekerjaan
rumah lama yang tak pernah selesai. Pendidikan vokasi yang dicanangkan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, saya kira harus kita dukung sepenuhnya
untuk menutupi gap kebutuhan tenaga kerja berkualitas. Dana pendidikan yang
sangat besar, yaitu 20 persen dari total belanja pemerintah, merupakan angka
yang fantastis yang bisa membuat dunia pendidikan semakin bisa bersaing di
tingkat global asalkan pemanfaatannya efektif untuk membangun manusianya,
bukan hanya fisik gedungnya. Pembangunan infrastruktur yang terukur, dengan
pilihan prioritas yang tepat, bisa membuat investasi naik signifikan.
Apabila ini dapat
diimplementasikan secara bertahap, konsisten, dan disiplin, saya cukup yakin
rupiah akan memiliki antibodi yang kuat menghadapi tekanan ekonomi global apa
pun. Vaksinasi rupiah yang tepat kadarnya membuat perekonomian Indonesia imun
sehingga pertumbuhan ekonomi domestik dapat menuju keseimbangan yang
berkesinambungan. Indonesia pasti tak perlu terbeban utang dalam membiayai
pembangunannya, tidak akan pernah kekurangan suplai dollar AS, dan kita tidak
pernah mendengar lagi defisit neraca transaksi berjalan. Bahkan, Indonesia
bisa menjadi berkat bangsa-bangsa karena sudah menjadi kreditor (bukan lagi
debitor). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar