Nasib
Rupiah
“Memperkuat Rupiah itu Tidak Mudah.
Yang Mudah adalah Borong Dolar untuk
Hancurkan Ekonomi Bangsa. Mau pilih mana?”
A Prasetyantoko ; Pengajar di Unika Atma Jaya,
Jakarta
|
KOMPAS,
04 September
2018
Di akhir perhelatan Asian
Games 2018 yang penuh kemilau keberhasilan, rupiah justru terperosok tajam.
Tentu saja tak ada kaitannya, namun keduanya memiliki kemiripan dinamika.
Sebagaimana kemenangan para atlet, dinamika nilai tukar juga ditentukan
dimensi “fisik” (faktor fundamental) dan “semangat” (faktor sentimen) yang
berkorelasi timbal-balik. Akhir minggu lalu (31/8/2018), rupiah ditutup Rp
14.711 per dollar AS atau terburuk sejak 3 tahun (Kompas, 1/9/2018), bahkan mendekati
level saat krisis 1998. Benarkah faktor fundamental perekonomian kita seburuk
dua dekade lalu? Atau lebih karena faktor sentimen akibat tekanan eksternal?
Tekanan eksternal menjadi
faktor penentu nasib rupiah, meskipun, tentu saja, ada kontribusi faktor
fundamen domestik. Namun, yang jelas, situasi saat ini sama sekali berbeda
dengan situasi krisis Asia 1998. Kepanikan belakangan ini dipicu krisis
Argentina yang membuat investor keluar dari hampir semua negara berkembang
yang dianggap memiliki kelemahan fundamental. Para ahli menjuluki dinamika
krisis keuangan dari generasi ke generasi bagaikan pertandingan olahraga yang
mengikuti semboyan Olimpiade : lebih cepat (Citius), lebih tinggi (Altius)
dan lebih kuat (Fortius). Krisis makin hari makin ganas dan sulit diatasi.
Krisis di Argentina, Venezuela, dan Turki telah menyebar ke seluruh negara
berkembang dengan cepat.
Secara garis besar,
perbedaan paling mendasar antara situasi sekarang dengan 1998 adalah
episentrum masalahnya. Jika waktu itu pusat gempa ada di kawasan Asia dan
domestik Indonesia, kali ini bersifat eksternal. Pertama, perekonomian
Amerika Serikat yang menjalani fase konsolidasi. Kedua, tekanan dari
negara-negara berkembang seperti Argentina, Venezuela, dan Turki.
Sumber
Gejolak
Perekonomian AS pada
triwulan II dikoreksi ke atas menjadi 4,2 persen. Meski Presiden Trump
mengklaim sebagai kesuksesan besar, banyak ahli ekonomi justru berpikir
sebaliknya; sebagai awal krisis. Jeffrey Frankel, Profesor di Harvard Kennedy
School of Government, menyebut kebijakan fiskal Trump bersifat pro-siklus
yang bisa memicu krisis di kemudian hari (Project Syndicate).
Pertumbuhan ekonomi AS
ditopang kebijakan pengurangan pajak yang berakibat membengkaknya anggaran
pemerintah. Untuk menutupnya, pemerintah harus menerbitkan surat utang
(obligasi) baru. Saat pertumbuhan ekonomi membaik, sebenarnya kesempatan
memupuk kekuatan fiskal, agar ketika terjadi gejolak punya cukup bantalan.
Prinsip dasar ini tak diindahkan pemerintahan Trump.
Sementara itu, kebijakan
moneter tak lagi bisa mengakomodasi suku bunga rendah. Perlahan tapi pasti,
The Fed harus menaikkan suku bunga menuju batas 2,5 persen. Kebijakan fiskal
yang pro-siklus di tengah kenaikan suku bunga telah menimbulkan efek limpahan
pada pasar finansial global. Pemerintahan Trump sangat menyadari posisi
dollar AS sebagai mata uang paling aman dan memanfaatkan secara berlebihan.
Kerumitan ditambah dengan
potensi perang dagang yang diiringi perang nilai tukar antara AS dan China.
Salah satu cara melawan penerapan tarif, China membiarkan mata uangnya
melemah sehingga produknya lebih murah. Kerumitan situasi global ini berimbas
ke negara-negara berkembang.
Mengapa Argentina,
Venezuela, dan Turki bergolak parah menghadapi situasi ini? Fundamen ekonomi
domestik mereka sangat buruk, sehingga sentimen menjadi tak terkendali.
Sentimen bisa memukul balik faktor fundamennya, sehingga situasi semakin
memburuk dengan cepat. Itulah mengapa pemerintah Argentina meminta percepatan
pencairan pinjaman 50 miliar dollar AS dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebagaimana dilaporkan
Kompas (1/9/2018), mengutip data Bank Indonesia, pada akhir minggu lalu peso
Argentina menjadi mata uang terdepresiasi paling tajam di dunia (-51,67
persen) sejak akhir tahun 2017, disusul lira Turki (-43,85 persen), real
Brasil (-20,26 persen), dan rand Afrika Selatan (-15,98 persen). Di kawasan
Asia, depresiasi rupiah 8,01 persen lebih buruk dari peso Filipina (-6,61
persen), namun lebih baik dari rupee India (-9,70 persen).
Apa yang membuat mata uang
ini terpuruk parah? Menurut The Economist edisi terbaru (1/9/2018), pada
triwulan I-2018 neraca transaksi berjalan Argentina sebesar -4,7 persen
terhadap Produk Dometik Bruto, sementara Brasil -1 persen, Afrika Selatan
-3,2 persen, Turki -5,9 persen, dan India -2,4 persen. Defisit neraca
transaksi berjalan Indonesia memburuk dari triwulan I sebesar 2,1 persen PDB
menjadi 3 persen PDB pada triwulan II. Negara di Amerika Latin juga mengalami
defisit fiskal cukup besar, yaitu Argentina di atas 5 persen dan Brazil di
atas 7 persen. Kerapuhan fundamen ekonomi domestik memicu persepsi para
investor untuk keluar, paling tidak untuk sementara.
Bagaimana nasib rupiah?
Harus diakui, tekanan eksternal kali ini cukup berat, sementara kondisi
perekonomian domestik tak cukup solid. Respons kebijakan harus cepat tanpa
menunjukkan kepanikan. Pertama, suku bunga sudah dinaikkan 5 kali sejak Mei
mencapai 5,5 persen. Kedua, kebijakan fiskal disiapkan melalui penerapan
tarif pajak penghasilan (PPh) pada 900 produk impor. Ketiga, menerapkan
kewajiban mencampur 20 persen biodiesel pada solar (B20) serta menghentikan
proyek (infrastruktur) strategis yang mengandung komponen impor tinggi. Jika
kebijakan ini diterapkan, maka efek samping yang harus diterima adalah
melandainya pertumbuhan ekonomi, sehingga target pemerintah 5,2 persen pada
2018 ini kemungkinan tak bisa dicapai. Pilihan kebijakan memang sangat
terbatas, sehingga trade-off pelambatan pertumbuhan ekonomi harus diterima.
Kebijakan bisa juga
diarahkan untuk memacu produk (manufaktur) ekspor. Maka, untuk sektor ini
perlu dikecualikan, termasuk penundaan infrastruktur. Perlu ada koneksi
langsung antara pembangunan infrastruktur dengan upaya membangun daya saing
produk ekspor, agar produktivitas ekspor segera bisa dinikmati.
Nasib rupiah masih bisa
diharapkan. Kendati ada persoalan fundamen, namun peluang perbaikan terbuka
luas. Apalagi masa depan perekonomian kita sangat menjanjikan. Kita bisa
belajar dari pengalaman hajatan besar Asian Games yang baru saja ditutup, di
mana perbedaan kepentingan bisa disatukan menjadi kekuatan; semua untuk
Indonesia. Seandainya dalam mengatasi persoalan ekonomi yang berat ini kita
bisa “saling berpelukan” efeknya akan luar biasa. Bukan justru menjadikan
persoalan ekonomi sebagai amunisi kontestasi yang memainkan sentimen. Momen
“Pelukan Asian Games” harus dilanjutkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar