Basis
Kekuatan Tim Pemenangan
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan
Komunikasi Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 10 September 2018
TAHAPAN
Pemilu Presiden 2019 memasuki fase penting setelah proses kandidasi usai
dengan terpilihnya pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno
sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden. Kedua pasangan harus
berjibaku menyiapkan tim pemenangan yang struktur timnya harus diserahkan ke
KPU paling lambat 20 September berbarengan dengan waktu penetapan resmi
capres dan cawapres untuk Pemilu Presiden 2019.
Momentum
setelahnya akan menjadi waktu sangat sibuk bagi kedua pasangan untuk
melakukan kampanye ke berbagai wilayah Nusantara, dan ke berbagai lapis
pemilih dengan beragama persoalannya.
Kampanye pemilu
Kampanye
dijadwalkan mulai 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Ikhtiar memengaruhi
dan meyakinkan pemilih tak pernah mudah. Banyak sekali faktor yang menyumbang
baik kesuksesan maupun kekalahan. Tak akan pernah ada faktor tunggal dalam
mengatasi kompleksitas kampanye dengan cakupan wilayah nasional yang sangat
luas.
Dalam
pendekatan social judgement theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan
Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff di bukunya, The Dynamics
of Persuasion (2003), khalayak yang dipersuasi berada di tiga zona. Pertama,
latitude of acceptance atau di zona penerimaan, kandidat sebagai pemersuasi
(persuader) dapat diterima dan ditoleransi kehadirannya.
Kedua,
latitude of rejection atau di zona penolakan. Kondisi itu biasanya terlihat
dari munculnya resistensi atau posisi berseberangan dengan kandidat. Ketiga,
latitude of no commitment di saat kandidat tidak diterima, tetapi juga tidak
ditolak. Dengan polarisasi dukungan pada pasangan yang head-to-head seperti
Pilpres 2019, sangat wajar jika kubu-kubuan terjadi dan semakin eskalatif
menjelang pilpres.
Namun,
jika kita tarik benang merahnya, secara umum ada empat faktor utama yang
menjadi basis kekuatan tim pemenangan, yakni organ pemenangan, program yang
ditawarkan, jaringan komunikasi, dan terakhir tren pemilih.
Keempat
basis itu harus diefektifkan menjadi ragam taktik, strategi lapangan dalam
waktu kampanye yang berbatas, dan sejumlah aturan main yang harus ditaati.
Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik sebagai upaya
memersuasi pemilih (voter), agar pada saat pencoblosan di tempat pemungutan
suara (TPS) pasangan kandidat yang berkampanye mendapatkan dukungan dari
banyak pemilih.
Menurut
Michael dan Roxanne Parrot dalam buku mereka, Persuasive Communication
Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara
sadar, bertahap, dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu
tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Ketua tim
Menarik
untuk mengomparasikan basis kekuatan dari tim kampanye kedua pasangan capres
dan cawapres. Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Ma'ruf Amin sudah
diumumkan ke publik. Jokowi mengumumkan TKN diketuai pengusaha sukses, Erick
Thohir, Jumat (7/9). Sementara itu, kubu Prabowo-Sandiaga Uno menurut rencana
baru 20 September akan mengumumkan organ dan personalia tim pemenangan
mereka. Namun, dari ragam sumber sudah hampir bisa dipastikan tim pemenangan
akan diketuai mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Djoko Santoso.
Posisi
ketua baik tim kampanye maupun tim pemenangan sangatlah penting dalam dua
hal, simbolis dan fungsional. Secara simbolis ialah representasi orang yang
bisa diterima, orang kepercayaan para kandidat yang diharapkan memberi
sentimen positif bagi pasangan masing-masing. Secara fungsional, ketua tim
punya peran signifikan dalam manajemen pemenangan, dirigen seluruh gerak
implementasi strategi, sekaligus orang yang bisa menjembatani ragam
kepentingan banyak pihak yang menjadi pengusung maupun pendukung pasangan
calon.
Dari
perspektif komunikasi politik, menarik untuk mengomparasikan plus-minus ketua
tim pemenangan. Di kubu Jokowi-KH Ma'ruf Amin, langkah taktis dan strategis
telah diambil Jokowi. Nama Erick Thohir membawa sentimen positif ke dalam dan
ke luar tim.
Ada
empat nilai plus yang dimiliki Erick Thohir bagi pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin.
Pertama, Erick Thohir ialah pengusaha dengan rekam jejak kesuksesan dan
malang melintang di berbagai bidang. Dia mendirikan Mahaka Group yang
memiliki Republika, stasiun televisi Jak TV, Mahaka Advertising, Radio 98.7
Gen FM & 101 Jak FM, serta berbagai perusahaan yang bergerak di bidang
periklanan, hiburan, dan digital.
Sejak
2014 Erick juga menjabat Direktur Utama Antv hingga saat ini. Bisnisnya juga
tak hanya domestik, tetapi juga dikenal di dunia internasional. Dia presiden
dan pemilik klub sepak bola di Italia, Inter Milan, menggantikan Massimo
Moratti, selain juga sejumlah klub olahraga lainnya di dalam negeri dan luar
negeri. Pengalaman itu bisa menjadi kekuatan Erick dalam mengelola tim
pemenangan Jokowi-KH Ma'ruf.
Kedua,
Erick memilik jaringan luas berbasis komunitas. Selain komunitas bisnis,
olahraga, juga yayasan amal. Dia pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Bola
Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) periode 2006-2010 dan menjabat Presiden
Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA) periode 2006-sekarang. Pada 2012
ia dipercaya sebagai komandan kontingen Indonesia untuk Olimpiade London
selain bergiat di organisasi amal Darma Bakti Mahaka Foundation.
Ketiga,
kesuksesan di ajang olahraga multievent Asian Games di Indonesia tempo hari
juga turut membawa sentimen positif pada keberadaan Erick dalam organ
pemenangan Jokowi-KH Ma'ruf. Menjadi Ketua Indonesia Asian Games 2018
Organizing Committee (Inasgoc) yang sukses menyelenggarakan Asian Games
sekaligus mendulang prestasi bagi Indonesia dalam perolehan medali terbanyak
ke-4 menjadi tie-in publicity yang bagus untuk popularitas Erick Thohir.
Tie-in
publicity adalah publisitas melalui momentum langka dan besar, yang mendapat
sorotan media luar biasa. Sentimen ini bisa dikapitalisasi menjadi popularitas,
respect, niat baik (good will) dan mengembangkan pemahaman (understanding).
Keempat,
keberadaan Erick Thohir dalam banyak hal bisa turut menutup bolong di kubu
Jokowi-KH Ma'ruf yang bisa dikapitalisasi kehadiran Sandiaga Uno di kubu
Prabowo. Lubang tersebut ialah isu ekonomi dan kedekatan dengan ceruk pemilih
milenial.
Sandiaga
pengusaha sukses, komunikatif dengan kalangan pemilih muda, dekat dengan
dunia olahraga, punya jaringan berbasis komunitas, dan terpenting lagi banyak
fokus menyerang pemerintah pada isu-isu ekonomi. Erick ialah sahabat
Sandiaga, keberadaannya di kubu Jokowi menjadi menarik karena tentu selama
pilpres akan menjadi dirigen tim pemenangan yang akan mengalahkan Sandiaga
Uno.
Kelemahannya,
Erick bukan berasal dari partai politik. Jika di perusahaan dia bisa
mengontrol seluruh timnya dengan standar operasional yang baku, profesional
dan terukur, maka dalam politik terutama yang melibatkan koalisi besar partai
politik, celah munculnya ego sektoral masih mungkin terjadi.
Erick
harus menjembatani kepentingan kandidat dengan para ketua umum parpol yang
ada di Dewan Penasihat TKN, para politikus senior di Dewan Pengarah, dan
seluruh personalia TKN yang terdiri dari banyak politikus lintas partai.
Tantangannya bagi Erick selaku profesional ialah membangun soliditas tim
lintas kekuatan untuk bekerja optimal. Jika hal ini bisa diatasi dengan baik,
kelemahan ini justru bisa menjadi peluang bagi kubu Jokowi-KH Ma'ruf Amin.
Di
Kubu Prabowo, sosok Djoko Santoso juga memiliki paling tidak empat kekuatan.
Pertama, dia memiliki pengalaman panjang di organisasi yang sangat terbiasa
dengan keteraturan dan loyalitas kukuh, yakni TNI. Djoko pernah menjadi
Panglima TNI dalam rentang 28 Desember 2007 hingga 28 September 2010.
Pengalamannya sebagai Panglima TNI dan posisi-posisi penting sebelumnya
membuat Djoko sangat berpengalaman untuk memimpin tim pemenangan
Prabowo-Sandiaga Uno.
Rekam
jejak dia sebagai Waassospol Kaster TNI (1998), Kasdam IV/Diponegoro,
Panglima Kodam XVI/ Pattimura, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan
(Pangkoopslihkam) 2002-2003 yang sukses meredam konflik di Maluku, dan
Panglima Kodam Jaya membuat Djoko pasti memahami benar strategi 'bertarung'
di tim pemenangan Pilpres 2019.
Kedua,
Djoko Santoso memiliki chemistry politik sangat baik dengan Prabowo. Selain
pernah menjadi anak buah Prabowo saat aktif di TNI, lulusan Akademi Militer
angkatan 1975 itu setelah pensiun masuk menjadi politisi di Partai Gerindra
bentukan Prabowo.
Ketiga,
Djoko cukup memiliki basis organisasi dan komunitas. Dia tercatat pernah
menjadi Ketua Dewan Penasihat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia
(PBSI), Ketua Dewan Pembina Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Ketua
Dewan Penasihat Forum Sekretaris Desa Indonesia (Forsekdesi), Ketua Dewan Penasihat
Pandu Petani Indonesia (Patani). Namun, rekam jejak organisasinya ini belum
teraba kuat dalam skala dunia internasional.
Keempat,
Djoko sebagai senior relatif cukup bisa diterima di kalangan partai-partai
pengusung Prabowo-Sandiaga. Posisi sebagai senior akan memudahkan dia
mengoordinasikan loyalitas, soliditas, sekaligus implementasi kerja
pemenangan di masa kampanye.
Kelemahannya
Djoko Santoso ialah politisi yang berasal dari Gerindra, partai yang menjadi
tempat Prabowo (capres) dan Sandiaga Uno (cawapres) berasal. Dalam konteks
distribusi power ke ragam kekuatan yang berkoalisi, tampak sekali power-nya
kumulatif di Gerindra. Jika tak diantisipasi dengan baik, hal itu bisa
berpotensi meletupkan ketidakpuasan, ego sektoral partai-partai pengusung lain,
akibat peran yang tak terdistribusi dengan baik.
Selain
itu, secara personal, Djoko Santoso sepertinya bukan orang dengan gaya
komunikasi equalitarian style yang luwes dan mobile dengan ragam jangkar
kekuatan di masyarakat. Kelemahan itu harus ditutup dan diperbaiki personalia
lainnya di tim pemenangan.
Pada
akhirnya, kekuatan tim pemenangan bukan ada pada perseorangan. Tim secara
keseluruhan harus bergerak bersama memenangkan kandidatnya. Ada tim sukses
dan tim relawan yang tidak seluruhnya berasal dari partai. Namun, memang
figur ketua tim pemenangan punya peran sangat menentukan.
Di
balik kesuksesan Barack Obama, presiden ke-44 Amerika ada Jim Messina dan
David Axelrod yang selalu dia percayai dan Obama pertahankan baik di Pilpres
2008 maupun di Pilpres 2012. Pun demikian, di balik kesuksesan Donald Trump,
presiden ke-45 Amerika, ada bongkar pasang tim pemenangan yang bekerja
untuknya. Mulai Corey Lewandowski yang dipecatnya Juni 2016, lalu ada Paul
Manafort yang kemudian mengundurkan diri, hingga merekrut profesional yang
menjabat Direktur Eksekutif Breitbart News, situs berita dan opini, Stephen
Bannon, sebagai Direktur Eksekutif Tim Kampanye Donald Trump-Mike Pence.
Kunci kemenangan
Tiga
basis kekuatan lain di tim pemenangan ialah program, jaringan komunikasi, dan
tren pemilih. Kandidat harus terfasilitasi untuk disukai, diterima, dan
dipilih khalayak. Kampanye yang baik tentu saja ialah kampanye berkonsep dan
tepat pada target yang dibidik.
Dalam
pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip Hans-Dieter Klingemann, Public
Information Campaigns and Opinion Research (2002), paling tidak ada tiga
tahapan dalam kampanye. Pertama, mengidentifikasi masalah faktual yang
dirasakan. Kampanye, jika mau sukses, harus berorientasi pada isu dan program
(issues and programs oriented), bukan hanya berorientasi pada citra
(image-oriented). Kampanyelah momentum yang tepat untuk menunjukkan bahwa
kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan
membutuhkan penanganan di masyarakat.
Kedua,
pengelolaan kampanye mulai perancangan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Pada
tahap pengelolaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content)
diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan khalayak sasaran. Aspek-aspek itu dalam literatur ilmiah
dipercaya menjadi prasyarat terjadinya perubahan perilaku. Kampanye tak cukup
hanya bertumpu pada retorika sloganistik.
Ketiga,
tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini,
evaluasi diarahkan pada keefektifan kampanye dalam menghilangkan atau
mengurangi masalah sebagaimana yang telah diidentifikasi pada tahap pra
kampanye.
Kampanye,
dengan demikian, bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan
publik, melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik
yang bisa dilakukan. Jaringan komunikasi harus produktif, efektif, dan tepat
sasaran. Misalnya soal penguasaan orang-orang kunci, khalayak-khalayak kunci,
dan pendekatan komunikasi yang tepat ke komunikan yang dituju (targeted
audience).
Di
Pilpres 2019, kunci kemenangan ada tiga. Pertama, ceruk pemilih di Jawa dan
Sumatra yang plus-minus jumlahnya 78,5%. Kedua, ceruk pemilih muslim
plus-minus jumlahnya 87,6%. Ketiga, ceruk pemilih muda yang terdiri dari
generasi Z dan generasi Y (milenial) yang jumlahnya plus-minus 52%. Jika
mengacu ke tulisan Don Tapscott, Grown Up Digital: How the Net Generation is
Changing Your World (2009), Gen Y atau the echo of the baby boom lahir
1977-1997 dan generasi Z lahir 1998 hingga sekarang.
Karakter
kuat gen Y dan Z sangat lekat dengan model pilihan bebas, jejaring,
kecepatan, integritas, menikmati percakapan yang menyenangkan, dan menjadikan
inovasi sebagai bagian kehidupan mereka. Dalam memilih pemimpin, generasi Y
dan Z kecenderungannya tak suka yang bergaya aristokrat dan elitis.
Pola
komunikasinya tidak menyukai model linear, tetapi timbal balik sehingga
interaksi yang tak berbatas menjadi ciri dominannya. Program, jaringan
komunikasi, dan membaca tren pemilih akan sangat menentukan kemenangan.
Saatnya Pemilu 2019 naik kelas. Antara lain ditandai dengan modernisasi
kampanye dalam beradu program dan gagasan, bukan mengeksploitasi politik
aliran dengan kampanye hitam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar