Strategi
Hadapi Krisis Global
Anwar Nasution ; Guru Besar Emeritus Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
07 September
2018
Dewasa ini ada lima sumber
utama yang secara potensial menimbulkan gejolak baru ekonomi internasional. Kelima potensi masalah itu adalah 1)
peningkatan suku bunga internasional, 2) peningkatan laju inflasi dunia, 3)
tingginya tingkat utang dunia usaha dan perorangan maupun pemerintah di berbagai
negara, 4) kebijakan perdagangan sepihak Presiden Trump yang proteksionistis
dan bertentangan dengan aturan baku WTO, serta 5) penurunan tarif Pajak
Pendapatan di AS.
Peningkatan suku bunga
adalah akibat dari berakhirnya kebijakan pemompaan likuiditas oleh bank
sentral negara-negara besar (terutama AS, Jepang, Uni Eropa, dan Inggris)
untuk mengatasi krisis keuangan global 2008-2009. Kebijakan pemompaan
likuiditas itu dikenal dengan Quantitative Easing (QE). Melalui QE, bank
sentral membeli obligasi negara maupun surat-surat berharga perusahaan swasta
berkualitas tinggi. Pemerintah AS juga menguatkan modal lembaga-lembaga
keuangan, perusahaan asuransi, dan General Motor, pabrik mobil yang mengalami
kesulitan karena krisis.
Terkait kebijakan perdagangan,
di masa pemerintahan Trump, AS bukan lagi jadi motor penggerak liberalisasi
perekonomian dunia sebagaimana tecermin dari pembatalan keikutsertaannya di
Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), modifikasi perjanjian dagang di Amerika Utara
dengan Kanada dan Meksiko serta kebijakan dagang yang protektif. Kenaikan
tarif impor besi dan aluminium di AS belakangan ini memicu perang dagang
dengan mitra dagangnya sehingga memperburuk keadaan.
Sementara penurunan tarif
Pajak Pendapatan di AS akan menyedot investasi dan pelarian modal dari
seluruh dunia ke AS. Tadinya modal keluar dari AS karena rendahnya suku bunga
dibanding dengan di luar negeri. Pada dasarnya, AS memang lebih menarik bagi
investor dunia karena selain memiliki stabilitas politik dan sosial paling
tinggi, pasar uang dan modalnya juga paling besar dan dalam. Pada gilirannya,
pelarian modal antarnegara akan menimbulkan gejolak kurs antarnegara.
Untuk menghadapi berbagai
ketidakpastian internasional, Indonesia perlu meningkatkan ketahanan ekonomi
dalam negerinya sendiri seraya memperluas ekspor ke negara-negara
nontradisional.
Berakhirnya
QE
Pada gilirannya, banjir
likuiditas karena QE telah menurunkan tingkat suku bunga pinjaman bank
mendekati nol persen dan bahkan negatif di berbagai negara, seperti di Jepang
dan Norwegia. Artinya, deposan tak lagi memperoleh balas jasa bunga
depositonya di bank, tetapi justru membayar jasa penyimpanan uangnya. Lebih
rendahnya suku bunga di negara-negara maju itu telah mendorong arus modal
keluar dari negara maju. Salah satu penyebab pelarian modal antarnegara
adalah adanya perbedaan suku bunga efektif.
Tujuan QE dengan
menurunkan suku bunga pinjaman maupun deposito adalah untuk menguatkan modal
lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan, serta merangsang pengeluaran masyarakat,
baik untuk keperluan konsumsi maupun investasi. Murahnya tingkat suku bunga
telah meningkatkan pinjaman masyarakat, baik dunia usaha maupun perorangan.
Pinjaman negara juga meningkat karena suku bunga pinjaman yang menurun yang
dipergunakan untuk mendorong pengeluarannya. Tujuan lain dari ekspansi
likuiditas itu adalah meningkatkan kembali tingkat laju inflasi agar dapat
memberikan insentif bagi produsen barang dan jasa.
Dengan kian sehatnya
kondisi keuangan lembaga-lembaga keuangan dan dunia usaha, secara bertahap,
pemerintah negara-negara maju mengakhiri QE. Perusahaan yang meminjam modal
mulai melunasi utangnya pada pemerintah. Bank-bank sentral mulai menjual
kembali obligasi negara dan saham dunia usaha yang mereka beli. Bank-bank
sentral mengurangi kredit kepada perbankan seraya meningkatkan suku bunga
pinjamannya. Dalam masa empat tahun neraca bank sentral diharapkan normal
kembali dengan pengurangan portepel yang sangat besar berupa obligasi
pemerintah serta saham maupun surat utang dunia usaha.
Pengetatan likuiditas dan
penjualan obligasi negara serta surat-surat utang dunia usaha telah mulai
meningkatkan tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga itu diawali di negara
maju yang menghentikan QE dan kemudian menjalar ke seluruh dunia. Pada
gilirannya, kenaikan suku bunga menyulitkan debitor karena memberatkan
pembayaran utang, baik utang pribadi dan dunia usaha maupun negara.
Lalu lintas modal
antarnegara memengaruhi nilai tukar mata uang atau kurs devisa. Pada
gilirannya, kurs devisa memengaruhi tingkat harga-harga, tingkat upah tenaga
kerja maupun suku bunga efektif. Yang terakhir ini merupakan penjumlahan
tingkat suku bunga nominal dan persentase perubahan kurs mata uang.
Dampak dari arus lalu
lintas modal antarnegara karena perbedaan suku bunga setelah berakhirnya QE
sudah kita rasakan di Indonesia dewasa ini. Karena kombinasi QE, pemasukan
modal dan penurunan Pajak Pendapatan di AS, mata uangnya terus menguat.
Akibatnya rupiah dan mata uang berbagai negara lain terus melemah. Di satu pihak,
peningkatan suku bunga di luar negeri dan pelemahan rupiah akan sangat
memberatkan pihak yang berutang dalam mata uang asing ke luar negeri. Sebagai
contoh, merosotnya nilai rupiah lebih dari tujuh kali lipat pada 1997 telah
membangkrutkan pihak swasta maupun pemerintah yang banyak berutang dalam
bentuk valuta asing ke luar negeri.
Beban kian berat jika
utang luar negeri dalam mata uang asing itu adalah dalam bentuk jangka pendek
dipergunakan untuk membangun proyek infrastruktur yang jangka panjang seperti
telepon, listrik, jalan tol, dan real estat yang memberikan balas jasa dalam
jangka panjang dan dalam rupiah. Para ahli ekonomi menyebutnya sebagai
gabungan ketidakserasian mata uang dan antara jangka waktu kredit dan
pengembaliannya.
Di lain pihak, kalau bisa
memanfaatkannya, pelemahan rupiah seharusnya memberikan insentif bagi
peningkatan ekspor dan pariwisata dan menurunkan impor. Eksportir dan
produsen memperoleh penghasilan rupiah lebih banyak dari setiap satuan mata
uang asing yang dihasilkan. Tarif hotel, transportasi, dan makan minum serta
jasa-jasa kian murah diukur dalam satuan mata uang asing. Sebaliknya, harga
komoditas impor dalam mata uang asing akan menjadi lebih mahal dalam satuan
rupiah. Biaya umrah dan turisme ke luar negeri juga menjadi lebih mahal dalam
satuan rupiah.
Apa
yang harus dilakukan?
Ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menguatkan fundamental perekonomian Indonesia guna
mengatasi berbagai ketakpastian di atas. Pertama, meningkatkan pemantauan
tingkat kesehatan finansial lembaga-lembaga keuangan, dunia usaha, dan
pemerintah secara lebih cermat. Khususnya, untuk mencegah terjadinya kembali
krisis keuangan seperti 1997-1998, Otoritas Jasa Keuangan perlu lebih jeli
dan tegas dalam menerapkan aturan prudensial bagi bank, asuransi, dan lembaga
keuangan lainnya. Dewasa ini, pemerintah tak lagi memberikan bantuan untuk
menyehatkan kondisi keuangan lembaga keuangan (bail out).
Menurut aturan baru,
pemilik lembaga keuangan sendiri yang bertanggung jawab untuk menyehatkan kondisi
keuangan perusahaannya (bail in). Sementara BI perlu memantau pinjaman dunia
usaha. Pemerintah pun perlu menahan dari agar tak lagi melakukan pinjaman
luar negeri untuk membangun proyek mercusuar. Contoh proyek mercusuar adalah
pembangunan kereta api dengan kecepatan 500 kilometer per jam untuk menempuh
jarak 180 kilometer Jakarta-Bandung.
Kedua, pemerintah perlu
mengembalikan operasi lembaga keuangan nasional pada fungsi semula dan
memodernisasikannya. Ilmu ekonomi percaya, persaingan pasar yang sehat
merupakan cara terbaik untuk dapat merangsang efisiensi dan modernisasi badan
usaha negara dan bukan melindunginya secara berlebihan melalui perlindungan
pasar dan hak istimewa. Dilihat dari nilai aktiva dan jumlah kantor
cabangnya, dewasa ini, industri keuangan Indonesia bertumpu pada empat bank
negara (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), dan rangkaian Bank Pembangunan Daerah
(BPD) yang hidupnya hanya bergantung pada proteksi pemerintah.
Bank-bank negara itu tak
efisien dan tak mampu bersaing dengan bank-bank swasta nasional, apalagi
bank-bank asing, termasuk Maybank dan CIMB Niaga dari Malaysia serta DBS
(Development Bank of Singapore) dari Singapura. Industri asuransi nasional
juga dikuasai oleh perusahaan saing, sedangkan perusahaan asuransi negara
semakin terpinggirkan.
Ketiga, untuk tujuan
pemerataan berusaha dan pendapatan, fungsi BRI perlu dikembalikan sebagai
bank bagi rakyat dan pengusaha menengah dan kecil, koperasi, tani, dan
nelayan guna memerangi pelepas uang. Bank Tabungan Pos (BTP) perlu dibangun
kembali untuk memobilisasi tabungan masyarakat dan mengajari masyarakat
menggunakan lembaga keuangan modern. Kantor pos tersebar di seluruh pesolok
Tanah Air dengan jumlah yang jauh lebih besar dari kantor cabang bank. Nilai
aktiva BTP di Jepang dan Eropa Barat jauh melebihi aktiva bank swasta
terbesar di negara-negara itu. Peranan BTP di Singapura tetap penting di
tengah sistem keuangannya yang modern dan maju. Proyek-proyek pemerintah dan
pembiayaan UKM di Jepang didanai dari dana yang dimobilisasi BTP.
Keempat, meningkatkan
penerimaan pajak melalui implementasi aturan perpajakan. Hanya dengan
meningkatkan tabungan nasional, termasuk penerimaan pajak, Indonesia dapat
terlepas dari status negara pengutang di tingkat dunia walaupun sudah 73
tahun merdeka. Program pemerintah yang bersifat kosmetik selama ini hasilnya
belum seperti diharapkan. Misalnya amnesti pajak, pembukaan rahasia bank,
maupun kerja sama internasional mengenai informasi perpajakan.
Rangkaian program itu
hanya untuk sekadar mendapatkan informasi mengenai wajib pajak serta kekayaan
dan pendapatannya. Program itu tak akan meningkatkan penerimaan pajak tanpa
adanya audit dan upaya paksa untuk melunasi pembayarannya.
Pada sisi pengeluaran,
pemerintah reformasi sudah mengganti disiplin fiskal anggaran berimbang Orde
Baru dengan disiplin fiskal yang berlaku berdasarkan Perjanjian Maastricht di
Uni Eropa. Disiplin fiskal itu dituangkan dalam UU Keuangan Negara Tahun
2003. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, seluruh defisit APBN ditutup dengan
hibah dan pinjaman yang diterima dari negara-negara donor Barat—yang
tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan kemudian
digantikan oleh Consultative Group on Indonesia (CGI).
Dalam aturan Maastricht,
jumlah utang negara untuk menutup anggaran dibatasi maksimum 3 persen dari
produk domestik bruto (PDB). Sementara batas maksimum utang negara 60 persen
dari PDB.
Strategi
pembangunan ekonomi
Kelima, mengubah strategi
pembangunan ekonomi ke arah orientasi ekspor (export oriented development
strategy). Strategi ini ditujukan untuk mencapai dua sasaran ganda:
meningkatkan penerimaan devisa ekspor serta menciptakan lapangan kerja dan
pendapatan bagi penduduk yang padat, terutama di Jawa. Strategi ini perlu
berbagai bentuk kebijakan yang meningkatkan efisiensi perekonomian dan daya
saing di pasar dunia. Pertama, meningkatkan kurs efektif riil rupiah (REER).
Kedua, kebijakan fiskal yang tak distortif. Ketiga, kebijakan struktural yang
meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomian. Ketiga kebijakan itu
akan merangsang peralihan produksi dari non-traded goods (NTG) yang tak
efisien ke traded goods (TG) yang lebih produktif dan efisien. NTG
berorientasi pada pemenuhan keperluan dalam negeri saja. TG menghasilkan
barang jasa untuk pasar dunia.
Kebijakan ekonomi yang
berorientasi pada ekspor akan mendorong peningkatan produksi dan ekspor
industri manufaktur dan pengolahan SDA yang dapat diproduksi dengan teknologi
padat karya oleh tenaga kerja Indonesia yang surplus, tetapi dengan tingkat
pendidikan dan keahlian rendah. Peningkatan efisiensi dan produktivitas
pekerja akan meningkatkan pendapatan produsen komoditas ekspor. Industri
berorientasi ekspor itu termasuk tekstil dan pakaian jadi, industri perabot
kayu, alas kaki, pengolahan bahan mentah seperti minyak goreng dan produk
minyak kelapa sawit, komponen serta suku cadang industri otomotif dan
elektronik.
Pemasukan investor asing
perlu dirangsang untuk mengembangkan ekspor itu karena selain membawa modal
dan teknologi, perusahaan asing juga sekaligus membuka pasar di luar negeri.
Kenapa Salim Group dan Sinar Mas bisa mengekspor minyak goreng, kertas, dan
mi instan, kenapa BUMN tak mampu mengembangkan ekspor? Pemasukan modal asing
dan peningkatan ekspor mengurangi keperluan Indonesia melakukan pinjaman luar
negeri dan meningkatkan kemampuan melunasi utang luar negeri.
Untuk memperluas pasar
ekspor, Kementerian Agama perlu mewajibkan seluruh jemaah umrah dan haji
menggunakan pakaian buatan Indonesia, mulai dari baju ihram, kerudung, ikat pinggang,
kopiah, tasbih, sandal, hingga peralatan makan dan minum. Dengan warna lain
dan renda-renda kerudung yang sama dapat dijual ke Eropa untuk dipakai oleh
wanita Katolik beribadah ke gereja. WNI juga perlu didorong bermitra dengan
pemodal Arab Saudi untuk mendirikan perusahaan angkutan darat, asrama haji,
losmen, maupun hotel dan restoran Indonesia di Arab Saudi. Dodol Garut dan
Kudus harus dapat bersaing dengan Turkish Delight yang terkenal itu.
Bank-bank nasional pun dapat bermitra dengan lembaga keuangan Arab Saudi,
Kuwait, dan negara-negara penerima TKI lain dalam mengelola keuangan jemaah
maupun transfer uang pekerja Indonesia ke kampung halaman.
Tekstil, batik,
barang-barang kerajinan, hingga sabun mandi maupun sabun cuci Indonesia
sangat populer di berbagai negara Afrika. Untuk menurunkan biaya produksi
yang tak perlu, logistik harus diperbaiki. Ini perlu penertiban pungli di
jalan raya dan kelancaran urusan di pelabuhan udara dan laut. Kelancaran
logistik juga memberikan kepastian berusaha dalam pengiriman barang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar