Radikalisme:
Antara Suriah dan Indonesia
Benarkah Syrianisasi sedang digulirkan
di Indonesia?
M. Najih Arromadoni ; Alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus;
Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia
(Alsyami)
|
DETIKNEWS,
31 Agustus
2018
Krisis politik dan
kemanusiaan yang bermula sejak 2011 telah meluluhlantakkan banyak negara
Timur Tengah, seperti Libya, Tunisia, Yaman, dan Suriah. Gerakan propaganda
kelompok radikal yang mengatasnamakan revolusi (thaurah) ini sudah
berkepanjangan dan gagal memenuhi janji-janji manisnya, berupa keadilan dan
kesejahteraan.
Gerakan yang dimotori
kelompok-kelompok pro-kekerasan ini memang awalnya memikat, karena dibungkus
dan disembunyikan di balik kedok-kedok retorik. Media Barat sampai menyebut
gerakan mereka sebagai Musim Semi Arab (Arab Spring/al-Rabi' al-'Arabi),
digambarkan sebagai proses demokratisasi, berlawanan dengan kenyataan yang
kemudian tampak, yaitu islamisasi versi khilafah atau khilafatisasi.
Berdirilah kemudian khilafah di Suriah, Irak, dan Libya. Ikhwanul Muslimin
saat itu memenangkan pemilu di Mesir dan Tunisia.
Demi kepentingan sesaat
dan ketika sudah terdesak, mereka memang gemar menggunakan slogan-slogan
demokrasi, semisal mereka akan mengerek tinggi-tinggi panji kebebasan ketika
perbuatan melanggar hukum mereka ditindak, karena yang sedang dilakukan oleh
mereka sejatinya adalah membajak demokrasi. Sejak awal mereka meyakini bahwa
demokrasi adalah produk kafir, maka kapan saja ada waktu mereka akan
menggerusnya.
Keberhasilan kelompok
radikal dalam membabakbelurkan Timur Tengah menginspirasi kelompok radikal di
berbagai belahan dunia lain. Jejaring mereka semakin aktif di Asia, Eropa,
Afrika, Amerika sampai Australia, berusaha memperluas kekacauan ke berbagai
wilayah, dengan harapan bisa mewujudkan cita-cita utopis mereka; mendirikan
khilafah di seluruh muka bumi.
Wacana syrianisasi
kemudian sampai ke Indonesia, semakin ramai disuarakan pada tahun-tahun
belakangan, paling tidak mulai 2016. Banyak pihak mensinyalir ada
gerakan-gerakan yang berusaha menjadikan Indonesia jatuh ke dalam krisis
sebagaimana menimpa Suriah.
Fakta-fakta kemudian
bermunculan; banyak pola krisis Suriah yang disalin oleh kelompok radikal,
menjadi sebuah gerakan-gerakan di Indonesia. Jaringan-jaringan kelompok
radikal di Indonesia juga semakin terang terkoneksi dengan aktor-aktor krisis
Suriah. Sebagai contoh Indonesian Humanitarian Relief (IHR), lembaga
kemanusiaan yang dipimpin seorang ustaz berinisial BN, yang logistiknya
digunakan untuk mendukung Jaysh al-Islam, salah satu kelompok teroris di
Suriah.
Pola men-Suriah-kan
Indonesia setidaknya tampak dalam beberapa pergerakan berikut; pertama,
politisasi agama. Indikasi menguatnya penggunaan kedok agama demi kepentingan
kekuasaan, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah, terlihat dalam banyak hal,
di antaranya adalah penggunaan masjid sebagai markas keberangkatan
demonstran. Jika di Damaskus masjid besarnya Jami' Umawi, maka di Jakarta
Masjid Istiqlal.
Adakah yang pernah
menghitung, berapa kali Masjid Istiqlal diduduki pelaku berangkat
demonstrasi? Pelaksanaannya pun kebanyakan di hari Jumat seusai waktu Salat
Jumat, didahului dengan hujatan politik di mimbar kotbah, sehingga mengelabui
pandangan masyarakat terhadap agama yang sakral dan politik yang profan.
Persis dengan apa yang pernah terjadi di Suriah menjelang krisis. Masjid pun
berubah menjadi tempat yang tidak nyaman, gerah, dan tidak lagi menjadi
tempat 'berteduh'.
Hari Jumat, yang
semestinya menjadi hari ibadah mulia, berubah menjadi hari-hari politik dan
kecemasan, atas kekhawatiran terjadinya chaos. Muncul kemudian istilah
"Jumat Kemarahan" sebagai ajakan meluapkan kemarahan di hari Jumat
--bukankah itu hanya terjemahan dari "Jumat al-Ghadab" yang pernah
menjadi slogan politik pemberontak Suriah, diserukan oleh Yusuf al-Qardhawi,
tokoh Ikhwanul Muslimin?
Kedua, menghilangkan
kepercayaan kepada pemerintah. Dilakukan dengan terus-menerus menebar fitnah
murahan terhadap pemerintah. Sesekali presiden Suriah Basyar al-Assad dituduh
Syiah, sesekali dituduh kafir, dan pembantai Sunni. Kelompok makar bahkan
menghembuskan isu bahwa al-Assad mengaku Tuhan, disebarkanlah foto bergambar
poster al-Assad dengan beberapa orang sujud di atasnya.
Dalam konteks Indonesia,
Anda bisa mengingat-ingat sendiri, presiden Indonesia pernah difitnah apa
saja, mulai dari Kristen, Cina, Komunis, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama,
dan sederet fitnah lainnya. Tidak usah heran dengan fitnah-fitnah tersebut,
yang muncul dari kelompok yang merasa paling 'Islam', karena bagi mereka
barangkali fitnah adalah bagian dari jihad yang misinya mulia, dan ciri
universal pengikut Khawarij adalah mengkafirkan pemerintah.
Ketiga, pembunuhan
karakter ulama. Dalam proses menghadapi krisis, ulama yang benar-benar ulama
tidak lepas dari panah fitnah, bahkan yang sekaliber Syeikh Sa'id Ramadhan
al-Buthi, yang pengajiannya bertebaran di berbagai saluran televisi Timur
Tengah, kitabnya mengisi rak-rak perpustakaan kampus-kampus dunia Islam, dan fatwa-fatwanya
menjadi rujukan. Begitu berseberangan pandangan politik dengan mereka,
seketika dituduh sebagai penjilat istana dan Syiah (padahal beliau adalah
pejuang Aswaja yang getol), hingga berujung pada syahidnya beliau bersama
sekitar 45 muridnya di masjid al-Iman Damaskus, saat pengajian tafsir. Beliau
dibom karena pandangan politik kebangsaannya yang tidak sama dengan kelompok
pembom bunuh diri.
Jika demikian yang terjadi
di Suriah, kira-kira Anda paham kan dengan apa yang terjadi di Indonesia, kenapa
Buya Syafi'i Ma'arif dianggap liberal, KH. Mustofa Bisri juga dianggap
liberal, Prof Quraish Syihab dituduh Syiah, Prof Said Aqil Siraj juga dituduh
Syiah, bahkan KH. Ma'ruf Amin atau TGB Zainul Majdi yang pernah
dijunjung-junjung oleh mereka, kini harus menanggung hujaman-hujaman fitnah
dari kelompok yang sama, ketika propaganda politiknya tidak dituruti? Setelah
ulama yang hakiki, mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup, mereka bunuh
karakternya, maka mereka memunculkan ustaz-ustazah dadakan yang punya
kapasitas entertainer yang hanya mampu berakting layaknya ulama.
Keempat, meruntuhkan
sistem dan pelaksana sistem negara. Misi utama kelompok radikal adalah
meruntuhkan sistem yang ada, dan menggantinya dengan sistem yang ideal
menurut mereka, yaitu khilafah atau negara yang secara formalitas syariah,
meski substansinya tidak menyentuh syariah sama sekali. Khilafah bagi mereka
layaknya 'lampu ajaib' yang bisa memberi apa saja dan menyelesaikan masalah
apa saja. Tidak sadar bahwa berbagai kelompok saling membunuh dan berperang
di Timur Tengah karena sedang berebut mendirikan khilafah, dan ujungnya
adalah kebinasaan.
Saat kelompok makar di
Suriah berusaha meruntuhkan sistem dan pelaksana negara, mereka
mengkampanyekan slogan al-sha'b yurid isqat al-nizam (rakyat menghendaki
rezim turun) dan irhal ya Basyar (turunlah Presiden Basyar). Slogan dengan
fungsi yang sama di-copy paste oleh jaringan mereka di Indonesia, jadilah
gerakan dan tagar '2019 Ganti Presiden'!
Syrianisasi sedang
digulirkan di negara kita. Pola-pola yang sama ketika kelompok radikal
menghancurkan Suriah sedang disalin untuk menghancurkan negara kita. Bedanya
Suriah sudah merasakan penyesalan dan ingin rekonsiliasi, merambah jalan
panjang membangun kembali negara mereka. Sedangkan, kita baru saja memulai.
Jika kita tidak berusaha keras menghadang upaya mereka, maka arah jalan
Indonesia menjadi Suriah kedua hanya persoalan waktu. Semoga itu tidak pernah
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar