Supaya
Tak Lupa Sejarah
Maria Hartiningsih ; Pembelajar dan Penulis, Tinggal di
Tangerang
|
KOMPAS,
13 September
2018
Fifi adalah nama panggilan
Salma Safitri. Ia aktivis Solidaritas Perempuan di Jakarta, yang sejak 10
tahun lalu menepi ke Batu, Jawa Timur. Dua pekan lalu saya menyambangi ibu
tiga anak itu di Dusun Kapru, Desa Gunungsari.
Ditingkahi suhu 18 derajat
celsius, kami mengenang masa-masa akhir tahun 1990-an sampai awal tahun
2000-an, ketika perempuan terlibat dalam aksi damai menolak kekerasan dalam
konflik yang di didasari prasangka etnis dan agama di beberapa daerah.
Selama bertahun-tahun saya
menemani aktivis perempuan mengkritisi makin masifnya upaya menggunakan tubuh
perempuan sebagai ”tanda” untuk menunjukkan kuasa ideologi melalui beragam
peraturan daerah.
Sampai sebelum tahun 2014,
para aktivis solid memperjuangkan kepentingan praktis dan strategis dari
sejumlah kelompok perempuan, melintasi kelas, ras, etnis, dan agama. Kami
masih meyakini solidaritas politik antarperempuan, sisterhood is powerful
(Bell Hooks, 1984).
Setelah reformasi, semakin
banyak perempuan memasuki ranah politik formal untuk ikut mengawal proses
demokrasi dari dalam. Namun, gambaran ideal tentang perjuangan dengan cepat
terlibas ideologi politik parpol.
Sebagai contoh, ketika
terjadi pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan laki-laki anggota
legislatif, perempuan politisi masuk jebakan conspiracy of silence, dibungkam
oleh kuasa parpol dalam urusan perpolitikan di DPR.
Sisterhood is powerful tak
lagi punya nyawa. Untung Komnas Perempuan selalu waspada.
Pembelaan tanpa syarat
dari perempuan untuk perempuan sebenarnya tidak selalu bisa diandaikan,
kecuali telah melalui proses sangat panjang untuk sampai kematangan
berpolitik.
Ketika kasus-kasus
pelecehan seksual terkuak di Hollywood dan menggelinding bagai bola salju,
Sarah Huckabee Sanders malah menepis tuduhan 20 perempuan atas pelecehan
seksual yang dilakukan Donald Trump. Sanders, manajer kampanye Trump dan
Sekretaris Pers Gedung Putih ke-29, bahkan balik menuduh para perempuan itu
sebagai pendusta.
Sejarah mencatat, Trump
memenangi pilpres di AS dengan dukungan perempuan yang menopang populisme
otoriter; politik yang menyebar tak terbendung di Eropa, Amerika Latin, dan
di belahan lain dunia.
Saya teringat wawancara
dengan Ziba Mir-Hosseini, feminis-antropolog kelahiran Iran, pakar hukum
Islam dan jender. Dia menyatakan, patriarki terus berjaya karena dukungan
perempuan. Ananya Roy, dari Institut Luskin tentang Ketidaksetaraan dan
Demokrasi, UCLA, dalam paparannya di TEDxMarin mengenai Patriarchy—power and
gender in the 21st century—juga mengatakan, patriarki justru digawangi
perempuan!
Tonggak
sejarah
Perjuangan untuk kesetaraan
dan keadilan jender tidak berjalan mendaki, tetapi turun-naik, dengan banyak
variabel. Patriarki yang mengakar dalam sistem dan diri manusia adalah
ancaman sepanjang masa.
Politik partisan,
misalnya, tak sulit menggunakan konstruksi patriarki untuk menempatkan yang
tidak seideologi sebagai ”the other”. Ini adalah praktik politik maskulin
yang sebelumnya selalu dikritisi.
Akan tetapi, perjuangan
perempuan di Indonesia memiliki tonggak penting, ditandai munculnya Suara Ibu
Peduli (SIP). Aksi damai SIP memprotes melonjaknya harga susu dan bahan
kebutuhan pokok di Bundaran HI (23/2/1998), saat diberlakukan Siaga Satu di
Jakarta itu, merupakan peristiwa bersejarah setelah 30 tahun perempuan
dibisukan.
Gerakan yang dipelopori
sekelompok feminis akademisi dan aktivis itu menggunakan ”ibu” sebagai
strategi politik perempuan menjelang kejatuhan Orde Baru, untuk menghadapi
ideologi ”Ibuisme Negara” (Suryakusuma, 2004).
Ideologi jender negara itu
adalah narasi agung konstruksi sosial keperempuanan Indonesia yang dijadikan
identitas perempuan dengan tujuan melakukan kontrol dan depolitisasi.
Untuk waktu yang sangat
lama, negara mendefinisikan perempuan sebagai ibu dengan nilai-nilai ”yang
semestinya”: lemah lembut, patuh, penuh kasih sayang, dan istri setia.
Sementara perempuan
aktivis dicap liar karena ”terlalu independen, keras kepala, dan berani
mengemukakan pendapat” (Tiwon dalam Sears, 1996).
Dikotomi publik-privat
yang secara historis menguasai pemikiran arus utama (Elshtain, 1981) makin
dipertajam. Arti politik mengalami pendangkalan, hanya bersangkut paut dengan
persoalan di ruang publik.
Meski demikian, selalu ada
perlawanan dalam situasi paling represif sekalipun, karena manusia bukan
makhluk pasif (Giddens, 1984). Kekuasaan tak mampu melakukan kontrol absolut
karena selalu bisa diidentifikasi dan dieksplorasi oleh individu atau
kelompok resistensi (Guzman-Bouvard, 1995).
Di Indonesia, sejak tahun
1970-an, mulai muncul organisasi nonpemerintah dengan pemikiran kritis
mengenai pembangunan (Setiawan, 2000). Lahir pula sejumlah NGO yang secara
khusus memberi perhatian pada ketidakadilan terhadap perempuan mulai awal
1980-an.
Esensialisme
strategis
SIP melahirkan kesadaran
politik baru di kalangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Click of
consciousness (MacKinnon,1982), dengan kesadaran mengenai relasi kuasa yang
timpang, dimulai dari ranah pribadi di ruang domestik. Pengalaman pribadi dan
struktur sosial-politik saling berkelindan. The personal is political
(Hanisch, 1969).
Gerakan itu mempromosikan
identitas ”ibu” sebagai esensialisme strategis. Konsep tersebut dipinjam dari
feminis post-kolonial, Gayatri Spivak (1980), terkait penggunaan identitas
fundamental untuk menyatukan (dalam kasus ini, menjadi ibu), melampaui segala
perbedaan, khususnya pada momen-momen historis.
Perempuan merasa nyaman
dengan identitas ”ibu” yang kesannya tidak politis. Namun, kata ”peduli”
mengindikasikan subyek aktif, yang tak hanya menyiratkan keinginan akan
perubahan, tetapi juga menggaungkan suara politik yang memberdayakan dan
menyiratkan kepedulian terhadap kesejahteraan anak dan bangsa (Doxey, 2007).
Konsep SIP jauh berbeda
dengan politik emak-emak; fenomena politik partisan, khususnya dalam proses
elektoral. Ini bisa dilihat sebagai hambatan patriarkhal karena cenderung
eksploitatif dan berpotensi kembali melakukan hegemoni terhadap perempuan.
Malam semakin tua setelah
masa lalu hadir begitu nyata. Sungguh, waktu tak pernah memperdaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar