”Quo
Vadis” Penistaan Agama?
Muhammad Fatahillah Akbar ; Dosen Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
01 September
2018
Summum Jus, Summa
Injuria”. Adagium tersebut bermakna keadilan yang setinggi-tingginya dapat
berarti ketidakadilan yang setinggi-tingginya. Memahami postulat tersebut
tidak sederhana, tetapi dengan penjelasan yang cukup sederhana, penegak hukum
harus berhati-hati karena letak ketidakadilan sangat dekat dengan keadilan
itu sendiri.
Dalam hal ini, putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Balai yang menjatuhkan vonis penistaan agama
terhadap seorang wanita yang melakukan protes terhadap kerasnya suara azan
menjadi pembelajaran tidak hanya di Tanjung Balai, tetapi juga seluruh
wilayah di Indonesia.
Kasus protes terhadap azan
tersebut sempat menimbulkan kerusuhan yang berakibat pula pada perusakan
wihara. Perbuatan protes terhadap pengeras suara azan dipidana atas penistaan
agama dengan satu tahun dan enam bulan penjara dan pembakaran wihara dipidana
dengan pasal perusakan barang dengan pidana tidak lebih dari tiga bulan
penjara.
Perbedaan penjatuhan
pidana tersebut tentu dapat didasarkan pada banyak faktor, tetapi dalam hal
ini menjadi pertanyaan kapan dan dalam hal apa pasal penistaan agama dapat
dijatuhkan terhadap sebuah kasus yang berdekatan dengan agama. Dalam menjawab
permasalahan tersebut, penting untuk melihat pasal penistaan agama di
Indonesia dan bagaimana seharusnya aplikasi pasal tersebut.
Pengaturan penistaan agama
pada dasarnya merupakan perubahan parsial KUHP. Sebelum ada Undang-Undang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (UU PNPS) Nomor 1 Tahun
1965 tentang Penistaan Agama, Pasal 156 KUHP hanya mengatur penghinaan
terhadap golongan. Konsep tersebut bersifat umum.
Kemudian, Pasal 4 UU
Penistaan Agama menambahkan Pasal 156A yang merupakan kriminalisasi terhadap
penistaan agama. Blasphemy law atau hukum penistaan agama dibentuk untuk
menjaga keberagaman di Indonesia. Dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika,
merupakan keniscayaan di Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan.
Hal ini bahkan diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui ”kepercayaan”
sebagai pengganti ”agama”
pada kolom identitas
penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, UU
Penistaan Agama dimaksudkan untuk mencegah adanya konflik yang terjadi jika
terjadi penghinaan ataupun penodaan untuk agama yang dianut oleh penduduk
Indonesia. Paling tidak hal inilah yang termuat dalam Penjelasan Umum UU
Penistaan Agama.
Inkonsistensi
MK
Apakah saat ini
penerapannya mencegah atau malah menimbulkan konflik lainnya?
UU Penistaan Agama paling
tidak pernah diuji ke MK dan mendapatkan keputusan MK yang sama, yakni Pasal
Pidana Penistaan Agama adalah konstitusional dan penting untuk mencegah
adanya konflik beragama. Dalam Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Putusan
MK Nomor 84/PUU-X/2012 bisa ditemukan bahwa pemohon selalu menunjukkan bahwa
terjadi diskriminasi dan perbedaan dalam penegakan hukum.
Dalam kedua putusan
tersebut, MK sama-sama berpendapat bahwa permasalahan perbedaan penerapan UU
Penistaan Agama adalah ”masalah dalam penerapan, bukan masalah
konstitusionalitas”. Jawaban ini merupakan jawaban yang janggal dalam sebuah
sistem peradilan pidana.
Menurut Barda Nawawi
Arief, sistem peradilan pidana terdiri dari tahapan formulasi (legislasi),
aplikasi, dan eksekusi, di mana setiap tahapan memiliki pengaruh satu sama
lain. Dalam hal ini, pada tahapan formulasi UU Penistaan Agama tentu sangat
berpengaruh pada aplikasinya.
Dengan demikian, jika
terjadi penerapan yang salah berkali- kali, hal ini merupakan kesalahan
formulasi, bukan sekadar penerapan semata. Terlebih, MK menyatakan, sekalipun
sebagian besar ahli hukum pidana dalam persidangan menyatakan bahwa UU
Penistaan Agama harus direvisi untuk mencapai kepastian hukum, MK menyatakan
bahwa MK tidak berwenang mengubah redaksional dan hanya mampu memutus terkait
masalah konstitusionalitas semata.
Hal ini kembali menjadi
inkonsistensi MK yang banyak melakukan putusan conditionally constitutional
dengan mengubah redaksi suatu pasal dalam berbagai putusannya.
Mengapa terjadi perbedaan
dalam penerapan pasal pidana penistaan agama, dapat disebabkan beberapa hal.
Pertama, Indonesia tidak mengenal binding force of precedent, di mana hakim
terikat putusan hakim lainnya sehingga setiap rumusan delik dalam hukum
pidana harus dapat diukur dan memiliki nilai obyektivitas yang tinggi karena
jika tidak, akan terjadi perbedaan dalam penerapan hukumnya. Dalam hal ini,
jika merujuk pada Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013, MK menyatakan,
inkonstitusionalitas frasa ”tidak menyenangkan” dalam Pasal 335 KUHP
didasarkan pada nilai subyektivitas pasal tersebut. Dalam putusan MK terkait
penistaan agama, MK menyadari nilai subyektivitas pada Pasal 156A KUHP,
tetapi hanya memberikan definisi dan menyerahkan kepada pihak legislatif
untuk melakukan perubahan yang hingga saat ini belum dilakukan.
Kedua, permasalahan lain
adalah penegak hukum yang sejak awal menerapkan pasal yang berbeda. Dalam
kasus Tanjung Balai, obyek yang diserang—baik dalam protes terhadap pengeras
suara azan maupun pembakaran wihara—adalah sama-sama berkaitan dengan suatu
agama yang dianut di Indonesia.
Namun, dalam kasus
pengeras suara azan dijatuhkan pasal penistaan agama, dan dalam kasus
perusakan wihara dijatuhkan pasal perusakan barang. Banyak kasus pembakaran
Al Quran ataupun perusakan masjid yang kemudian dijatuhi pasal penistaan
agama. Hal ini karena pada dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut jelas
memenuhi rumusan delik (tatbestanmassigkeitI), selain itu penegak hukum harus
mempertimbangkan apakah perbuatan-perbuatan tersebut memenuhi maksud
pembentuk undang-undang (wessensau).
Jika wessensau tidak
terpenuhi, sudah sepantasnya tidak dijatuhi hukuman yang berbeda-beda. Selain
itu, obyektivitas penegakan hukum penting untuk memberikan kepastian hukum
yang adil dalam melindungi keberagaman agama di Indonesia.
Karena itu, berdasarkan
dua permasalahan itu, perlu ada revisi blasphemy law di Indonesia dan
penegakan hukum yang didasarkan pada perlindungan terhadap keberagaman
beragama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar