Menyiasati
Dampak Gonjang-ganjing Rupiah
Yose Rizal Damuri ; Kepala Departemen Ekonomi
Centre for Strategic and
International Studies
|
KOMPAS,
13 September
2018
Nilai tukar rupiah sempat
menyentuh Rp 15.000 per dollar AS pekan lalu. Secara prinsip, nilai tukar
rupiah yang melemah saat ini bukanlah suatu keadaan yang terlalu perlu
dikhawatirkan karena mata uang negara lain juga turut melemah.
Rupiah saat ini berada di
ranking ke-27 mata uang yang melemah, di mana selama setahun belakangan telah
turun sebesar 11 persen. Namun, ada 26 negara lain yang mata uangnya lebih
melemah dibandingkan dengan Indonesia, termasuk India, Afrika Selatan, Rusia,
Brasil, dan Turki. Apalagi kondisi makroekonomi Indonesia masih kuat dengan
risiko keuangan relatif rendah.
Jadi, gonjang-ganjing
nilai tukar ini bukanlah suatu hal yang perlu terlalu dikhawatirkan. Namun,
pasar keuangan sering mengambil sikap yang berbeda dan cenderung panik. Ini
terlihat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan yang anjlok hingga 3,75
persen pada Rabu (5/9/2018) pekan lalu. Sikap ini disebabkan pelaku pasar
belum melihat kebijakan yang jelas untuk mengurangi dampak dari melemahnya
nilai tukar rupiah.
Pemerintah dan Bank Indonesia
tidak perlu mempertahankan nilai tukar dengan mati-matian, tetapi pasar
keuangan memerlukan bukti bahwa dampak dari melemahnya nilai tukar mata uang
tidak akan menyebabkan kondisi buruk bagi perekonomian Indonesia.
Saat ini diskusi yang
berkembang adalah dampak pelemahan rupiah diperparah oleh defisit neraca
transaksi berjalan yang diperkirakan mencapai 2,5-3 persen dari produk
domestik bruto pada tahun ini. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah baru
saja mengeluarkan kebijakan pembatasan impor dengan menaikkan Pajak
Penghasilan (PPh) impor untuk 1.147 barang dengan harapan bisa menekan impor.
Namun, hasil dari kebijakan ini mungkin tidak terlalu signifikan. Nilai impor
barang-barang tersebut hanyalah 4 persen dari keseluruhan impor. Apalagi PPh
impor juga dapat dikembalikan sebagai pengurang PPh dari pelaku impor, tidak
seperti bea masuk yang memang harus dibayarkan.
Kebijakan pembatasan impor
juga dapat dianggap negatif oleh pelaku pasar. Ini dapat diartikan secara
salah bahwa pemerintah Indonesia agak berlebihan dalam menyikapi depresiasi
rupiah. Takutnya ada pemahaman bahwa Indonesia akan cenderung menerapkan
kebijakan yang lebih proteksionis. Ini dapat mengurangi kepercayaan pasar
terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus
mempertahankan kepercayaan dengan mengirimkan pesan bahwa perekonomian
Indonesia tetap terbuka. Ini juga penting agar Indonesia tak menjadi salah
satu negara yang menjadi sasaran ancaman perang dagang Amerika Serikat. Jika
Indonesia masuk ke dalam daftar negara yang diwaspadai atau diincar (watch
list) oleh AS, kepercayaan pasar keuangan akan semakin turun, seperti yang
terjadi di Turki.
Langkah
alternatif jangka pendek
Ada banyak hal lain yang
sebenarnya pemerintah dapat lakukan dalam jangka pendek. Salah satu penyebab
defisit neraca berjalan adalah meningkatnya impor produk minyak dan gas, baik
minyak mentah maupun bahan bakar minyak (BBM). Nilai impor produk minyak
selama paruh pertama 2018 naik sebesar 26 persen dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu.
Ini disebabkan peningkatan
harga minyak bumi yang telah naik sekitar 45 persen. Kenaikan harga minyak
seharusnya membuat konsumsi dan impor berkurang. Namun, penurunan volume
impor hanya sekitar 2 persen. Ini disebabkan harga jual domestik BBM
cenderung tidak berubah, terutama untuk BBM bersubsidi. Pemerintah dapat
berusaha menurunkan impor minyak dengan penyesuaian harga jual BBM.
Harga BBM dapat
dikembalikan sesuai skema subsidi tetap yang sebelumnya dijalankan
pemerintah, di mana harga jual BBM bersubsidi dapat berubah dalam jangka
waktu tertentu. Penyesuaian harga BBM bukan hanya akan mengurangi defisit
neraca berjalan, tetapi juga dapat memberikan sinyal positif kepada pasar
keuangan bahwa Pemerintah Indonesia mau dan mampu melakukan kebijakan yang
memang diperlukan meskipun tidak populer.
Selain itu, pemerintah
juga dapat meningkatkan ekspor dengan cara yang relatif mudah, yaitu dengan
melonggarkan larangan ekspor mineral mentah dan setengah jadi. Larangan
tersebut telah menyebabkan turunnya ekspor mineral dari sekitar 8,5 miliar
dollar AS pada tahun 2013 ke hanya sekitar 3 miliar dollar AS. Sementara
ekspor dari produk mineral olahan belum meningkat, bahkan mengalami
penurunan. Pelonggaran ekspor mineral mempunyai potensi untuk memperkecil
defisit yang terjadi.
Selain masalah defisit
transaksi berjalan, Indonesia juga memiliki struktur neraca modal dan
keuangan yang riskan. Untuk menutupi defisit transaksi berjalan, perekonomian
Indonesia bergantung pada arus modal jangka pendek dalam bentuk investasi
portofolio dan pinjaman jangka panjang, yang dapat pergi kapan saja dari
pasar keuangan Indonesia.
Oleh karena itu, penting
kiranya bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjalankan manajemen lalu
lintas arus modal yang bersahabat. Wacana untuk memberdayakan devisa hasil
ekspor sebaiknya dilakukan dengan memberikan insentif bukan kewajiban agar
tidak diartikan sebagai upaya membatasi lalu lintas devisa.
Ketergantungan terhadap
modal jangka pendek seharusnya juga dapat diubah dengan cara memperbesar arus
modal jangka panjang seperti modal asing langsung (Foreign Direct
Investment). Pemerintah Indonesia telah melakukan perbaikan iklim investasi
melalui berbagai paket kebijakan ekonomi yang saat ini sudah mencapai 16
paket. Ini harus terus dilanjutkan, terutama dalam implementasinya.
Pemerintah Indonesia sudah
waktunya mengeluarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang baru untuk
menggantikan DNI 2016 yang sebelumnya. Pemerintah dapat mempercepat keluarnya
DNI yang baru tersebut. Tentu DNI 2018 ini harus menunjukkan kebijakan yang
lebih terbuka. Daftar negatif harus menjadi lebih pendek dari yang
sebelumnya.
Keluarnya DNI baru yang
lebih terbuka juga akan diartikan positif oleh pelaku pasar keuangan dan
investor di sektor riil.
Pendek kata, pemerintah
harus dapat meyakinkan pasar keuangan bahwa pelemahan rupiah bukanlah hal
yang perlu dikhawatirkan karena kondisi makroekonomi yang baik serta
tersedianya berbagai kebijakan yang telah disiapkan. Untuk itu, pemerintah
juga perlu mengeluarkan kebijakan yang tepat dan dapat diterima pelaku pasar,
serta tak terlihat ”panik” dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang tak
perlu dan dapat menimbulkan permasalahan lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar