Selasa, 18 September 2018

Vaksinasi Rupiah

Vaksinasi Rupiah
Anton Hendranata  ;  Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk
                                                    KOMPAS, 13 September 2018



                                                           
Perekonomian dunia tampaknya tidak tambah mudah, tidak bersahabat, dan makin sulit diprediksi ke depannya. Awan ketidakpastian cukup tebal dan menyekap kondisi ekonomi global.

Masalah datang silih berganti di negara maju dan berkembang, bak gelombang laut yang bersahutan. Setiap negara cenderung memproteksi diri masing-masing, ada kecenderungan kebijakan moneter dan fiskal dunia menjadi makin tidak sejalan dan harmonis. Divergensi kebijakan ekonomi sudah terjadi dan mungkin akan terus berlanjut di dunia.

Akibatnya, suplai dollar Amerika Serikat (AS) cenderung tidak berimbang dan tidak pernah mencapai titik keseimbangan yang wajar. Suplai dollar AS bisa sangat berlebihan di pasar pada saat tertentu, kemudian bisa berkurang seketika. Mata uang dunia terhadap dollar AS cenderung melemah, sulit sekali stabil dalam jangka menengah dan panjang. Dunia sangat disibukkan dengan solusi jangka pendek yang sifatnya sangat semu dan sementara. Memang jadi terdengar sangat naif, tetapi itu realitas yang terjadi sekarang.
Kondisi ini menyebabkan perekonomian global makin tidak optimal dan sulit sekali mencapai potensial output-nya. Lihat saja pertumbuhan ekonomi dunia, pemulihan AS cenderung berjalan seorang diri, China cenderung melambat, sedangkan negara maju lain masih dalam tahap konsolidasi, bahkan cenderung melemah juga. Kemudian, perekonomian-perekonomian yang sedang bertumbuh (emerging markets), kenaikan pertumbuhan ekonominya relatif terbatas, padahal ruang pertumbuhannya masih lega karena potensi output-nya masih tinggi.

Oleh karena itu, sudah saatnya rupiah divaksinasi agar kebal menghadapi gejolak finansial dan ekonomi global. Rupiah harus diperkuat dengan kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil secara bertahap dan konsisten dari waktu ke waktu. Rupiah harus memiliki rompi antipeluru dalam menghadapi serangan gejolak eksternal.

Untuk itu, kita bisa mulai dari teori makroekonomi dasar, melalui persamaan identitas: Ekspor (X) – Impor (M) = Saving (S) – Investasi (I). Dengan persamaan sederhana ini, kita bisa menjawab mengapa rupiah selalu tertekan ketika ada gejolak eksternal terjadi. Di atas kertas, jawabannya sangat mudah bagaimana rupiah bisa kuat (robust) dan stabil. Kita tidak usah berpikir dengan teori makroekonomi canggih dan maju (advance).

Negara ini hanya membutuhkan kebijakan yang sinkron dan dapat diimplementasikan oleh seluruh insan ekonomi (pemerintah, Bank Indonesia, sektor riil, dan masyarakat), yang bisa menambah keyakinan investor domestik dan asing terhadap rupiah.

Memperkuat pertahanan

Permasalahan utama struktural ekonomi Indonesia adalah defisit neraca transaksi berjalan yang merupakan penyakit lama. Indonesia cenderung mengalami kekurangan suplai dollar AS dari sektor riil, yang biasanya ditutupi oleh neraca finansial dan kapital melalui investasi asing langsung (FDI) dan investasi portofolio (saham dan obligasi). Sektor riil Indonesia sangat bergantung pada dollar AS, bahkan sulit bersaing dengan negara lain untuk menghasilkan dollar AS.

Apalagi era bonanza komoditas ekspor primer sudah berakhir masa kedigdayaannya. Sektor industri manufaktur jauh dari panggang api untuk dapat bersaing dengan produk luar. Kadang-kadang, produksi domestik tidak mampu bersaing dengan produk impor karena miskin produktivitas dan inovasi. Alhasil, menambah tekanan terhadap rupiah karena tingginya permintaan dollar AS.

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Negara ini seharusnya jauh lebih kuat dan sehat dibandingkan dengan 20 tahun lalu serta sudah terbiasa dan teruji menghadapi situasi sulit. Kuncinya sangat sederhana, pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan, pelaku usaha, dan masyarakat harus memiliki spirit yang sama, bahu-membahu memperkuat antibodi rupiah, bukannya saling menyalahkan satu sama lain.

Saat ini, fundamental ekonomi Indonesia seharusnya jauh lebih baik dibandingkan dengan krisis ekonomi dan moneter 1998. Namun, fundamental ekonomi ini bisa tidak mampu meredam ekspektasi liar pelemahan rupiah. Jadi, sangat dibutuhkan cerita positif dan kebijakan jangka sangat pendek yang bisa meyakinkan pelaku ekonomi dan masyarakat bahwa rupiah akan segera kembali normal, untuk membalikkan kondisi abnormal menjadi normal dan mudah diprediksi.

BI sudah dengan segala rupa mengatasi pelemahan rupiah. Menaikkan suku bunga acuan BI (BI7DRR) secara signifikan, intervensi di pasar valuta asing (valas), membeli obligasi pemerintah, dan menyediakan instrumen moneter untuk memperkuat mekanisme penyerapan dana valas hasil ekspor. Namun, tampaknya, dampak positifnya relatif terbatas dan sementara. Rupiah cenderung merespons menguat sebentar, lalu melemah lagi.

Ada tiga pilihan instrumen BI untuk menyerap dana valas (FX) hasil ekspor ke perekonomian domestik, yaitu: (1) konversi jual FX (spot, swap, forward) kepada bank komersial domestik, (2) penempatan pada Deposito Valas/Surat Berharga Bank Indonesia (TD Valas/SBBI Valas), dan (3) penempatan pada Special Account Deposit (SDA). Eksportir pasti akan memanfaatkan fasilitas ini kalau biaya swap FX dan swap lindung nilai FX sangat murah. Begitu juga dengan TD atau SBBI valas dengan bunga sangat menarik dan tinggi. Jadi, peluang rupiah melemah terus menjadi lebih rendah dalam jangka pendek.

Harus diakui, tidak hanya BI dan tidak mungkin BI berjibaku sendirian untuk menjaga stabilitas rupiah karena tekanan eksternal sangat kuat (dollar AS cenderung menguat searah terhadap mata uang negara lain). Masalah utama defisit neraca transaksi berjalan (NTB) harus segera diselesaikan karena ini biang kerok mengapa rupiah sering tertekan.

Kembali ke persamaan: Ekspor (X) – Impor (M) = Saving (S) – Investasi (I). Selama ini, ketika defisit NTB tinggi, yang mengakibatkan rupiah melemah signifikan. Diobati dengan mengerem pertumbuhan ekonomi, dengan menaikkan bunga acuan BI, dengan harapan impor barang konsumsi, barang modal, dan bahan baku turun signifikan sehingga neraca perdagangan (X-M) jadi surplus dan tekanan terhadap NTB berkurang, defisit menurun, bahkan jika memungkinkan surplus.

Untuk saat ini, apa yang dilakukan pemerintah tampaknya berfokus mengurangi impor, yaitu: (1) pembatasan impor dengan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor barang konsumsi, (2) menunda proyek infrastruktur pemerintah yang kandungan impornya tinggi, (3) peningkatan komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek infrastruktur, dan (4) Biodiesel B20 (bahan bakar diesel campuran minyak sawit/nabati 20 persen dan minyak bumi 80 persen) sebagai substitusi impor. Selain itu, pemerintah mencoba mendapatkan suplai dollar AS dengan menggalakkan sektor pariwisata dan memberikan insentif kepada industri yang berorientasi ekspor.

Reformasi struktural

Semua kebijakan di atas baik, tetapi belum cukup membuat perekonomian Indonesia kuat dan robust menghadapi gejolak eksternal dalam jangka panjang. Indonesia perlu reformasi struktural ekonomi besar-besaran, masif, konsisten, dan tepat sasaran. Kebijakan moneter dan fiskal harus menyerang seperti striker bola, boleh bertahan, tetapi hanya sekali-kali saja. Solusi jangka menengah dan panjang masalah struktural defisit NTB, yang bisa membuat Indonesia menjadi negara maju, adalah melalui peningkatan tabungan masyarakat dan mendorong ekspor industri manufaktur.

Ini tak mudah karena berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja, teknologi, dan inovasi. Ketika produktivitas tenaga kerja meningkat signifikan dan makin efisien, pendapatan masyarakat makin meningkat. Industri kita juga makin kompetitif serta produknya bisa diekspor ke luar negeri dan bisa menambah suplai dollar AS.

Saya kira pemerintah sudah sangat menyadari lemahnya produktivitas tenaga kerja ini sejak lama. Ketidaksinkronan antara dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan pekerjaan rumah lama yang tak pernah selesai. Pendidikan vokasi yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, saya kira harus kita dukung sepenuhnya untuk menutupi gap kebutuhan tenaga kerja berkualitas. Dana pendidikan yang sangat besar, yaitu 20 persen dari total belanja pemerintah, merupakan angka yang fantastis yang bisa membuat dunia pendidikan semakin bisa bersaing di tingkat global asalkan pemanfaatannya efektif untuk membangun manusianya, bukan hanya fisik gedungnya. Pembangunan infrastruktur yang terukur, dengan pilihan prioritas yang tepat, bisa membuat investasi naik signifikan.

Apabila ini dapat diimplementasikan secara bertahap, konsisten, dan disiplin, saya cukup yakin rupiah akan memiliki antibodi yang kuat menghadapi tekanan ekonomi global apa pun. Vaksinasi rupiah yang tepat kadarnya membuat perekonomian Indonesia imun sehingga pertumbuhan ekonomi domestik dapat menuju keseimbangan yang berkesinambungan. Indonesia pasti tak perlu terbeban utang dalam membiayai pembangunannya, tidak akan pernah kekurangan suplai dollar AS, dan kita tidak pernah mendengar lagi defisit neraca transaksi berjalan. Bahkan, Indonesia bisa menjadi berkat bangsa-bangsa karena sudah menjadi kreditor (bukan lagi debitor). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar