Selasa, 18 September 2018

Supaya Tak Lupa Sejarah

Supaya Tak Lupa Sejarah
Maria Hartiningsih  ;  Pembelajar dan Penulis, Tinggal di Tangerang
                                                    KOMPAS, 13 September 2018



                                                           
Fifi adalah nama panggilan Salma Safitri. Ia aktivis Solidaritas Perempuan di Jakarta, yang sejak 10 tahun lalu menepi ke Batu, Jawa Timur. Dua pekan lalu saya menyambangi ibu tiga anak itu di Dusun Kapru, Desa Gunungsari.

Ditingkahi suhu 18 derajat celsius, kami mengenang masa-masa akhir tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an, ketika perempuan terlibat dalam aksi damai menolak kekerasan dalam konflik yang di didasari prasangka etnis dan agama di beberapa daerah.

Selama bertahun-tahun saya menemani aktivis perempuan mengkritisi makin masifnya upaya menggunakan tubuh perempuan sebagai ”tanda” untuk menunjukkan kuasa ideologi melalui beragam peraturan daerah.

Sampai sebelum tahun 2014, para aktivis solid memperjuangkan kepentingan praktis dan strategis dari sejumlah kelompok perempuan, melintasi kelas, ras, etnis, dan agama. Kami masih meyakini solidaritas politik antarperempuan, sisterhood is powerful (Bell Hooks, 1984).

Setelah reformasi, semakin banyak perempuan memasuki ranah politik formal untuk ikut mengawal proses demokrasi dari dalam. Namun, gambaran ideal tentang perjuangan dengan cepat terlibas ideologi politik parpol.

Sebagai contoh, ketika terjadi pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan laki-laki anggota legislatif, perempuan politisi masuk jebakan conspiracy of silence, dibungkam oleh kuasa parpol dalam urusan perpolitikan di DPR.

Sisterhood is powerful tak lagi punya nyawa. Untung Komnas Perempuan selalu waspada.

Pembelaan tanpa syarat dari perempuan untuk perempuan sebenarnya tidak selalu bisa diandaikan, kecuali telah melalui proses sangat panjang untuk sampai kematangan berpolitik.

Ketika kasus-kasus pelecehan seksual terkuak di Hollywood dan menggelinding bagai bola salju, Sarah Huckabee Sanders malah menepis tuduhan 20 perempuan atas pelecehan seksual yang dilakukan Donald Trump. Sanders, manajer kampanye Trump dan Sekretaris Pers Gedung Putih ke-29, bahkan balik menuduh para perempuan itu sebagai pendusta.

Sejarah mencatat, Trump memenangi pilpres di AS dengan dukungan perempuan yang menopang populisme otoriter; politik yang menyebar tak terbendung di Eropa, Amerika Latin, dan di belahan lain dunia.

Saya teringat wawancara dengan Ziba Mir-Hosseini, feminis-antropolog kelahiran Iran, pakar hukum Islam dan jender. Dia menyatakan, patriarki terus berjaya karena dukungan perempuan. Ananya Roy, dari Institut Luskin tentang Ketidaksetaraan dan Demokrasi, UCLA, dalam paparannya di TEDxMarin mengenai Patriarchy—power and gender in the 21st century—juga mengatakan, patriarki justru digawangi perempuan!

Tonggak sejarah

Perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan jender tidak berjalan mendaki, tetapi turun-naik, dengan banyak variabel. Patriarki yang mengakar dalam sistem dan diri manusia adalah ancaman sepanjang masa.

Politik partisan, misalnya, tak sulit menggunakan konstruksi patriarki untuk menempatkan yang tidak seideologi sebagai ”the other”. Ini adalah praktik politik maskulin yang sebelumnya selalu dikritisi.

Akan tetapi, perjuangan perempuan di Indonesia memiliki tonggak penting, ditandai munculnya Suara Ibu Peduli (SIP). Aksi damai SIP memprotes melonjaknya harga susu dan bahan kebutuhan pokok di Bundaran HI (23/2/1998), saat diberlakukan Siaga Satu di Jakarta itu, merupakan peristiwa bersejarah setelah 30 tahun perempuan dibisukan.

Gerakan yang dipelopori sekelompok feminis akademisi dan aktivis itu menggunakan ”ibu” sebagai strategi politik perempuan menjelang kejatuhan Orde Baru, untuk menghadapi ideologi ”Ibuisme Negara” (Suryakusuma, 2004).

Ideologi jender negara itu adalah narasi agung konstruksi sosial keperempuanan Indonesia yang dijadikan identitas perempuan dengan tujuan melakukan kontrol dan depolitisasi.

Untuk waktu yang sangat lama, negara mendefinisikan perempuan sebagai ibu dengan nilai-nilai ”yang semestinya”: lemah lembut, patuh, penuh kasih sayang, dan istri setia.

Sementara perempuan aktivis dicap liar karena ”terlalu independen, keras kepala, dan berani mengemukakan pendapat” (Tiwon dalam Sears, 1996).

Dikotomi publik-privat yang secara historis menguasai pemikiran arus utama (Elshtain, 1981) makin dipertajam. Arti politik mengalami pendangkalan, hanya bersangkut paut dengan persoalan di ruang publik.

Meski demikian, selalu ada perlawanan dalam situasi paling represif sekalipun, karena manusia bukan makhluk pasif (Giddens, 1984). Kekuasaan tak mampu melakukan kontrol absolut karena selalu bisa diidentifikasi dan dieksplorasi oleh individu atau kelompok resistensi (Guzman-Bouvard, 1995).

Di Indonesia, sejak tahun 1970-an, mulai muncul organisasi nonpemerintah dengan pemikiran kritis mengenai pembangunan (Setiawan, 2000). Lahir pula sejumlah NGO yang secara khusus memberi perhatian pada ketidakadilan terhadap perempuan mulai awal 1980-an.

Esensialisme strategis

SIP melahirkan kesadaran politik baru di kalangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Click of consciousness (MacKinnon,1982), dengan kesadaran mengenai relasi kuasa yang timpang, dimulai dari ranah pribadi di ruang domestik. Pengalaman pribadi dan struktur sosial-politik saling berkelindan. The personal is political (Hanisch, 1969).

Gerakan itu mempromosikan identitas ”ibu” sebagai esensialisme strategis. Konsep tersebut dipinjam dari feminis post-kolonial, Gayatri Spivak (1980), terkait penggunaan identitas fundamental untuk menyatukan (dalam kasus ini, menjadi ibu), melampaui segala perbedaan, khususnya pada momen-momen historis.

Perempuan merasa nyaman dengan identitas ”ibu” yang kesannya tidak politis. Namun, kata ”peduli” mengindikasikan subyek aktif, yang tak hanya menyiratkan keinginan akan perubahan, tetapi juga menggaungkan suara politik yang memberdayakan dan menyiratkan kepedulian terhadap kesejahteraan anak dan bangsa (Doxey, 2007).

Konsep SIP jauh berbeda dengan politik emak-emak; fenomena politik partisan, khususnya dalam proses elektoral. Ini bisa dilihat sebagai hambatan patriarkhal karena cenderung eksploitatif dan berpotensi kembali melakukan hegemoni terhadap perempuan.

Malam semakin tua setelah masa lalu hadir begitu nyata. Sungguh, waktu tak pernah memperdaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar